Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir Bahasa Sunda oleh Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia

Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir Bahasa Sunda oleh Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia

“Selanjutnya, terdapat perkembangan menarik dengan dipublikasikannya terjemah Sunda versi Jemaah Ahmadiyah, Kitab Suci Al-Qur’an Tarjamah Sunda, 3 Jilid. Ia merupakan bagian dari proyek penerjemahan Al-Qur’an ke dalam seratus bahasa di dunia sekaligus memperingati 100 tahun pendirian Jemaat Ahmadiyah (23 Maret 1989).”

AL-QUR’AN TERJEMAH BAHASA SUNDA DARI MASA KE MASA (ABAD XVII-XX MASEHI)

Secara umum, belum diketahui siapa yang pertama melakukan penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Sunda.[1] Tetapi dari usaha penelusuran naskah-naskah Sunda yang Penulis lakukan, diketahui hanya ada sedikit naskah yang berkaitan langsung dengan tema kajian Al-Qur’an. Misalnya, “Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara 5-A Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga” hanya mencatat dua puluh naskah bertemakan Al-Qur’an.[2]

Dari keduapuluh koleksi tersebut diketahui terdapat dua naskah terjemah Al-Qur’an berbahasa Sunda. Naskah yang bernomor 14, berbahasa Sunda dan Jawa menggunakan aksara Roman yang disalin sekitar abad ke-18 di Garut dengan halaman awalnya berisi surat Al-Fatihah dan halaman akhirnya surat Al-Nas. Sedang naskah bernomor 113a berbahasa Sunda yang disalin abad ke-20 di Banjaran Bandung dengan teks salinan ayat-ayat suci Al-Qur’an juz 30 berisi surat 114 (al-Naas) sampai surat ke-95 (Al-Tin).

Kajian naskah lainnya dilakukan Puslitbang Lektur Keagamaan Kemenag yang secara khusus melakukan penelitian naskah dari abad ke-18 dan 19 di daerah Cianjur. Hasilnya pun menunjukkan bahwa tema kajian Al-Qur’an tergolong minim.[3] Dari 73 (tujuh puluh tiga) naskah yang dikaji hanya lima naskah terkait dengan kajian Al-Qur’an. Meskipun demikian, dari beberapa naskah tersebut, bisa diketahui bahwa sekitar abad ke-18 perhatian orang Sunda terhadap penerjemahan Al-Qur’an sudah berkembang bahkan boleh jadi jauh sebelumnya seiring dengan masuknya Islam di tatar Sunda sekitar abad ke-17.

Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad ke-19 seiring dengan digunakannya mesin cetak. Adalah R.H. Muhamad Musa (1822-1886), Hoofd[4] Penghulu Limbangan (Garut), ulama, sastrawan Sunda pertama yang berkat persahabatannya dengan K.F. Holle (1829-1896), tuan tanah Perkebunan “Waspada” Cikajang, mencetak karya sastra Sunda berupa wawacan dan kemudian diikuti oleh kalangan menak selanjutnya. Selain menulis wawacan, Musa juga dilaporkan menerjemahkan Al-Qur’an dari bahasa Belanda.

Kemudian yang paling populer adalah Haji Hasan Mustapa (1850-1930), Hoofd Penghulu Bandung. Beliau adalah seorang sastrawan menak yang menulis dangding sufistik Sunda. Ia juga memberikan penafsiran ayat-ayat terpilih sekitar tahun 1920. Mustapa dikenal sebagai sastrawan Sunda, ahli tasawuf yang pernah tinggal bertahun-tahun di Mekah, mengajar lusinan murid dan memberi ceramah di Masjid al-Haram tentang penafsiran Al-Qur’an. Beliau menafsirkan 105 ayat Al-Qur’an terdapat dalam naskah Qur’anul Adhimi (1921-1922) yang dianggap penting dan relevan bagi kehidupan orang Sunda. Karya ini pernah beredar terbatas dalam bentuk stensil tahun 1930-an.

Setelah era Mustapa, kajian Al-Qur’an di masyarakat Sunda semakin menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Bahkan pada pertengahan abad ke-20, era di mana kajian para sarjana lebih terfokus pada tafsir Melayu-Indonesia, publikasi terjemah dan tafsir Sunda justru muncul lebih banyak lagi. Penulis memiliki aneka koleksi Terjemahan dan Tafsir dalam bahasa Sunda tersebut, di antaranya yang ditulis oleh K.H. Qomaruddin Sholeh[5], Ustad Ahmad Hassan dan lainnya.

TERJEMAHAN AL-QUR’AN BAHASA SUNDA KARYA JEMAAT MUSLIM AHMADIYAH INDONESIA (ABAD XX-XXI MASEHI)

Untuk pertama kali, terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Sunda diterbitkan oleh Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia pada 1985.[6] Naskah yang menjadi sumber terjemahan adalah The Holy Qur’an with English Translation and Commentary, karya Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dan diringkas ke dalam bahasa Inggris oleh Hadhrat Maulana Malik Ghulam Farid, M.A.
Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia melakukan cetakan kedua pada 2014, sedangkan cetakan ketiga dilakukan sepuluh tahun kemudian pada 2024. Pada Cetakan ketiga ini, diterbitkan oleh Neratja Press.[7] Nama yang dipergunakan untuk judul karya ini adalah “Al-Qur’an kalawan Tarjamah & Tapsir Singget dina Basa Sunda” (Al-Qur’an with English Translation and Short Commentary in Sundanese).

Pada Cetakan ketiga ini, “Al-Qur’an kalawan Tarjamah & Tapsir Singget dina Basa Sunda” ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu Jilid I dan II. Jilid I mencakup 15 juz pertama, mulai dari Surah Al-Fatihah hingga Surah Al-Kahfi ayat 75 atau mulai dari halaman x+934 (944 halaman atau 472 lembar). Ada sebanyak 18 Surah yang tercakup di dalamnya, mulai dari Surah Al-Fatihah hingga Surah Al-Kahfi.

Sedangkan Jilid II mencakup Juz 16 hingga Juz 30 atau mulai Surah Al-Kahfi hingga Surah Al-Naas atau sebanyak 96 Surah. Jumlah halamannya sebanyak x+935-2285 (1360 halaman atau 680 lembar). Ini sudah termasuk Indeks, yang mencakup Jejer, Rujukan dan Catatan Tambahan, mulai halaman 2108 hingga 2285 atau sebanyak 77 halaman atau 39 lembar.

Pada Jilid I terdapat “Pangjajap ti Panitia Tarjamah” yang diberikan oleh Pupuhu Drs. Atik Na’im Ahmad dengan titimangsa Bandung, Juli 2024. Sedangkan pada Jilid II, terdapat “Pangjajap ti Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia” yang diberikan oleh Mln. Mirajudin Sahid, Shd. dengan titimangsa Bogor, Juli 2024.

Panitia Tarjamah Al-Qur’an Basa Sunda yang terlibat dalam penerjemahan ini adalah Bpk. R. Ahmad Anwar, Bpk. Drs. Ruhiyat Sadkar, Bpk. Rd. Ridhoan, Bpk. Hikmat Sadkar dan Bpk. Ahmad Bakir. Tim ini dibantu oleh tim teknis yang terdiri dari Bpk. Dodi Kurniawan, S.Pd., Bpk. Agus Jeni, S.Kom., Bpk. Agus Adiman dan Bpk. Mubasyir Ahmad. Panitia ini kemudian diteruskan oleh Bpk. Drs. Atik Na’im Ahmad dan Bpk. Entang Rasyid Ahmad, S.Hut.

Karena dalam perkembangannya, ada penerjemah yang wafat, maka susunan Tim Penerjemah kemudian dirubah lagi termasuk memasukkan Mubalig Mln. Abdul Karim Mun’im. Namun, karena ada Mubalig yang juga pindah tugas, maka Tim Penerjemah yang ada dilengkapi dengan dua Mubalig lainnya, yaitu Mln. Tatan Langgri Donan Bara dan Mln. Sani Khisty Mueenuddin.

LOCAL GENIUS DALAM TERJEMAHAN AL-QUR’AN BAHASA SUNDA KARYA JEMAAT MUSLIM AHMADIYAH INDONESIA

Local Genius adalah kecerdasan atau kemampuan masyarakat lokal untuk menyerap, mengolah dan mengadaptasi pengaruh dari kebudayaan asing agar sesuai dengan kepribadian dan jati diri bangsa sendiri, bukan sekadar menerima begitu saja.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Quaritch Wales[8] dan dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengubah atau menyesuaikan budaya asing menjadi wujud baru yang lebih harmonis dengan budaya lokal, seringkali menghasilkan akulturasi yang unik.

Dalam Terjemahan Al-Qur’an Bahasa Sunda tersebut, beberapa contoh local genius perlu disebutkan:
Pertama, sebutan untuk nama Tuhan secara khusus (Allah) dan umum (Rabb) menggunakan kata “Pangeran”. Dalam tradisi Sunda dan Jawa, kata “Pangeran” memiliki makna ganda, yaitu sebagai gelar kebangsawanan untuk keturunan raja atau orang berjasa, serta gelar untuk Tuhan (bila digabung dengan kata “Gusti”), dimana Pangeran diartikan sebagai “pelindung” atau “sang pemberi sandaran”. Makna Pangeran sebagai pelindung berasal dari bahasa Jawa kuno yang berkaitan dengan kata ngger atau ngenger yang berarti “melindungi” atau “menumpang”.

Kedua, kata Dia (Tuhan) diterjemahkan sebagai “Anjeun”. Panjenengan adalah kata ganti orang kedua dalam bahasa Sunda yang berarti “Anda”, dan merupakan bentuk yang relatif sopan dan dihormati. Padanannya adalah “salira”. Sedangkan bentuk yang lebih halus lagi adalah “pangersa”. Kata ini digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati, dan lebih formal dibandingkan “maneh”.[9]

KARAKTERISTIK AL-QUR’AN TERJEMAHAN DAN TAFSIR BAHASA SUNDA OLEH JEMAAT MUSLIM AHMADIYAH INDONESIA

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) VI, menyebutkan, bahwa ka.rak.te.ris.tik /karaktêristik/ adalah n tanda, ciri, atau fitur yang dapat digunakan sebagai identifikasi; kekhasan atau kualitas yang membedakan.[10]

Oleh sebab itu Karakteristik yang dimaksudkan disini adalah berupa tanda, ciri, atau fitur yang terdapat di dalam “Al-Qur’an kalawan Tarjamah & Tapsir Singget dina Basa Sunda” yang dapat membedakannya dengan karya sejenis lainnya. Pemilihan diksi kata dalam bahasa Sunda merupakan salah satu cirinya. Begitu juga Indeks lengkap dengan ayat-ayat silang (cross-references) dan halaman rujukannya merupakan fitur khusus yang mungkin hanya dimiliki oleh karya ini.

Panitia Tarjamah Al-Qur’an Basa Sunda Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia terlihat menggunakan kosakata (diksi) yang berbeda dengan penerjemah lainnya, baik lembaga atau perorangan. Tentu saja, ini pun ada alasannya. Misalnya, ketika penerjemah ghair Ahmadi menggunakan kata “Istri” atau “Wanoja” justru Panitia Tarjamah Al-Qur’an Basa Sunda menggunakan kata “Awewe”.[11]
Begitu juga, saat menerjemahkan Surah Al-Ahzab, xxxiii: 41, Panitia Tarjamah Al-Qur’an Basa Sunda menulis demikian:

“Muhammad teh lain Bapa salah saurang lalaki ti antara maraneh, tapi inyana teh Rasul Allah, sarta Cap sakabeh Nabi, jeung ari Allah teh Maha Uninga kana sagala perkara.”[12]
Masih banyak tanda, ciri, atau fitur khas yang dimiliki oleh “Al-Qur’an kalawan Tarjamah & Tapsir Singget dina Basa Sunda” tersebut. Membandingkan dengan karya sejenisnya, terlihat banyak karakteristik yang dimilikinya. Kualitas pembeda (distingsi) terlihat dengan nyata dan dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi yang membacanya. Minimal, pembaca dipermudah dengan adanya Indeks yang mencakup ayat-ayat silang, rujukan dan keterangan lainnya. []

—o0o—

CATATAN:
*) Selesai ditulis pada Minggu, 23 November 2025 pkl. 20:30 WIB di Rumah Dinas Maktabah Griya Carani “DAAR EL-JUMAAN” Kemang, Bogor, Jawa Barat.
**) Penulis merupakan Waqif Zindegi (Mubalig) Jemaat Ahmadiyah Indonesia (sejak 2003 hingga sekarang) yang diberi amanat sebagai Dosen Ilmu Perbandingan Agama (2005-2018; 2023-sekarang) & Bahasa Farsi (2023-sekarang) dan Naib Principal Bidang Akademik (2014-2018; 2023-sekarang) di Jamiah Ahmadiyah Internasional Indonesia Bogor, Jawa Barat. Penulis juga adalah Pendiri/Direktur dan Pengulik pada Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku. Penulis juga merupakan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI).

Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)

CATATAN KAKI:

[1] Belum ditemukan naskah kuno atau manuskrip Al-Qur’an dengan terjemahan atau tafsir beraksara Sunda atau Jawa berbahasa Sunda terkait hal ini. Tapi, penelitian terkait naskah kuno di Subang mengindikasikan adanya naskah kuno Al-Qur’an yang ditulis dalam aksara Jawa berbahasa Sunda.

[2] Edi S. Ekadjati dan Undang A. Darsa, “Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara 5-A: Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga”, hlm. 235-236. Selain naskah tersebut, sekitar abad 18-19 ditemukan pula naskah Al-Qur’an yang ditulis tangan lengkap 30 Juz atau 114 surat. Naskah ini berasal dari Cirebon dan sekarang disimpan di Meseum Negeri Sri Baduga Bandung. Ajip Rosidi (ed.), Ensiklopedi Sunda, hlm. 434.

[3] Dapat dimaklumi, bahwa pada masa lalu hanya sedikit yang membahas hal ini. Sebab, kecenderungan umumnya adalah masalah fikih dan ilmu alat (bahasa-bahasa).

[4] Hofd, adalah istilah Belanda untuk menyebut jabatan Ketua atau Kepala atau Pimpinan. Biasanya digabung dengan kata-kata lainnya. Misalnya, Hofdbestuur atau Hofd van Platselijk Bestuur.

[5] Terjemah Al-Qur’an dalam Bahasa Sunda yang diberi nama “Al-Amin” oleh K.H. Qomaruddin Shaleh bertahan cukup lama dan digandrungi oleh masyarakat Jawa Barat. Mungkin, karena menggunakan terjemah Bahasa Sunda yang umum. Penulis sendiri memilikinya sejak tahun 1994 alias sejak cetakan kelima.

[6] Karya terjemahan ke dalam bahasa Sunda ini digarap empat tahun sebelum Tasyakur 100 Tahun Jemaat Ahmadiyah Sedunia (23 Maret 1989). Jemaat Muslim Ahmadiyah Internasional via Islam International Publication Ltd. juga menerbitkan edisi “The Selected Verses of The Holy Qur’an in Sundanese”.

[7] Pada tahun-tahun sebelumnya, nama yang dipakai adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Namun, sejak sepuluh tahun terakhir ini, nama Neratja Press dipergunakan. Nama ini untuk mengenang Penerbit dan Percetakan yang pernah didirikan oleh Mln. Rahmat Ali, H.A., O.T., yaitu Neratja Trading Co. pada tahun 1950-an.

[8] Quaritch Wales atau lengkapnya Horace Geoffrey Quaritch Wales (17 Oktober 1900-1981) merupakan Sejarawan dan Arkeolog Inggris yang fokus mengkaji budaya Asia Tenggara. Wales pernah aktif melakukan penelitian di Thailand dan India.

[9] Kata “Estri” dan “Wanoja” merupakan kata halus untuk menyebut wanita dalam bahasa Sunda. Kedua kata tersebut termasuk dalam Basa Sunda Lemes. Sedangkan kata “Awewe” adalah sebutan yang relatif kasar dan termasuk dalam Basa Sunda Loma. Beberapa Terjemahan Al-Qur’an Bahasa Sunda menggunakan kata “Istri”, beberapa lainnya menggunakan kata “Wanoja”. Hanya Panitia Tarjamah Al-Qur’an Basa Sunda Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia menggunakan kata “Awewe”.

[10] @2016-2025 Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, (Jakarta: BPBP, Edisi VI, 2023).

[11] Pada tahun 2002, LPTQ Jawa Barat menerbitkan “Al-Qur’an Miwah Tarjamahna Dina Basa Sunda”. Inilah terjemah resmi kedua yang diterbitkan Pemprov Jawa Barat sesudah “Tarjamah Al-Qur’an Bahasa Sunda” hasil proyek PELITA 1974-1979. Mereka mengganti kata “Istri” dengan “Wanoja” karena kata terakhir dianggap lebih halus dalam bahasa Sunda.

[12] Dalam terjemahan ke dalam bahasa Sunda sebelumnya ditulis, “… Cap-na sakabeh Nabi, …” Lih. Panitia Tarjamah Al-Qur’an Sunda, “Kitab Suci Al-Qur’an Tarjamah Sunda, Jilid III”, (Jakarta: Jamaah Ahmadiyah Indonesia, 1998, hlm. 882).

—o0o—

No Responses

Tinggalkan Balasan