10 Syarat Munazirat Mazhabiyyah dan Korelasinya dengan Kualitas Mahasiswa Jamiah

10 Syarat Munazirat Mazhabiyyah dan Korelasinya dengan Kualitas Mahasiswa Jamiah

“Mereka yang akan melakukan dialog [keagamaan] dengan orang-orang Kristen adalah penting mengemukakan nubuatan-nubuatan dan yang lainnya serta hendaknya menyebutkannya dalam bahasa Ibrani. Benar, bahwa seseorang yang memahami bahasa Arab setidaknya akan dengan mudah memahaminya. Karena, saya telah membuktikan perbandingan kosakata dalam bahasa Arab dan Ibrani. Kesimpulannya, dari empat kosakata bahasa Ibrani, tiga bagiannya adalah bahasa Arab murni yang telah tercampur.” (Faryad Dard, Ruhani Khazaain, Jld. XIII, hlm. 372).

Sejak 2007, Penulis sudah mempelajari Silabus Jamiah Ahmadiyah Internasional.[1] Saat itu, pada masa Jamiah Ahmadiyah Indonesia dipimpin oleh Drs. H. Djamil Sami’an, juga diharapkan dapat menerapkannya. Namun, karena komunikasi dengan Pusat yang belum lancar dan agak terhambat, penerapan itu belum maksimal. Ketiadaan referensi asli menjadi salah satu kendalanya.

Sebenarnya Silabus Jamiah Internasional itu telah diterjemahkan oleh Direktur Jamiah Mln. H. Mahmud Ahmad Cheema, H.A., Shd. pada 1994. Namun draft terjemahan berupa tulisan tangan (masudah) beliau itu hanya menjadi sekedar arsip belaka. Belum ada upaya untuk menindaklanjutinya.

Pada 2007-2017, upaya untuk meningkatkan derajat Syahid sebagai konsekuensi penerapan Silabus Jamiah Ahmadiyah Internasional itu pun mulai dilakukan.[2] Pengiriman para dosen Jamiah Ahmadiyah Indonesia dilakukan untuk persiapan: ada yang ke Rabwah (Pakistan), ada yang ke Qadian (India).[3]

Begitu pula komunikasi dengan Pusat terus dilakukan secara berkala. Permohonan Silabus Jamiah Ahmadiyah Internasional dan teknis penerapannya dikirimkan ke hadapan Hudhur V atba. Ada beberapa langkah yang kemudian harus dilakukan oleh Jamiah Indonesia untuk menjalankan program Syahid ini.

Membandingkan Silabus Internasional dan tulisan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dalam kitab “Al-Balagh” terasa seolah satu nafas. Ini tidak mengherankan, karena seorang Mubalig juga adalah seorang yang dianggap ahli dalam bidang tertentu. Dan, 10 syarat yang harus dikuasai oleh seorang apologet Muslim, juga adalah syarat yang harus dikuasai pula oleh seorang Mubalig Ahmadiyah.

Mengenal Kitab Al-Balagh (FARYAD DARD)

Pada tahun 1897, seorang pejabat medis di Ladakh bernama Dr. Ahmad Shah Sa’iq beralih memeluk agama Kristen dan pindah ke Oxford, Inggris. Disana ia menerbitkan buku berjudul “Ummahat al-Mu’minin” yang isinya sangat melukai perasaan kaum muslimin.

Buku ini disebarkan secara gratis kepada kalangan Muslim di India sebanyak 1000 eksemplar. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. baru menerima buku ini pada 15 Februari 1898. Beliau a.s. melihat, bahwa isi buku ini memang sangat melukai perasaan kaum Muslim secara mendalam dan menyebabkan kegelisahan di kalangan mereka.

Oleh sebab itu pada Mei 1898, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. kemudian menulis sebuah buku jawaban yang diberi judul “Al-Tabligh” atau Faryad Dard. Buku ini ditulis dalam dua bagian. Bagian pertama berbahasa Urdu, bagian kedua menggunakan bahasa Arab. Namun, buku ini baru diterbitkan lama setelah penulisannya yaitu pada masa Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., 1922.[4]

Di dalam buku ini, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. meletakkan suatu fondasi yang kuat mengenai dialog lintas agama (interfaith) dan bagaimana seharusnya kualitas para pelakunya. Menurut beliau, ada 10 syarat yang harus dimiliki oleh para debater Muslim yang akan menjadi wakil Islam.

Mengenal Silabus Jamiah Internasional

Silabus Jamiah Ahmadiyah Internasional yang kini dipergunakan adalah yang diterima dari Wakilut Ta’lim Tahrik Jadid pada 2018. Dalam surat bertanggal 7 Januari 2018 yang ditujukan kepada Principal Jamiah Ahmadiyah Indonesia via Amir Nasional itu disebutkan bahwa “Silabus lengkap dikirimkan kepada Anda”. Termasuk, kebutuhan referensi terkait juga dipersilakan untuk dilengkapi.

Sebelumnya dalam surat Qaim Maqam Wakilut Ta’lim Tahrik Jadid Rabwah bertanggal 2 Agustus 2017, ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh Jamiah Ahmadiyah Indonesia untuk meningkatkan status menjadi derajat Syahid. Surat ini sebagai tindak lanjut dari Khotbah Jumat Hadhrat Khalifatul Masih V atba tgl. 10 Maret 2017.

Langkah-langkah itu di antaranya, adalah:

1. Persiapan SDM khudam calon mahasiswa Jamiah setengah tahun sebelumnya;

2. Meminta referensi buku-buku ke Qadian atau London;

3. Mengirimkan Dosen-dosen untuk mempelajari lebih lanjut mengenai Jamiah Internasional di Rabwah atau Qadian;

4. Mendatangkan anggota senior atau mubalig senior untuk mengisi materi / mengajar di Jamiah Indonesia sebagai visiting professor;

5. Mendatangkan dosen dari lulusan Jamiah Qadian, Kanada, London atau Jerman;

6. Memperluas Perpustakaan Jamiah.[5]

 

No Responses

Tinggalkan Balasan