“Sejak abad ke-15 Masehi, ditemukan catatan langka, bahwa Al-Qur’an sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Awal abad ke-17 Masehi, terjemahan itu sudah definitif. Apalagi pada abad ke-18 dan ke-19 Masehi, jejaknya dapat ditelusuri dengan mudah. Terjemahan itu dalam aksara Arab (Pegon), Jawa (Carakan) dan Olandia (Latin).Terjemahan ke dalam bahasa Jawa dengan aksara Latin oleh Ahmadiyah merupakan pelengkap dan memperkaya khazanah yang sudah ada sebelumnya.”
MENGENAL ANEKA TERJEMAHAN AL-QUR’AN BAHASA JAWA DARI MASA KE MASA (ABAD XVI-XX MASEHI)
Berdasarkan beberapa Katalog Naskah yang Penulis miliki –yang ditulis oleh filolog Indonesia maupun Belanda dan filolog asing lainnya– terdapat cukup banyak terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Terjemahan itu ada yang dalam aksara Arab (Pegon), Jawa (Carakan) dan Olandia (Latin). Lokasi penyimpanannya pun tersebar di beberapa kota [1], mulai dari Jakarta, Sumedang (Jawa Barat), Garut (Jawa Barat), Yogyakarta, Ponorogo dan Madura (Jawa Timur) dan Amsterdam (Belanda).
Sejak dua abad lalu, penerbitan Belanda selalu menerbitkan semacam Katalog Buku yang diberi judul “Daftar Besar dari Toko Boekoe dan Kantor Tjitak Albrecht & Co. Batavia 1898-1899”. Dalam daftar tersebut dicantumkan berbagai judul buku yang telah diterbitkan lengkap dengan bahasa, harga dan petunjuk cara memperolehnya. Bahasa buku-buku tersebut adalah Arab, Melayu, Jawa dan Olandia [2]. Kata “Olandia” juga dipergunakan untuk menyebut aksara Latin.
Untuk buku-buku yang diterbitkan dalam bahasa dan aksara Jawa (Carakan, Hanacaraka) di antaranya dimuat pada halaman 68-70. Sebanyak 84 buku berbahasa dan beraksara Jawa berhasil diterbitkan pada 1898-1899 itu, mulai dari nomor 239 hingga 299x. Kebetulan, Penulis memiliki beberapa buku dalam bahasa dan aksara Jawa itu, di antaranya Soerja Widjaja, Babad Tanah Jawi, Tjarios Lalampahanipun Raden Mas Arja Poerwa Lelana 1 dan buku-buku lainnya.[3]
Meskipun terkadang dalam beberapa Katalog Naskah tidak dicantumkan keberadaan Al-Qur’an Terjemahan Bahasa dan Aksara Jawa, tetapi keberadaannya sangat terkenal di masyarakat. Misalnya, Al-Qur’an dengan Terjemahan Bahasa Jawa yang ada di Museum Geusan Ulun Sumedang telah lama diketahui. Begitu juga yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta dan Museum Cagar Budaya Candi Cangkuang Garut.[4]
Dalam katalog yang Penulis miliki, yang disusun oleh Petrus Voorhoeve berjudul “Handlist of Arabic Manuscripts” halaman 275, disebutkan bahwa di Perpustakaan Rottedram Belanda tersimpan Mushaf Al-Qur’an yang dianggap tertua di Nusantara. Mushaf ini diduga berasal dari Sultan Johor yang memberikannya kepada sekutunya, Laksamana Matelieff de Jonge pada 20 Juli 1606.[5] Berdasarkan keterangan Petter G. Riddel, penyalinan Mushaf Al-Qur’an ini diperkirakan terjadi pada 1550-1557 alias abad ke-16 Masehi.
Dalam buku “Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5-A, Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga” halaman 234 dan 236 yang Penulis miliki dan disusun oleh Prof. Dr. Edi S. Ekadjati dan Dr. Drs. Undang A. Darsa, disebutkan dua buah Al-Qur’an dengan Terjemahan Bahasa Jawa menggunakan aksara Arab (Pegon) dari Museum Geusan Ulun Sumedang, Jawa Barat. Naskah itu memiliki kode MPGUS/-1634 dan MPGUS/-2632. Kedua naskah itu menggunakan kertas daluwang dan kertas Eropa. Artinya, dari segi usia sekitar abad ke-17 dan 18 Masehi.
Untuk Al-Qur’an dengan terjemahan bahasa dan aksara Jawa pada abad ke-19 Masehi, Penulis juga memiliki “Kitab Kuran Tetedhakanipun ing Tembung Arab Kajawekaken” yang diterbitkan dan dicetak oleh Lange & Co., Batavia pada 1858 dan kitab “Faidh al-Rahman” [6] karya Syekh Muhammad Shalih ibn ‘Umar al-Samaraniy alias Kyai Soleh Darat Semarang (1820-1903) yang dicetak di Singapura pada 1893/1894. Kyai Soleh Darat adalah guru dari R.A. Kartini dan puluhan kyai terkenal Nusantara lainnya.
Sebenarnya, masih banyak Al-Qur’an dengan Terjemahan Bahasa Jawa lainnya, namun dengan menampilkan beberapa contoh tersebut di atas itu dirasa sudah cukup mewakili. Apalagi, pada awal abad ke-20 Masehi juga bermunculan beberapa Terjemahan Al-Qur’an dalam Bahasa Jawa, misalnya Tafsir “Al-Ibriz li-Ma’rifat Tafsiyr al-Qur’an al-‘Aziyz” karya Kyai Haji Bisri Mustofa Rembang, Jawa Tengah (1957-1960 M). Begitu juga Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) menerbitkan “Qur’an Sutji Djarwa Djawi” pada 1958 disertai Pendahuluan mengenai Ulumul Qur’an.
TERJEMAHAN BAHASA JAWA KARYA JEMAAT MUSLIM AHMADIYAH INDONESIA (ABAD XX-XXI MASEHI)
Sejak beberapa puluh tahun yang lalu, Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia juga telah mengupayakan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Ketika Tasyakur 100 Tahun Jemaat Ahmadiyah (1889-1989), Jemaat Ahmadiyah Internasional menerbitkan “The Selected Verses of The Holy Qur’an” dalam Bahasa Jawa (Javanese).[7]
Begitu juga, Al-Qur’an dengan Terjemahan Bahasa Jawa telah diterjemahkan meskipun belum rampung 30 juz. Saat itu baru diterbitkan beberapa jilid saja. Barulah pada tahun 2024, Terjemahan Al-Qur’an dalam Bahasa Jawa yang diberi nama “Al-Qur’an Majid: Mawijarwan Jawi” itu bisa dirampungkan. Terjemahan Al-Qur’an itu menggunakan huruf Olandia alias Latin. Sayangnya, saat Terjemahan Al-Qur’an Bahasa Jawa itu diluncurkan untuk umum, beberapa penerjemahnya sudah wafat terlebih dahulu.
Mereka adalah almarhum Bpk. Drs. H. Aly Abubakar Basalamah, M.A. (21 Juni 1997), almarhum Bpk. Soekarsono Malangjoedho (25 Oktober 2001), almarhum Bpk. Hardoyo (31 Juli 2002), almarhum Bpk. Mohamad Dalail (8 Januari 2004), almarhum Bpk. Soedjadi Malangjoedho (16 November 2004). Begitu juga Tim berikutnya, semuanya sudah wafat, yaitu almarhum Bpk. H. Jasin Alhadi, almarhum Bpk. Suhadi, B.A. [8]
LOCAL GENIUS DALAM TERJEMAHAN AL-QUR’AN BAHASA JAWA KARYA JEMAAT MUSLIM AHMADIYAH INDONESIA
Local Genius adalah kecerdasan atau kemampuan masyarakat lokal untuk menyerap, mengolah dan mengadaptasi pengaruh dari kebudayaan asing agar sesuai dengan kepribadian dan jati diri bangsa sendiri, bukan sekadar menerima begitu saja.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Quaritch Wales [9] dan dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengubah atau menyesuaikan budaya asing menjadi wujud baru yang lebih harmonis dengan budaya lokal, seringkali menghasilkan akulturasi yang unik.
Meskipun Tim Penerjemah (Pangjarwa) telah menyebutkan, bahwa terjemahannya “setya manut kalimah ‘Arob lan runut kados ayatipun” dan “memilih tetembungan ingkang gampil dipun pahami lan sampun kaprah kagem ing babrayan umum”, namun dalam penerapannya “boten gampil cak-cakanipun”.[10]
Dalam Terjemahan Al-Qur’an Bahasa Jawa tersebut, beberapa contoh local genius perlu disebutkan:
Pertama, sebutan untuk nama Tuhan secara khusus (Alloh) dan umum (Rabb) menggunakan kata “Pangeran”. Dalam tradisi Jawa, kata “Pangeran” memiliki makna ganda, yaitu sebagai gelar kebangsawanan untuk keturunan raja atau orang berjasa, serta gelar untuk Tuhan (bila digabung dengan kata “Gusti”), dimana Pangeran diartikan sebagai “pelindung” atau “sang pemberi sandaran”. Makna Pangeran sebagai pelindung berasal dari bahasa Jawa kuno yang berkaitan dengan kata ngger atau ngenger yang berarti “melindungi” atau “menumpang”.[11]
Kedua, kata Dia (Tuhan) diterjemahkan sebagai “Panjenengane”. Panjenengan adalah kata ganti orang kedua dalam bahasa Jawa yang berarti “Anda”, dan merupakan bentuk yang sangat sopan dan dihormati. Kata ini digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati, dan lebih formal dibandingkan “sampeyan” atau “kowe”.[12]
MENELUSURI KARAKTERISTIK TERJEMAHAN: MENGULIK RAHASIA MAKRIFAT ILMU DAN KEPUASAN JIWA
Kitab “Al-Qur’an Majid: Mawijarwan Jawi” memiliki karakteristik terjemahan yang khas. Sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam Pengantar yang disampaikan oleh Bpk. Drs. Abdul Rozzaq, beberapa distingsi tersebut adalah, bahwa terjemahannya “setya manut kalimah ‘Arob lan runut kados ayatipun” dan “memilih tetembungan ingkang gampil dipun pahami lan sampun kaprah kagem ing babrayan umum”, namun dalam penerapannya “boten gampil cak-cakanipun”.[13]
Berdasarkan karakteristik ini, maka dapat diketahui, bahwa terjemahan Kitab “Al-Qur’an Majid: Mawijarwan Jawi” tersebut bersifat terjemahan harfiyyah (dalalah ashliyyah) yaitu menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa sasaran sesuai dengan kosakata ataupun susunan kalimat sesuai dengan bahasa aslinya. Pada terjemahan harfiyyah yang dipentingkan adalah ketepatan dari segi bahasa.[14]
Menurut Saifuddin dalam “Tradisi Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa: Suatu Pendekatan Filologis” dikatakan, bahwa “dilihat dari proses penerjemahan, secara keseluruhan terjemahan yang dilakukan didasarkan pada setiap kata yang disesuaikan dengan teks aslinya ke dalam bahasa Jawa. Lebih dari itu, tidak hanya terjemahan setiap kata yang ditulis di bawahnya (sampingnya), tetapi juga terjemahan gramatika, yakni terjemahan terhadap setiap struktur sintaksis yang ada dalam kalimat bahasa Arab”.[15]
Oleh sebab itu tidak mengherankan, apabila dalam menerjemahan ke dalam bahasa Jawa, Tim Penerjemah juga mempergunakan seperangkat kosakata khusus yang lazim digunakan untuk menerjemahkan struktur tersebut.[16]
Mubtada = lan
Khabar = iku
Maf’ul li-ajlih = karena
Maf’ul muthlaq = kelawan
Fa’il = sapa, apa
Zharaf = ing dalem
Haal = hale
Tamyiz = apane
Contoh terkait dengan ini terdapat dalam terjemahan Surah Bani Israail (Al-Isra), XVII ayat 30, yang diterjemahkan sebagai:
“Lan aja sira anyelehake tanganira kablenggu ing gulunira, lan aja sira ambukak tanganira kaliwat amba, kang wusanane sira bakal tiba cinacad kang nalangsa.”
Sebagai Simpulan, dapat dikatakan, bahwa terjemahan ke dalam bahasa Jawa yang dilakukan oleh Tim Penerjemah (Pangjarwa) “Al-Qur’an Majid: Mawijarwan Jawi” tersebut menggunakan unggah-ungguh Krama Inggil, yaitu gaya resmi yang digunakan oleh pembicara/orang yang lebih rendah kedudukannya daripada lawan bicara atau lebih muda usianya dari lawan bicara. Ini logis, sebab Tim Penerjemah memposisikan Al-Qur’an sebagai lawan bicara yang kedudukannya sangat tinggi.[17] (-0-)
Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)
CATATAN:
*) Selesai ditulis pada Selasa, 18 November 2025 pkl. 20:30 WIB di Rumah Dinas Maktabah Griya Carani “DAAR EL-JUMAAN” Kemang, Bogor, Jawa Barat.
**) Penulis merupakan Waqif Zindegi (Mubalig) Jemaat Ahmadiyah Indonesia (sejak 2003 hingga sekarang) yang diberi amanat sebagai Dosen Ilmu Perbandingan Agama & Bahasa Farsi dan Naib Principal Bidang Akademik Jamiah Ahmadiyah Internasional Indonesia Bogor, Jawa Barat. Penulis juga adalah Pendiri/Direktur dan Pengulik pada Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku. Penulis juga merupakan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI).
CATATAN KAKI:
[1] Pada umumnya, naskah-naskah atau manuskrip itu biasanya insitu alias masih tetap berada di tempatnya hingga berabad-abad. Namun, adakalanya, karena sesuatu hal, naskah itu juga biasa pindah tempat. Misalnya, karena dihadiahkan kepada pihak lainnya atau dibawa oleh kolektor benda antik.
[2] Olandia atau Wolandia atau Wolanda adalah sebutan untuk Belanda (Nederland). Bahasa Olandia atau Wolanda ditujukan kepada bahasa Belanda atau sekedar karena menggunakan huruf Latin.
[3] Penulis memiliki buku-buku kuno baik berbentuk fisik maupun digital dalam format PDF, yang berasal dari pencarian (in search) khusus. Melalui buku-buku kuno itu dapat diketahui kondisi pada masa lalu, sehingga dapat dilakukan rekonstruksi sejarah.
[4] Katalog Naskah Kuno tertentu terutama yang ditulis oleh filolog asing terkadang tidak mencantumkan manuskrip Al-Qur’an. Namun, Katalog yang disusun oleh kalangan Muslim, biasanya mencantumkan dengan detil.
[5] Laksamana Cornelis Matelieff de Jonge (1569 – 17 Oktober 1632) adalah seorang laksamana VOC yang aktif pada awal abad ke-17. Perannya dalam membangun imperium Belanda di Asia Tenggara dengan menghancurkan Portugis dan Spanyol. Matelieff bekerjasama dengan Kesultanan Johor, Aceh dan Ternate. Di Ambon, Matelieff membangun Benteng Oranje dan mendapatkan hak monopoli rempah-rempah di Kepulauan Raja-raja tersebut.
[6] Kitab “Faidh al-Rahman” Bagian 1 yang Penulis miliki mencakup 577 halaman, membahas Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Baqarah. Kitab ini mulai ditulis pada 20 Rajab 1309 H dan rampung pada 7 Muharam 1311 H (1893/1894). Selain terjemahan dalam bahasa Jawa menggunakan huruf Arab Pegon, juga membahas mengenai tafsirnya. Kitab ini dicetak di Singapura oleh Percetakan Haji Muhammad Amin.
[7] Kitab “The Selected Verses of The Holy Qur’an in Javanese diterbitkan oleh Islam International Publication Ltd., dan dicetak oleh Raqeem Press, Surrey, London, Inggris pada 1989. Selain terjemahan bahasa Jawa, ada juga terjemahan dalam bahasa Bali, Bugis, Sunda.
[8] Penulis sendiri selalu mengikuti proses penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa oleh Tim Penerjemah (Pangjarwa) tersebut. Saat ditugaskan di Salatiga, Jawa Tengah (2003-2005), Penulis selalu mengamati Bpk. Jasin Alhadi selalu ikut rapat Tim Penerjemah bersama Bpk. Mohammad Dalail dan Bpk. Hardoyo di Yogyakarta atau Purwokerto.
[9] Quaritch Wales atau lengkapnya Horace Geoffrey Quaritch Wales (17 Oktober 1900-1981) merupakan Sejarawan dan Arkeolog Inggris yang fokus mengkaji budaya Asia Tenggara. Wales pernah aktif melakukan penelitian di Thailand dan India.
[10] Lih. Pengantar dari Ketua Tim Penerjemah (Pangjarwa) Drs. Abdul Rozzaq dalam Kitab “Al-Qur’an Majid: Mawijarwan Jawi” hlm. iii.
[11] Lih. “Kamus Jawa Kuna – Indonesia” oleh L. Mardiwarsito, (Ende Flores: Penerbit Nusa Indah, 1981), hlm. 58.
[12] Lih. “Kamus Bahasa Jawa – Indonesia” oleh Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta @2025.
[13] Loc.Cit. hlm. iii.
[14] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, “Al-Tibyan fiy ‘Uluwm al-Qur’an”, Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985, hlm. 210.
[15] Saifuddin, “Tradisi Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa: Suatu Pendekatan Filologis”, Jakarta: Bayt al-Qur’an, t.t., hlm. 19.
[16] Di samping kosakata khusus yang digunakan untuk menerjemahkan struktur gramatika Arab tertentu, terjemahan Jawa juga memiliki kosakata yang digunakan secara umum untuk menerjemahkan beberapa huruf. Misalnya: min (من) = saking, ‘an (عن) = saking, ‘ala (على) = ing atase, fiy (فى) = ing dalem, li (لى) = keduwe, bi (ب) = kelawan, dan lain-lain. Tetapi Tim Penerjemah (Pangjarwan) kadang menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa sesuai konteks kalimatnya, bukan seperti penerjemah lainnya.
[17] Sayangnya, masih ada human errors dalam proses pengetikan dan editing Kitab “Al-Qur’an Majid: Mawijarwan Jawi” tersebut. Di antaranya, kesalahan pengetikan (typo) yang cukup banyak dan pelabelan (labeling) nama Surah. Contohnya, label aksara Arab untuk Surah Al-Baqarah, ternyata (masih) menggunakan label untuk Surah Al-Fatihah!
Related Posts

Jemaat Muslim Ahmadiyah Adakan Jalsah Siratun Nabi Muhammad SAW

Pernyataan Sikap Amir Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia terhadap Perang Israel-Iran

Memaknai Kebangkitan Nasional: Seminar UIN Syarif Hidayatullah Soroti Spiritualitas Damai

Mahasiswa Jamiah Ahmadiyah Indonesia Adakan Kunjungan Akademik Mengenal Kristologi

Ahmadiyah Turut Serta dalam Festival Toleransi 2024




No Responses