Gaungkan Tema Shalat di Ciater | Jejak Lokasi yang Dilewati Bujangga Manik Sang Resi Petualang

Gaungkan Tema Shalat di Ciater | Jejak Lokasi yang Dilewati Bujangga Manik Sang Resi Petualang

“Sanepi ka bukit se(m)pil, ka to(ng)gongna Bukit Bongkok, sacu(n)duk ka Bukit Cungcung, na jajahan Saung Agung, Ku ngaing geus kaleu(m)pangan, leu(m)pang aing nyangwetankeun, meu(n)tasing di Cilamaya, meu(n)tas di Cipunagara, lurah Medang Kahiangan, ngalalar ka To(m)po Omas, meu(n)tas aing di Cimanuk, ngalalar ka Pada Beunghar, meu(n)tas di Cijeruk-Manis.”

I. NAPAK TILAS JEJAK SEJARAH

Dalam Ilmu Sejarah, kita mengenal ada yang disebut dengan teori Continuity dan Recurrence atau lengkapnya Historic Continuity (Kesinambungan Sejarah) dan Historic Recurrence (Pengulangan Sejarah). Kedua teori ini mengandaikan bahwa sejarah yang terjadi merupakan kelanjutan atau pengulangan saja dari sejarah yang terjadi pada masa sebelumnya. Oleh sebab itu, ungkapan dalam bahasa Inggris menyebutkan, “History repeats itself”.[1]

Sudah sejak lama kita mengetahui, bahwa Belanda membuat bangunan dan jalan di Nusantara dengan mengacu pada sejarah masa lalu. Misalnya, ketika membuat bangunan peristirahatan di Bogor (Buitenzorg) yang kini dikenal sebagai Istana Presiden Bogor, itu juga mengacu pada Istana Kerajaan Pajajaran yang sebelumnya berdiri tidak jauh dari lokasi tersebut. Secara psikologi, bangunan untuk peristirahatan “san souci”[2] itu ingin menunjukkan bahwa Kerajaan Pajajaran sudah musnah dan merekalah kini yang berkuasa.

Begitu juga ketika VOC atau Belanda membangun Jalan Pos Besar (Groot Post Weg) dari Batavia hingga Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka menggunakan cetak biru (blueprint) yang sudah ada sebelumnya. Pada masa dulu, khususnya ketika Kerajaan Pajajaran masih berdiri, prototype jalanjalan di masa itu sudah mulai dikenali terutama dari catatan kuna berbahasa Sunda. Jalan-jalan kuno itu berfungsi sebagai jalur distribusi lada dan hasil bumi lainnya.[3]

Para pemuda Ahmadiyah –yang dikenal sebagai Athfal dan Khudam– selama tiga hari melaksanakan program tahunan yang dikenal sebagai Ijtima, Jumat-Minggu (26-28 September 2025) bertempat di Wana Wisata Smart Hill Camp Ciater, Subang (Jawa Barat). Arti dasar dari Ijtima adalah berkumpul, namun lebih populer dengan arti terapannya yaitu berkemah alias kemping (camping). Di dalamnya dilaksanakan aneka kegiatan terkait fisik dan kerohanian. Tema shalat menjadi tema utama dan sentral.[4]

Lalu, naskah kuno berbahasa Sunda apakah yang menceritakan mengenai kedua teori Sejarah di atas? Siapa yang menulis naskah itu dan bagaimana isinya? Apakah naskah kuno awal abad ke-16 itu juga menyinggung lokasi dilaksanakannya Ijtima Nasional MKAI dan MAAI 2025? Apakah naskah kuno itu juga membicarakan peribadahan?

II. MENGENAL NASKAH KUNO BUJANGGA MANIK

Naskah kuno Bujangga Manik merupakan salah satu naskah berbahasa Sunda Kuno yang memuat kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodleian di Universitas Oxford sejak tahun 1627.

Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata. Cara penulisannya mengadopsi penulisan pada prasasti Tarumanegara, yang disebut sebagai Metrum Anustubh.[5] Metrum Anustubh sendiri artinya syair empat baris yang terdiri dari delapan suku kata. Artinya, selama 12 abad jenis syair ini tetap terpelihara. Begitu juga jenis penulisan Bujangga Manik kemudian dilanjutkan dengan corak Santri Lelana (Islam) atau Purwa Lelana (Jawa).[6]

Sebagai seorang peneliti naskah kuno –baik Filologi Arab, Ibrani, Jawa, Sunda, Farsi, dan lainnya– Penulis telah mengkaji Naskah Kuno Bujangga Manik tersebut langsung dari naskah (transliterisasi) aslinya dan juga kajian karya Filolog lainnya. Nama Dr. J. Noorduyn, Dr. A. Teeuw, Dr. A.J. West, Dr. Ngatawi El-Zastrouw, Dr. Undang Ahmad Darsa, Hawe Setyawan, dan Tien Wartini tidak bisa dilepaskan dari kajian ini.[7]

Dr. J. Noorduyn dan Dr. A. Teeuw telah menulis buku Three Old Sundanese Poem (Tiga Pesona Sunda Kuna). Noorduyn juga secara khusus menulis catatan terkait pengembaraan Bujangga Manik mengelilingi Pulau Jawa dalam Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical Data from An Old Sundanese Source. Sedangkan Dr. A.J. West menulis kajian Filologi berjudul Bujangga Manik or, Java in the Fifteenth Century.[8]

III. MENGENAL LOKASI CILAMAYA DAN CIPUNAGARA DALAM NASKAH KUNO BUJANGGA MANIK

Pada bait ke-715 dan 716 dalam Naskah Bujangga Manik menyebutkan nama dua sungai, yaitu Cilamaya dan Cipunagara. Bahkan, nama Cipunagara disebutkan jauh pada bait sebelumnya (70), yaitu pada perjalanan Bujangga Manik yang pertama. Kedua nama sungai itu, kini terdapat di Kabupaten Subang.

Dikisahkan, bahwa setelah menyeberangi Sungai Citarum (bait ke-707), Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik alias Ameng Layaran kemudian menyeberangi Sungai Cilamaya (bait ke-715). Di antara kedua sungai ini, Bujangga Manik melewati Ramanea dan Saung Agung. Menurut analisa Penulis, kawasan ini sekarang masuk Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu.[9]
Sebab, sungai berikutnya yang diseberangi oleh Bujangga Manik adalah Sungai Cipunagara (bait ke-716). Dalam sumber-sumber Belanda, Sungai Cipunagara ini biasanya disebut sebagai Sungai Pamanukan. Sedangkan dalam Peta Tjiela, nama ini disebut sebagai Cicupunagara. Nama Cicupunagara merupakan nama lengkap dari Cipunagara. Unsur “pu-“ berasal dari kata puhun, artinya asal.[10]

Dalam tulisan Penulis mengenai Kerajaan Islam Timbanganten, telah disebutkan bahwa batas terjauhnya adalah Sungai Cimanuk. Itu artinya, kawasan ini dulunya masih berupa hutan belantara yang dikenal sebagai Wanayasa.[11] Kawasan ini dibatasi oleh Sungai Citarum di sebelah barat, Sungai Cilamaya di sebelah timur dan Sungai Cisomang di sebelah Selatan.

IV. LOKASI PERIBADATAN AMENG LAYARAN

Dalam setiap perjalanannya, Bujangga Manik selalu singgah di lokasi tempat ibadah atau dikenal sebagai Cikabuyutan alias Pawikuan. Bahkan, bila di lokasi tertentu belum ada pawikuan, Bujangga Manik kemudian membangunnya disana. Tetapi, bila sudah ada, Bujangga Manik akan singgah hingga beberapa waktu disana sebelum melanjutkan perjalanannya kembali.

Sebagai seorang Resi Pengembara (Ameng Layaran), Bujangga Manik juga membawa “Kitab Suci” yang disebut sebagai “Apus Ageung”.[12] Apus Ageung itu tentulah suatu media bertuliskan teks-teks keagamaan seperti pada umumnya waktu itu. Bujangga Manik juga dipastikan membawa media tulis berupa daun rontal (lontar) atau gebang. Sebab, kemana-mana Bujangga Manik juga berselempang tas.

Ciri khas Pawikuan atau lokasi peribadatan pada masa adalah berada di suatu dataran tinggi atau bukit. Bentuknya mulai dari yang paling lengkap fasilitasnya hingga yang paling sederhana. Hanya dengan menggunakan media beberapa buah batu yang disusun secara khusus berbentuk circle stone[13] itu sudah dianggap cukup.

Sebagai bagian dari keluarga besar Kerajaan Pajajaran yang menguasai wilayah yang luas, Bujangga Manik tentu saja memiliki pengaruh yang cukup kuat. Berdasarkan analisa Penulis, Bujangga Manik merupakan paman dari Prabu Jayadewata alias Prabu Siliwangi. Oleh sebab itu, pengembaraannya ke berbagai lokasi –lebih dari 450 [14] lokasi– mengalami kemudahan.

Sebagaimana kisah perjalanan Banyak Catra[15] alias Kamandaka yang menemui Resi alias Ajar Wirangrong di Cikabuyutan Tangkuban Perahu, begitu juga Bujangga Manik dipastikan singgah di Cikabuyutan Tangkuban Perahu. Lokasi ini tentulah menjadi jalur yang biasa disinggahi oleh para cantrik dan endang (siswa-siswi pawikuan) pada masanya. Jalur dari Ciater Subang kini menuju Tangkuban Perahu, merupakan jalur kuno pada masa Bujangga Manik dan Banyak Catra melakukan pengembaraannya sekitar lima ratus tahun lalu.

V. KAWASAN CIATER PADA MASA BELANDA

Pada masa VOC (1602-1799), kawasan yang kini dikenal sebagai Ciater, Subang masih berada dan masuk Kerajaan Islam Timbanganten atau Parakanmuncang. Hingga terjadi Program Cultuurstelsel pada 1830, Belanda ingin menjadikan kawasan ini sebagai tempat peristirahatan pejabat-pejabatnya dan juga perkebunan kopi dan teh. Saat itulah kawasan ini masuk ke dalam perkebunan (Onderneming) Pamanoekan dan Tjiasemlanden.

Mengingat di kawasan Ciater terdapat potensi air panas, Belanda kemudian mengembangkan wisata air panas disini. Untuk mendukung tujuan itu, dibangunlah jalanan yang cukup memadai agar bisa dilewati kendaraan atau pedati. Dari beberapa foto kuno dapat terlihat, bahwa kawasan ini dulunya terdapat pabrik teh, kina dan kopi[16] serta bangunan untuk para tuan tanah Belanda.

Sebagai kawasan perkebunan alias onderneming, seorang administrator perkebunan berkebangsaan Belanda biasanya tinggal di lokasi ini. Untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari, pasar pun biasanya dibuka di dekatnya. Begitu juga lapangan atau alun-alun, seperti di Bukanagara yang dibuka pada 1847 oleh Demang Raden Rangga Martayudha (1790-1856) atas perintah Kontrolir Afdeeling Onderneming Hoftland. []

 

Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)

CATATAN:
*) Selesai ditulis pada Jumat, 26 September 2025 pkl. 09:45 WIB di Griya Carani “DAAR EL-JUMAAN” Kemang, Bogor (Jawa Barat).

**) Penulis adalah Mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia (2003-sekarang) yang kini diberi amanat sebagai Dosen Perbandingan Agama & Bahasa Farsi dan Naib Principal Bidang Akademik Jamiah Ahmadiyah Internasional Indonesia. Penulis juga adalah seorang Filolog & Kodikolog pada Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku dan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia atau FORMASAA-I (2017-2025).

NOTASI KHUSUS:
[1] Kitab Suci Al-Qur’an, dalam Surah Aali Imran ayat 141 menyebutkan teori sejarah ini dengan jelas, bahwa “harihari itu dipergilirkan di antara manusia ….” (Lihat, paparan Penulis dalam YouTube MTA Internasional Programa Indonesia berjudul Qur’an & Science [Filologi]: Nabi Muhammad saw Sebagai Bapak Literasi Dunia[?]).

[2] Kata “San Souci” adalah istilah yang dipergunakan di Eropa pada abad ke-18 dan 19 untuk menyebut vila atau bungalow. Arti harfiahnya adalah tidak ribut, tenang, damai. Dalam bahasa Belanda disebut dengan Buitenzorg, yang dalam perkembangannya menjadi “Bogor” (akibat kaidah penyakit bahasa yang disebut Metatesis).

[3] Kerajaan Pajajaran memiliki wilayah yang sangat luas pada masanya. Wilayahnya mencakup Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan sebagian Jawa Tengah hingga ke Banyumas dan Wonosobo. Berbagai komoditas pertanian dan perkebunan dihasilkan dari pedalaman wilayah kekuasaannya. Oleh sebab itu, jalur pedati kemudian dibuat meski masih sangat sederhana. Jalur itulah yang kemudian diperbagus oleh Belanda dalam penataan infrastruktur berikutnya.

[4] Tema lengkapnya adalah Shalat: Jalan Menuju Kemenangan. Landasan ayat Al-Qur’an yang dipakai adalah Surah Al-Mu’minuun ayat 3 (“Mereka yang khusyuk, dalam shalatnya”).

[5] Metrum Anustubh atau Anustub atau Anustup adalah jenis syair empat baris yang terdiri dari delapan suku kata (octosyllabic). Metrum ini berasal dari sastra Sansekerta atau Pallawa India, yang kemudian diteruskan oleh Bahasa Sunda kuna khususnya di dalam naskah gebang seperti Siksakandang Karesian dan lainnya.

[6] Jenis penulisan yang meniru naskah Bujangga Manik tersebut kemudian menjadi populer, baik di dalam maupun diluar negeri. Bahkan pada masa naskah Bujangga Manik dibuat, Tome Pires yang mengunjungi ibukota Kerajaan Pajajaran di Pakuan (Batutulis, sekarang) pada 1511-1513 juga menulis catatan perjalanannya, Suma Oriental.

[7] Hanya sedikit orang khususnya Filolog yang memahami aksara dan bahasa Sunda kuna (Budhascrip) tersebut. Penulis merupakan salah seorang yang beruntung karena sejak 1986 dan 1994 mempelajarinya untuk pertama kali.

[8] Penulis sendiri telah menulis analisa perjalanan Bujangga Manik ke kawasan Cikuray, khususnya Wanasigra, Sukasari, Patok dan kawasan sekitarnya. Bahkan, diperkirakan Bujangga Manik juga singgah di Pawikuan/Cikabuyutan yang ada di sekitar Wanasigra tersebut. (Lihat, buku Penulis berjudul Samida Srimanganti Kerajaan Pajajaran di Cikuray, 2023)

[9] Karena jalur yang sudah terbentuk sebelumnya, Bujangga Manik pun mengikuti jalur ini mulai dari Subang, Indramayu, Sumedang, Majalengka, Kuningan dan seterusnya. Tentu saja, beratnya medan menyebabkan perjalanan tersebut berlangsung cukup lama. Selama dua kali pengembaraannya, Bujangga Manik menghabiskan waktu selama 10 tahun. Sebab, terkadang Bujangga Manik juga tinggal di suatu lokasi hingga satu tahun lamanya terutama di Pawikuan/Cikabuyutan besar.

[10] Semua kata yang diawali dengan “Ci-“ itu menunjukkan asalnya adalah lokasi Sungai. Asal katanya adalah Cai, air.

[11] Kata Wanayasa terdiri dari dua kata, yaitu “Wana” dan “Yasa”. Wana (Jawa: Wono) artinya hutan, sedangkan Yasa berarti buatan, didirikan, dibangun. Ini menunjukkan, bahwa kawasan ini meskipun berupa hutan lebat tetapi asalnya adalah hutan buatan. Istilah lain adalah Tajur Nyanghalang (Tajur Halang), yaitu hutan buatan untuk tujuan pertahanan. Bandingkan dengan kata Wanasigra.

[12] Istilah “Apus Ageung” (Kitab Besar), bukan berarti bentuknya besar melainkan karena kedudukannya yang terhormat. Karena tradisi penulisan pada masa lalu, yang disebut “Apus Ageung” tentu saja bentuknya adalah sama seperti naskah lainnya, yaitu dalam lempir gebang atau lontar dilapisi takepan kayu atau bambu.

[13] Belum lama ini, di Jahiang, Tasikmalaya ditemukan muntir stone alias batu yang tersusun secara memutar. Dipastikan ini adalah Cikabuyutan atau Pawikuan kuna, sebagai pusat peribadatan. Untuk fasilitas yang lengkap, tentu saja seperti apa yang digambarkan dalam naskah Bujangga Manik. Sedangkan yang sederhana, cukup dengan lingga dan yoni saja.

[14] Nama-nama tempat yang ditulis dalam naskah kuna Bujangga Manik sebanyak 450 tempat itu dapat dibagi menjadi tiga bagian: (i) tempat yang namanya hingga hingga masih tetap sama, (ii) tempat yang namanya sudah berubah dan (iii) tempat yang sudah tidak dikenali lagi namanya dalam toponimi modern. Untuk yang terakhir, nama Ramanea merupakan salah satu nama yang tidak dikenali lagi lokasinya.

[15] Banyak Catra alias Kamandaka adalah salah seorang putra Prabu Siliwangi yang melakukan pengembaraan hingga ke Kerajaan Pasir Luhur di Banyumas untuk mencari pendamping (istri). Kamandaka pernah singgah di Pawikuan Resi/Ajar Wirangrong di Gunung Tangkuban Perahu. (Lihat, tulisan Penulis saat menggambarkan Ijtima MKAI & MAAI 2024 di Baturraden, Banyumas).

[16] Komoditas teh, kopi dan kina ditanam di perkebunan Subang meskipun yang kemudian terkenal hanya kopi dan teh. Namun, dari foto kuno yang Penulis dapatkan dari arsip Belanda, di Subang saat itu sudah ditanam pohon kina. Tampak tiga orang gadis kecil sedang memainkan biji kina di depan rumahnya, di Subang. Foto dari abad ke-19 itu berasal dari Leiden Universiteit, Belanda.

No Responses

Tinggalkan Balasan