Bekali Pengalaman Empiris | Kunjungan Akademik Diawali dari Batu Tulis

Bekali Pengalaman Empiris | Kunjungan Akademik Diawali dari Batu Tulis

Kunjungan Akademik Darjah Rabi’ah ini bertujuan untuk membekali mahasiswa dengan pengalaman empiris. Apabila materi teoritis disampaikan di perkuliahan, maka praktikum lapangan diperlukan untuk mengenali gejala agama-agama yang lebih khas lagi terutama untuk membiasakan mahasiswa berinteraksi dengan tokoh agama lain dan mengenal simbologinya.”

Masroor Library – Bogor [15/8/25]. Dua kendaraan roda empat berplat F warna biru itu bergerak meninggalkan Masjid “Al-Fadhl” di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bogor menuju Batutulis via Pancasan. Nama Pancasan berasal dari nama salah seorang penasihat dan panglima perang Prabu Siliwangi, yaitu Rakai Pancasena. Sepanjang jalur setelahnya –Empang, Jalan Pahlawan, Jalan Batutulis II– adalah kawasan bersejarah pada 500 tahun lalu.

Batutulis adalah nama kawasan yang di dalamnya terdapat prasasti tinggalan Kerajaan Pajajaran. Prasasti ini dibuat oleh Prabu Surawisesa Jayengrana –putra dan penerus Prabu Siliwangi– pada 1533. Di dalam prasasti itu terdapat sengkala berbunyi “pancya pandawa emban bumi” yang artinya lima pandawa menggendong bumi, nilainya 5541. Menurut hukumnya, pembacaan sengkala biasanya dibalik, menjadi 1455 Saka. Apabila dikonversi ke tahun Masehi, tinggal ditambah 78 tahun lagi menjadi 1533.

Tahun 1533 adalah tahun pembuatan Prasasti Batutulis yang terjadi 12 tahun setelah kewafatan (mokteng ring Rancamaya) Prabu Siliwangi. Itu disebut sebagai upacara Sraddha, yaitu upacara untuk mengenang kebesaran seseorang. Beberapa sosok lain yang di-sraddha-kan, di antaranya Ratu Majapahit Tribhuana Tunggadewi sebagai Dewi Parvati shakti (istri) Syiwa oleh Prabu Hayam Wuruk.

Kunjungan berikutnya, adalah ke komplek pura terbesar kedua di Pulau Jawa yang terdapat di Tamansari, Kabupaten Bogor. Pura beraliran Hindu Syiwasidhanta ini lengkapnya bernama Parahyangan Agung Jagatkarta, disingkat PAJK.

“Karena lokasinya di Jawa Barat, maka digunakan kata Parahyangan, yang artinya pura juga. Jadi, bila disebut Pura Agung Jagatkarta pun sebenarnya sudah cukup,” papar Pinandita Made Mangku Sutem saat sesi tanya jawab dengan mahasiswa.

Komplek pura dengan lingkungan berhawa sejuk –karena berada di bawah kaki Gunung Salak– ini memiliki luas sekitar empat hektar. Lokasinya ditata menjadi tiga bagian: Kanista, Madhya Mandala dan Utama Mandala. Kanista (dalam term Buddha di Candi Borobudur: Kamadatu), artinya daerah yang masih berhubungan dengan hawa nafsu dan keinginan inderawi. Madhya Mandala (Rupadatu) artinya lokasi yang berhubungan dengan hati. Uttama Mandala (Arupadatu) artinya tidak ada lagi kaitan dengan duniawi dan murni kerohanian.

“Kami berkeyakinan, bahwa apabila kejahatan (adharma) merajalela, maka Wisnu akan turun lagi ke dunia sebagai Awatara (Avatar). Ada 10 awatar yang akan turun ke dunia, yang terakhir adalah Kalki Awatara dengan ciri khas membawa pedang di tangan kanan. Termasuk Siddharta Gautama, sebenarnya adalah Awatara dalam agama Hindu. Awatara sendiri artinya seorang utusan Tuhan alias Nabi dalam istilah Islam,” ujar pemangku yang ditahbiskan pada 2017 lalu, yang latar belakang sebelumnya adalah seorang tentara berpangkat terakhir Mayor dan pernah menjadi staf di BNPT dan UNHAN tersebut.

Kunjungan terakhir adalah ke lokasi prasasti tinggalan Kerajaan Tarumanegara di Ciaruteun, Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Di Pasir Muhara alias Muara Jaya ini terdapat tiga buah prasasti, yaitu Prasasti Kebon Kopi alias Tapak Gajah, Prasasti Purnawarman dan Prasasti Pasirmuara. Namun, karena sudah menjelang petang, hanya dua saja prasasti yang bisa dikunjungi yaitu Prasasti Kebon Kopi dan Prasasti Purnawarman dari abad keempat Masehi.

Berbeda dengan Prasasti Batutulis yang menggunakan aksara Sunda Kawi (Kuna), prasasti di lokasi ini menggunakan huruf Pallawa dengan bahasa Sansekerta dan jenis Sangkhalipi (Vetakata/Vengi) dalam bentuk Metrum Anustubh. Metrum Anustubh artinya, syair empat baris yang tiap barisnya terdiri dari delapan suku kata. Selain simbologi tapak kaki gajah dan tapak kaki manusia, juga ada simbol laba-laba dan sulur. Sebenarnya itu adalah simbol kebesaran (samudrika laksana) dan semacam “tanda tangan” yang berbentuk kaligrafi dari kata “Sri Purnnavarmanah” yaitu nama Raja Tarumanegara yang di-sraddha-kan disana.

Raja Tarumanegara pengganti Purnawarman itu tidak lain adalah Sri Maharaja Wisnuwarman Iswaradigwijaya Tunggal Jagatpati alias Sang Puramdarasitah yang memerintah selama 21 tahun (434-455). Hingga tahun 669 Masehi, Kerajaan Tarumanegara masih berdiri. Silih berganti raja-raja Tarumanegara memerintah selama 306 tahun lamanya (363-669). Bisa dipastikan, suatu kerajaan yang berdiri kokoh cukup lama itu melambangkan bahwa kondisinya terbilang relatif sejahtera. []

Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
• Dosen Ilmu Perbandingan Agama & Bahasa Farsi
• Naib Principal Bidang Akademik

Catatan:

*) Tulisan ini berasal dari Catatan Perjalanan Kunjungan Akademik yang dilakukan pada Jumat, 15 Agustus 2025. Selesai ditulis pada Sabtu, 16 Agustus 2025 pkl. 03:35 WIB.

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Perbandingan Agama & Bahasa Farsi di Jamiah Ahmadiyah Internasional Indonesia, Bogor. Penulis juga adalah Pendiri, Direktur dan Pengulik pada Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (The Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku.

No Responses

Tinggalkan Balasan