Demokrasi dalam Tinjauan Teoritis Tiap Forum Kajian

Demokrasi dalam Tinjauan Teoritis Tiap Forum Kajian

Masroor Library – Bogor (12/10/2025). Meski gurat letih tampak di wajah para mahasiswa, semangat mereka belum padam. Siang itu, Auditorium Jamiah kembali dipenuhi oleh peserta Forum Kajian Gabungan, yaitu agenda bulanan yang mempertemukan lima forum kajian di lingkungan Jamiah Ahmadiyah Internasional Indonesia untuk menelaah satu tema besar dari sudut pandang masing-masing disiplin. Kegiatan dimulai pukul 13.30 WIB, dipandu oleh dua MC: Amil To’at (Rabi‘ah) dan Taher Ahmad Kurniawan (Rabi‘ah).

Sesi pertama dibuka oleh Forum Kajian Ilmu Fikih (FKIF). Bilal Ahmad (Rabiah) tampil sebagai pemateri dengan tema yang sempat membuatnya tersenyum kecut, sebab ia mengira akan membahas demonstrasi, ternyata topiknya demokrasi. Kekeliruan kecil itu justru mencairkan suasana sebelum diskusi mengalir lebih serius.

Bilal memulai dengan ayat QS An-Nisa: 59 — “Ati‘ullāha wa ati‘ur-rasūla wa ulīlamri minkum” — sebagai dasar menimbang konsep kepemimpinan dan ketaatan dalam Islam. Dari sana, ia merumuskan tiga pokok bahasan, yaitu pandangan Fikih Ahmadiyah terhadap demokrasi, Perbandingan dengan pandangan Islam lain dan titik temu dan perbedaan penerapan.

Sesi kedua diisi oleh Forum Kajian Ilmu Perbandingan Agama (FKIPA). Tahir Ahmad dari Tsalitsah tampil sebagai pemateri dengan tema “Demokrasi dalam Kristen.” Ia membuka paparannya dengan kejujuran ringan bahwa semula ia berniat membahas demokrasi dari berbagai agama, namun karena penunjukkan datang mendadak, ia memusatkan bahasan pada satu tradisi saja.

“Kalau dibahas semua, mungkin ujungnya tidak jelas,” ujarnya santai. Tahir memulai dengan sebuah pertanyaan yang tajam dan menggugah, “Jika Nabi Isa AS masih hidup hingga kini, apakah beliau akan pro demokrasi? Apakah beliau akan maju ke parlemen, atau bahkan ikut demonstrasi?”

Pertanyaan itu menjadi pintu masuk menuju renungan lebih dalam tentang hakikat kekuasaan dan kebebasan dalam ajaran Kristen. Ia kemudian menyoroti sabda Yesus dalam Injil yang menafsirkan kekuasaan sebagai amanah moral, bukan dominasi.

“Barangsiapa yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,” (Matius 20:26) kutipnya, menekankan bahwa inti dari kepemimpinan Kristen adalah kerendahan hati dan pengabdian. Ia menutup pembahasan dengan mengutip sabda Yesus yang dikenal sebagai Golden Rule: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Matius 7:12). Melalui ayat itu, ia menegaskan kembali bahwa kekuasaan sejati bertumpu pada kesetaraan dan tanggung jawab moral, yaitu dua nilai yang harus dijaga agar tidak sekadar menjadi prinsip, tetapi hidup dalam praktik kepemimpinan.

Sesi ketiga datang dari Forum Kajian Ilmu Kalam (FKIK) yang diwakili oleh Agus Mubarak dari Khamisah. Dengan nada santai ia membuka pembahasan,

“Tuan-tuan pasti sudah tahu apa itu demokrasi, jadi saya akan membahas yang sederhananya saja.”

Agus menjelaskan bahwa kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti pemerintahan.

“Jadi demokrasi secara harfiah berarti pemerintahan oleh rakyat,” ujarnya sambil menegaskan bahwa sistem ini merupakan antitesis dari otoritarianisme — sebuah tatanan yang menempatkan rakyat sebagai pihak yang tunduk pada kekuasaan, bukan pemiliknya. Ia menutup pemaparannya dengan mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus profesional.

Kata itu berasal dari bahasa Latin professio, yang berarti pengakuan terhadap suatu keahlian sekaligus komitmen terhadap tanggung jawabnya. Dengan kata lain, keahlian tanpa kesadaran moral hanyalah setengah dari profesionalitas. Agus mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: “Kullukum ra‘in wa kullukum mas’ūlun ‘an ra‘iyyatih” — “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”

Dari sana ia menegaskan bahwa dalam Islam, kepemimpinan bukan sekadar posisi, tetapi amanah yang menuntut keahlian sekaligus tanggung jawab di hadapan manusia dan Tuhan.

Sesi Keempat Tak mau kalah, Forum Kajian Ilmu Hadis (FKIH) ikut menyusul membedah tema demokrasi. Imran Ahmad membuka pemaparannya dengan mengutip perkataan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, menurutnya, kenyataan sering tidak seideal itu.

“Yang terjadi justru pemerintahan dari mayoritas rakyat oleh mayoritas rakyat dan untuk mayoritas rakyat,” ujarnya. Akibatnya, kelompok minoritas kerap terpinggirkan dan suaranya tenggelam dalam hiruk-pikuk angka.

Imran menyinggung kisah Perang Khandaq, ketika Nabi menerima usulan dari Salman al-Farisi, seorang sahabat non-Arab, untuk menggali parit sebagai strategi pertahanan. Padahal, Rasulullah telah menerima wahyu bahwa umat Islam akan meraih kemenangan. Namun, beliau tetap membuka ruang bagi pendapat lain dan menghargai inisiatif sahabat-sahabatnya.

Di akhir pemaparannya, Imran menyoroti bagaimana seharusnya masyarakat bersikap ketika seorang pemimpin melampaui batas keadilan. Menurutnya, respon terbaik bukanlah dengan kemarahan atau perusakan, melainkan dengan dialog yang jujur dan santun. Ia mengutip sabda Nabi Muhammad saw.: “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Pesan itu, ujarnya, menjadi penegasan bahwa kritik dalam Islam bukan tindakan merusak, melainkan bagian dari tanggung jawab moral untuk menjaga keadilan dan menegakkan kebenaran dengan cara yang bijak.

Sesi kelima sebagai penutup, Forum Kajian Ilmu Tafsir (FKIT) tampil dengan gaya berbeda. Hanif Muhammad Jamil, yang menjadi pemateri, memilih pendekatan tak biasa, bukan menambah materi, melainkan menantang para peserta. “Daripada saya menambah penjelasan dan membuat kita semua mengantuk, lebih baik kita lihat dulu apakah materi sebelumnya sudah benar-benar masuk,” ujarnya sambil tersenyum.

Suasana langsung cair. Dengan gaya santai namun cerdas, Hanif memancing audiens untuk mengingat kembali poin-poin dari empat forum sebelumnya. Ia bahkan menyiapkan snack jatahnya sendiri sebagai hadiah bagi siapa pun yang berani menyampaikan kembali isi materi yang telah dipaparkan pemateri lain.

Tantangan itu disambut spontan oleh Abdul Majid, yang sigap menjawab dan langsung membawa hadiahnya. Usai sesi interaktif itu, Hanif melanjutkan dengan menjelaskan dua pilar utama sistem pemerintahan dalam pandangan Al-Qur’an. Ia mengutip Surah An-Nisa ayat 58 — “An tu’addul amānāti ilā ahlihā” (serahkan amanat kepada yang berhak) — dan ayat 59 — “Wa athī‘ullāha wa athī‘ur-rasūla wa ulīl-amri minkum” (taatilah Allah, Rasul, dan para pemimpin di antara kamu).

Hanif kemudian mengajukan pertanyaan retoris kepada peserta: “Lalu, apa sebenarnya konsep pemerintahan yang diusulkan Al-Qur’an?” Al-Qur’an tidak menetapkan satu bentuk sistem yang baku. Bahkan model kesultanan atau kerajaan pun pernah diridai, seperti para raja pada masa Bani Israil. Karena itu, bentuk pemerintahan apa pun pada dasarnya sah, selama dua pilar itu dijaga: kesadaran bahwa kekuasaan diawasi oleh Tuhan, dan komitmen untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada orang yang ahli.

Bagian tanya jawab dibuka oleh Nurrahman, yang mengajukan pertanyaan pertama kepada Forum Kajian Ilmu Fikih (FKIH). “Tadi disebutkan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, dalam praktiknya keputusan selalu berpihak pada suara mayoritas. Bagaimana nasib suara minoritas? Apa panduan Islam bagi mereka yang pendapatnya tidak disepakati?”

Pertanyaan berikut datang dari Fajar Malik Ahmad, yang mengarah ke seluruh forum: “Sudah sedekat apa demokrasi yang dijalankan di Indonesia dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an sendiri?”

Ia kemudian menambahkan satu pertanyaan khusus untuk FKIH: “Tadi disebutkan bahwa aspirasi kepada pemerintah yang zalim harus disampaikan dengan cara baik-baik. Tapi bagaimana bila ruang aspirasi itu justru dibatasi, hingga mahasiswa harus turun ke jalan? Bagaimana Islam menanggapi hal seperti itu?”

Menanggapi pertanyaan pertama, perwakilan FKIH menjelaskan bahwa demokrasi politik bukanlah sistem yang sempurna. Ia memberi analogi: “Bayangkan jika mayoritas adalah orang bodoh, sementara minoritas terdiri dari para profesor. Bila keduanya memilih pemimpin, kemungkinan besar yang terpilih adalah yang bodoh. Maka demokrasi tidak menjamin kebenaran, hanya menjamin suara terbanyak.”

Karena itu, menurutnya, Al-Qur’an tidak mengenal demokrasi mutlak. Prinsip yang diajarkan ada dalam Surah An-Nisa ayat 58: “An tu’addul amānāti ilā ahlihā” — serahkan amanat kepada yang berhak. Artinya, dalam Islam, hak memilih dan memimpin seharusnya dimiliki oleh mereka yang ahli dan berkapasitas moral. Terkait nasib kelompok minoritas, FKIH menegaskan pentingnya sikap taat terhadap keputusan bersama selama tidak bertentangan dengan syariat.

Ia mengutip Hadis Nabi Muhammad SAW dari Abdullah bin Umar:

“Seorang Muslim wajib mendengar dan taat kepada pemimpinnya, baik dalam hal yang ia sukai maupun tidak, kecuali bila diperintahkan untuk berbuat maksiat. Jika diperintahkan demikian, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Karenanya, selama keputusan mayoritas tidak melanggar prinsip-prinsip agama, maka kewajiban seorang Muslim adalah taat dan menjaga persatuan.

Namun bila keputusan itu bertentangan dengan syariat, maka Al-Qur’an memberikan jalan sebagaimana Surah An-Nisa ayat 59: “Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Dalam konteks modern, ujarnya, jika sistem pemerintahan atau kebijakan suatu negara tidak memungkinkan pelaksanaan nilai-nilai Islam, seseorang berhak mencari lingkungan yang lebih kondusif—bahkan bila itu berarti berhijrah.

Yang terpenting, ketaatan tetap dijaga, selama ia tidak menggadaikan kebenaran. Untuk pertanyaan kedua, karena tak ada forum yang langsung menanggapi, MC, Amil To’at, mengambil alih menjawab. Ia mengatakan bahwa pertanyaan itu sebenarnya bisa dijawab dengan melihat tolak ukurnya sendiri.

“Apakah keadilan umum sudah benar-benar terbentuk di Indonesia? Apakah kebijakan dan produk hukum kita lebih mengutamakan rakyat, atau justru berpihak pada sistem oligarki?” ujarnya. Menurutnya, dari situ setiap peserta bisa menilai sejauh mana praktik demokrasi nasional telah mendekati nilai-nilai Al-Qur’an.

Menanggapi pertanyaan ketiga, perwakilan FKIH menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia, akses langsung kepada pemimpin tertinggi memang terbatas. Karena itu, prinsip ‘diserahkan kepada ahlinya’ kembali menjadi pedoman. “Jika, misalnya, pemerintah melarang pendakian gunung tertentu, maka yang sebaiknya menyampaikan aspirasi bukan semua orang, melainkan pihak yang berkompeten — misalnya komunitas pendaki gunung,” ujarnya. Aspirasi harus disampaikan dengan cara yang santun dan melalui jalur yang tepat.

Namun bila perwakilan telah menyampaikan dengan baik dan pemerintah tetap menutup telinga, maka Rasulullah SAW menasihatkan untuk bersabar dan tidak memberontak, sebab Islam menjunjung tinggi nilai kedamaian dan menolak kekerasan sebagai bentuk perlawanan.

Nasihat dari Pembina sebagai penutup, Mln. Arif Rahman Hakim, Shd., selaku Pembina Forum Kajian Hadits, menyampaikan beberapa catatan penting. Ia mengusulkan agar Forum Kajian Gabungan ke depan tidak sekadar menjadi ajang paparan teori, melainkan forum yang meneliti tema secara mendalam sesuai bidang kajiannya masing-masing.

Dengan begitu, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dapat dijawab dengan lebih terarah—bahkan, kata beliau, “sering kali justru akan terjawab dengan sendirinya.” Beliau menambahkan bahwa format forum selanjutnya sebaiknya lebih bersifat “test case”, bukan sekadar tumpukan teori. Ia menilai diskusi yang berlangsung kali ini masih cenderung berputar di sekitar penjelasan konseptual tanpa menguji penerapan nyatanya.

Menyinggung tema demokrasi, Mln. Arif mengingatkan bahwa isu ini sebenarnya telah sering dibahas oleh Jemaat Ahmadiyah dalam berbagai kesempatan resmi. Intinya, sistem demokrasi—meskipun berasal dari rakyat dan untuk rakyat—harus selalu diikat oleh amanah dan nilai-nilai akhlak. Tanpa dua hal itu, demokrasi hanya akan menjadi alat yang merusak dirinya sendiri.

Beliau juga menukil sebuah hadis yang menggambarkan sikap seorang Muslim ketika berhadapan dengan pemerintahan yang zalim bahwa jika seseorang tidak lagi dapat menegakkan keadilan di lingkungannya, maka lebih baik ia menjauh dan membangun kehidupannya sendiri di hutan.

Menutup nasihatnya, beliau memberi perumpamaan sederhana: seperti dalam rumah tangga, di mana anak-anak bebas bergerak dan berpendapat, namun tetap ada ruang dan batas yang tidak boleh dilanggar. “Begitu pula dalam demokrasi,” ujarnya, “kebebasan harus tetap dalam batasan yang wajar.”

Pertemuan kemudian ditutup pada pukul 15.25 WIB dengan doa bersama yang dipimpin oleh Mln. Arif Rahman Hakim, Shd. Suasana auditorium seketika hening; para peserta menundukkan kepala, menutup siang itu dengan rasa syukur dan renungan bahwa ilmu, adab, dan tanggung jawab adalah fondasi sejati dari setiap bentuk kepemimpinan. []
—o0o—

No Responses

Tinggalkan Balasan