Kunjungan Akademik ke Pura Wira Giri Dharma & Vihara Widhi Sakti

Kunjungan Akademik ke Pura Wira Giri Dharma & Vihara Widhi Sakti

Mengenai arti perlambangan, Naga disimbolkan sebagai penjaga. Kain sarung yang menutupi bagian bawah pohon adalah sebagai bentuk perlindungan, penghargaan dan perawatan kepada pohon. Dhupa: keharuman dhupa melambangkan kekuatan obyek indera yang menarik pikiran. Pembakaran dhupa melambangkan penghancuran keinginan. Keharuman dhupa melambangkan cinta pada tuhan, yang membebaskan pikiran dari keinginan duniawi, dan membantu untuk memusatkan pikiran pada saat meditasi dan pemujaan.

Dalam ajaran agama Hindu dikenal 3 dewa utama, yaitu: Brahma sebagai dewa pencipta segala sesuatu. Wisnu sebagai dewa pemelihara alam Siwa sebagai dewa perusakKetiga dewa tersebut dikenal dengan sebutan Tri Murti

Kemudian mereka menyampaikan terkait nama-nama istilah dalam agama Hindu seperti Padmasana: sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat hindu. Pura kawitan: tempat pemujaan roh suci leluhur umat Hindu berdasarkan garis keturunanya (keluarga besar). Bale kul-kul: menara. Bale lantang: tempat ibadah. Padmasana: bangunan utama. Bale Pawedaan: tempat pemimpinya. Glong kori: pintu khusus untuk dewa dll.

Terakhir mengenai orang yang meninggal dunia. Mereka menjelaskan ada 2 cara bagi orang yang telah meninggal. Pertama, jenazah yang meninggal itu dikubur. Kedua, jenazah tersebut dibakar. Kenapa mesti dibakar? Dengan dibakar si mayat itu cepat hancur dan cepat bertemu dengan Tuhannya sedangkan kalau dikubur ia mengalami proses yang panjang.

Tidak cukup hanya mengunjungi Pura saja, setelah Ba’da Jum’atan Dosen tercinta mengajak kami kunjungan lagi ke Vihara Widhi Sakti . mulanya hanya perwakilan saja yang mengunjungi tempat itu karena keterbatasan alat transportasi dan waktu namun setelah dirundingkan kembali dan diputuskan oleh ketua kelas akhirnya kita semua mengunjungi tempat itu. Menurut informasi yang dapat di internet Vihara Widhi sakti awalnya bernama Kelenteng Bie Hian Kong yang merupakan identitas dari warga etnis Tionghoa yang ada di Sukabumi, usianya sudah lebih dari 100 tahun sejak pertama kali dibangun tahun 1912 silam. Dalam vihara ini ada tiga altar utama, yakni altar Kongco Han Tan Kong, Sang Buddha dan Dewi Kwan Im.

Ketika kami tiba di Vihara Widhi Sakti kami disambut dan dipersilahkan masuk sambil melihat bangunan yang ada didalamnya oleh pengurus Vihara yang bernama Bapak Bambang Hariyanto. Ketika ditanyakan mengenai sejarah adanya bangunan tersebut beliau menjelaskan, pada saat masa Orde Baru sebenarnya vihara ini menggunakan nama kelenteng, namun berubah hingga saat ini dengan menggunakan nama vihara. Sebetulnya penggunaan nama kelenteng atau vihara sama saja karena sama-sama mempunyai arti tempat ibadah. Penggunaan nama kelenteng sendiri hanya ada di Indonesia, sejarahnya penyebutan kelenteng dahulunya merupakan hasil tradisi Tionghoa yang mendengar bunyi lonceng dibunyikan saat ibadah umat Tionghoa. Untuk saat ini vihara ini hanya digunakan untuk para umat Buddha.

No Responses

Tinggalkan Balasan