Sains, Kedokteran, dan Teknologi: Usia Bumi

Sains, Kedokteran, dan Teknologi: Usia Bumi

Pada tanggal 18 Desember 1946, setelah salat Magrib, Dr. Mela Ram PhD, Profesor Fisika, FC College Lahore, menyampaikan ceramah tentang usia Bumi, di hadapan sebuah pertemuan di Masjid Aqsa, Qadian, (India). Yang Mulia, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra), pemimpin kedua Jamaah Muslim Ahmadiyah sedunia, memimpin pertemuan tersebut. Setelah ceramah Dr. Mela Ram, para hadirin dipersilakan untuk bertanya, tetapi selain Dr. Abdul Ahad, PhD, tidak ada yang bertanya.

Setelah jeda sejenak, Yang Mulia naik podium untuk menyampaikan pidato agung sesuatu kedudukannya sebagai pemimpin Jemaat.

Setelah membaca Tasyahud, Ta’awwuz, dan Surah al-Fatihah, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) menyatakan,

Sepertinya orang-orang tidak ingin bertanya apa pun. Sebelumnya, ketika Dr. Kachlo yang terhormat berbicara tentang Energi Atom, banyak pertanyaan diajukan kepadanya. Namun kini, setelah mendengarkan pidato tentang usia bumi, keheningan total menyelimuti mereka, dan kecuali Dr. Abdul Ahad Sahib, tidak ada seorang pun yang mengajukan pertanyaan. Dalam Psikologi, ada dua alasan untuk hal ini: seseorang diliputi rasa takjub dan mulai mengoceh, atau ia tetap diam sepenuhnya. Hanya seorang ahli psikologi yang dapat menemukan alasan sebenarnya dari keheningan ini.

Sudut pandang ilmiah yang disampaikan Dr. Mela Ram cukup menarik. Terkait agama, kita tidak menemukan alasan untuk tidak setuju dengan pendapatnya, tetapi pada saat yang sama, kita tidak dipaksa untuk menerima ini sebagai kebenaran mutlak.

Dari perspektif agama, temuan-temuan ini tidak menimbulkan kekhawatiran atau ketakutan. Mungkin terlintas di benak sebagian orang bahwa dalam kitab suci agama, usia bumi disebutkan enam ribu tahun, namun sains kini menyajikan bukti bahwa bumi berusia miliaran tahun. Ada dua hal yang perlu diingat dalam hal ini.

Pertama, enam ribu tahun bukanlah usia bumi fisik yang tersusun dari bebatuan dan berbagai logam. Bumi fisik mungkin berusia miliaran tahun, atau bahkan lebih tua, tetapi hal itu tidak relevan [dari perspektif agama]. Enam ribu tahun yang disebutkan dalam kitab suci agama mewakili periode sejak kedatangan Nabi Adam (as) hingga zaman sekarang. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara pandangan ilmiah dan agama mengenai usia bumi.

Ketika kita mengatakan bahwa bumi berusia enam ribu tahun, kita menyimpulkan bahwa kedatangan Nabi Adam (as), yang merupakan bapak peradaban saat ini, terjadi enam ribu tahun yang lalu. Kita tentu tidak bermaksud bahwa tidak ada Adam sebelum kedatangan Adam kita (as). Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa kakek buyutnya berimigrasi ke India pada waktu tertentu, apakah itu berarti bahwa sebelum kakek buyut tersebut, ia tidak memiliki leluhur? Yang ia maksudkan hanyalah bahwa seorang leluhur tertentu berimigrasi ke India pada waktu tertentu; sedangkan leluhurnya yang mendahuluinya telah ada sebelumnya. Al-Qur’an Suci mengungkapkan bahwa Adam (as) yang disebutkan dalam Al-Qur’an Suci bukanlah Adam yang merupakan nenek moyang umat manusia. Sebaliknya, Adam (as) yang disebutkan dalam Al-Qur’an Suci adalah orang yang mendirikan peradaban saat ini yang secara bertahap telah berkembang dalam enam ribu tahun terakhir hingga mencapai keadaannya saat ini.

Dari Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa umat yang diutus Nabi Adam (as) bukanlah ras yang maju dan sama sekali belum memiliki perkembangan dan organisasi sosial manusia. Al-Qur’an menggambarkan mereka sebagai jin, yaitu manusia yang tinggal di gua-gua dan tidak bermukim di daratan sebagai komunitas (kumpulan atau jemaat). Pada masa itu, otak manusia belum berevolusi hingga mampu membentuk komunitas atau memahami pembagian kerja. Mereka hidup terisolasi di gua-gua, mirip dengan harimau, cheetah, dan serigala, yang berkeliaran di hutan secara mandiri tanpa membentuk komunitas.

Atas dakwah Nabi Adam (as), sebagian dari mereka menerima konsep kehidupan bermasyarakat dan beradab sehingga disebut insan [manusia beradab]. Dan mereka yang menolak risalah Nabi Adam (as) disebut jin sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, karena mereka lebih suka tinggal di gua-gua dalam kesendirian. Mereka yang mengikuti Nabi Adam (as) belajar membangun tempat tinggal di daratan dan diberi gelar basyar dan insan [manusia beradab].

Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa tidak ada manusia sebelum kedatangan Nabi Adam (as) Penyebutan manusia dan jin tidak merujuk pada dua jenis makhluk, melainkan merujuk pada dua jenis masyarakat dan kondisi moral masing-masing. Pada masa Nabi Adam (as), hukum terdiri dari aturan-aturan sederhana yang mengajarkan bahwa jika manusia hidup rukun, saling membantu, dan membangun komunitas, mereka akan mengatasi kesulitan haus, lapar, dan sandang. Itulah hukum dasar, yang bebas dari segala kerumitan dan kerumitan. Hukum ini tepat dan konsisten dengan kapasitas intelektual manusia pada masa itu. Ketika Nabi Adam (as) menyampaikan hukum ini kepada kaumnya, sebagian kaum menerimanya dan setuju untuk mengikuti Nabi Adam (as); karena itu, kaum ini disebut Admi (dalam bahasa Urdu artinya manusia) [“Admi” ialah kata dalam bahasa Urdu yang menunjuk arti manusia dan diambil dari kata “Adam” [Publisher]]. Mereka yang menolak hukum ini disebut jin. Al-Qur’an menyatakan bahwa keturunan jin dan manusia akan terus ada secara bersamaan di bumi ini. Status mereka dari manusia menjadi jin akan terus berubah di antara keduanya, tergantung pada penerimaan atau penolakan mereka terhadap Nabi pada masa itu. Oleh karena itu, dengan munculnya setiap nabi baru, sebagian orang mencapai status manusia [admi] dengan beriman kepada nabi; sementara yang lain menolak nabi dan disebut sebagai jin.

Ungkapan bahwa dunia berusia enam ribu tahun menandakan usia peradaban saat ini. Agama tidak memberikan rincian apa pun tentang waktu sebelum itu; atau setidaknya kita belum dapat menyimpulkan rincian apa pun tentang hal ini dari kitab suci agama. Periode enam ribu tahun adalah masa ketika manusia mulai mengikuti perintah-perintah agama. Sebelum ini, manusia tidak memiliki kapasitas untuk mengikuti hukum agama, oleh karena itu agama tidak merujuk apa pun ke periode tersebut. Sesungguhnya, para ilmuwan, matematikawan, dan ahli geografi bebas untuk melanjutkan penelitian mereka [tentang usia bumi].

Agama adalah tentang hal-hal ruhani, dan seseorang tidak perlu menjadi ahli ilmu fisika untuk mencapai kemajuan ruhani. Itulah sebabnya Allah Ta’ala tidak mengajarkan sains, geografi, dan matematika dalam agama. Sebaliknya, Allah SWT memberi manusia pilihan untuk mempelajari disiplin ilmu ini melalui usahanya sendiri. Dalam ranah agama, mata pelajaran ini tidak penting. Maksud saya, menjadi ahli fisika dan kimia tidaklah penting untuk dapat menjalin ikatan yang kuat dengan Allah SWT. Seandainya demikian, sangat sedikit orang yang mampu mencapai Tuhan.

Allah SWT tidak menciptakan kesulitan bagi manusia. Allah SWT telah menjadikan jalan untuk menemukan-Nya begitu sederhana dan mudah sehingga bahkan orang dengan kecerdasan dasar pun dapat mencapai Allah SWT melalui ibadah yang teratur dan dengan mengamalkan akhlak yang diajarkan agama. [Dengan menyatakan bahwa bumi berusia enam ribu tahun], agama hanya menjelaskan awal mula perjalanan ruhanimanusia. Apa yang ada sebelum itu tidak menjadi urusan agama. Sebelum itu, akal manusia tidak mampu mengikuti hukum agama, sehingga periode sebelum enam ribu tahun dikecualikan dari ranah perdebatan agama.

Apakah ada orang yang mengajarkan Al-Qur’an kepada orang yang telah kehilangan akal dan mengajak mereka untuk mengikuti hukum Syariah? Tidak ada orang bijak yang mengajarkan Al-Qur’an kepada seseorang yang telah kehilangan kemampuan untuk memahami dan mengikuti syariat. Meskipun orang tersebut berjalan, makan, minum, dan bernapas seperti orang lain, ia tidak dapat dianggap sebagai manusia yang waras. Dari perspektif medis, tentu saja, ia adalah manusia, tetapi ia tidak akan dianggap sebagai makhluk ruhani karena kurangnya kapasitasnya untuk memahami hal-hal ruhani. Demikian pula, manusia sebelum Nabi Adam (as) tidak memiliki kapasitas intelektual untuk memahami agama.

Jawaban kedua adalah bahwa Islam tidak mengatakan bahwa Nabi Adam (as) dari siklus manusia kita saat ini adalah nenek moyang seluruh umat manusia dan bahwa tidak ada manusia sebelum beliau. Hazrat Muhyiuddin Sahib Ibn Al-‘Arabi (rh) pernah melihat dalam sebuah penglihatan bahwa beliau sedang melakukan ziarah mengelilingi Ka’bah bersama banyak orang lain. Seseorang mengatakan kepadanya bahwa Nabi Adam (as) juga sedang melakukan ziarah mengelilingi Ka’bah. Dalam penglihatan itu, beliau bertanya kepada seorang pemuda, ‘Di mana Nabi Adam (as)? Saya ingin bertemu dengannya.’ Pemuda itu menjawab, ‘Adam yang mana yang kau maksud? Adam yang mana yang kau maksud? Ada ribuan Adam yang hadir di sini.’ [Muhyiuddin ibn Al-‘Arabi,Al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Vol. 3, p. 531, Beirut 1998]

Sekarang renungkanlah; jika ada banyak Adam dan setiap era Adam mencakup periode beberapa ribu tahun, maka usia Bumi akan dengan mudah mencapai miliaran tahun. Namun, agama hanya berkaitan dengan periode waktu ketika otak manusia telah cukup berevolusi untuk memperoleh kapasitas memahami agama. Jika ada ribuan Adam yang lahir selama miliaran tahun, itu pun tidak akan mewakili usia bumi. Karena langit dan bumi tidak perlu diciptakan pada hari yang sama ketika Adam pertama lahir. Tidak diragukan lagi, langit dan bumi telah diciptakan sebelum itu. Oleh karena itu, mencoba mencari tahu berapa lama langit dan bumi diciptakan sebelum Adam pertama adalah seperti meraba-raba dalam kegelapan.

Jadi, tidak ada kontradiksi antara sudut pandang yang kami sampaikan dan sudut pandang yang disampaikan oleh Dr. Mela Ram. Ada pertanyaan lain yang ingin saya tanyakan kepadanya, tetapi mungkin di lain kesempatan. Namun, salah jika mengatakan bahwa ada pertentangan antara agama dan sains. Agama adalah firman Tuhan dan sains adalah karya Tuhan; tidak boleh ada pertentangan di antara keduanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Mela Ram, menurut penelitian mereka, usia dunia adalah 20 miliar tahun. Dalam hal ini, kita tidak melihat adanya kontradiksi antara firman dan perbuatan Allah SWT. Namun, jika kita sampai pada titik di mana firman Tuhan tampak bertentangan dengan karya Tuhan, maka kita akan menganggap bahwa kita, umat beriman, telah keliru dalam memahami perspektif agama, atau para ilmuwan telah keliru. Maka, penelitian baru atau wahyu baru [yaitu, ilham ilahi] akan menyinarinya dengan cahaya baru dan menyelesaikan masalah tersebut.

Kedua, kita tidak wajib menerima semua teori sains sebagai akurat. Misalnya, jika seseorang mengklaim telah mengunjungi Lahore, ada kemungkinan pasti bahwa ia memang pernah mengunjunginya, tetapi bukan fakta mutlak bahwa ia benar-benar mengunjungi Lahore. Mungkin saja ia tidak mengunjungi Lahore dan berbohong. Hanya karena seseorang mengklaim telah mengunjungi Lahore, bukan berarti kita harus menerima klaimnya. Demikian pula, banyak pernyataan yang diajukan oleh sains hanyalah teori; artinya, pernyataan tersebut hanyalah kesimpulan berdasarkan logika. Oleh karena itu, jika sesuatu mungkin secara logis, hal itu tidak menjadikannya fakta yang terbukti. Jadi, jika suatu teori ilmiah bertentangan dengan agama, tetapi logika dan kebijaksanaan menunjukkan bahwa hal itu merupakan kemungkinan teoretis, maka kita berhak mengatakan bahwa kita tidak siap menerima pernyataan ini kecuali didukung oleh bukti yang kategoris dan konklusif, atau sampai teori ilmiah tersebut didukung oleh sudut pandang agama.

Singkatnya, apakah usia bumi diperkirakan 30 juta tahun atau 3 miliar tahun, hal ini tidak bertentangan dengan konsep yang disajikan oleh agama. Hal ini karena kita tahu bahwa sifat Tuhan sebagai ‘Sang Pencipta’ [Khaliqiyyat] tidak terbatas. Allah Ta’ala telah ada sejak kekekalan dan akan ada selamanya. Dia selalu menjadi Sang Pencipta dan sifat-Nya sebagai Pencipta tidak terbatas. Jika kita mengatakan bahwa dunia ini berusia 20 miliar tahun, hal ini membatasi sifat Penciptaan Tuhan. Faktanya, 20 miliar tahun dibandingkan dengan kekekalan bagaikan membandingkan setetes air dengan lautan. Jadi, jika sifat Penciptaan Allah Ta’ala bersifat kekal, seseorang tidak dapat menghitung tanggal asal usul bumi. Karena ini adalah soal perhitungan yang sangat panjang, bahkan melampaui miliaran dan triliunan tahun. Jika seorang matematikawan menghabiskan seluruh hidupnya, dari hari kelahirannya hingga hari kematiannya, ia pun tidak akan mampu menentukan tanggal yang akurat. Menurut saya, mencoba menghitung keabadian adalah buang-buang waktu. Tuhan kita Kekal dan Abadi; ciptaan-Nya telah bersama-Nya sejak kekekalan. Ini karena meyakini bahwa ada masa ketika Tuhan berdiam diri bertentangan dengan Keagungan-Nya, dan Tuhan yang berdiam diri tidak mungkin adalah Tuhan.

(Diterbitkan, Al-Fazl, 25 Januari 1947, hlm. 1-3)

(Anwar-ul-Uloom, Jilid 18, hlm. 495-502)

https://www.reviewofreligions.org/30399/the-age-of-the-earth/

Diterjemahkan dari bahasa Urdu kedalam Bahasa Inggris oleh untuk pertama kalinya oleh Dr. Amatul Razzaq Carmichael untuk Tim Penerjemah The Review of Religions. The Review of Religions bertanggung jawab penuh atas segala kesalahan penerjemahan.

Penerjemah dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia :
Mln. Dildaar Ahmad Dartono,
Muballigh Muslim Ahmadiyah di Jemaat lokal Piyungan-Bantul-Daerah Istimewa Yogyakarta

No Responses

Tinggalkan Balasan