“Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat i kawihaji panca pasagi marsan desa barpulihkan haji Sunda.”
Masroor Library – Bogor, Jawa Barat [17/4]. Debit air di pertemuan dua sungai – Sungai Cisadane dan Sungai Cianten – itu tampak mulai naik. Ini seiring dengan hujan yang turun sudah hampir satu jam lamanya mengguyur kawasan yang dulunya dikenal sebagai Rajamandala “Pasirmuhara”. Air itu membawa sampah dari hulu yang sebelumnya menumpuk di suatu lokasi. Batu-batu di sekeliling Prasasti Pasir Muara alias Prasasti Muara Cianten mulai terendam air itu. Sebelum air pasang secara mendadak, rombongan pun segera bergegas naik ke darat.
Rabu (17/4) siang hingga petang itu, rombongan mahasiswa Jamiah Ahmadiyah International Indonesia Bogor melakukan Kunjungan Akademik mata kuliah Ilmu Perbandingan Agama bertema Hinduisme. Kunjungan ini diikuti oleh para mahasiswa Darjah V (Khamisah) dan VI (Sadisah) atau Syahid. Dosen pengampu mata kuliah yang juga Naib Principal Bidang Akademik menjadi pendamping langsung program terakhir dalam semester genap ini.
Menggunakan satu buah kendaraan roda empat dan tiga buah kendaraan roda dua, rombongan itu menuju ke lokasi Prasasti Ciaruteun dengan rute yang berbeda. Rombongan mahasiswa yang menumpang angkutan perkotaan (angkot) Parung-Bogor menggunakan rute Salabenda, Semplak, Bantar Kambing, Rancabungur, Pasar Ciampea dan Ciariteun Ilir. Sedangkan Dosen Pengampu – yang sudah terbiasa lewat jalur pintas – menggunakan jalur Pabuaran, Candali, Rancabungur, Pasar Ciampea dan Ciaruteun Ilir.
Ki Ugan Sugandi, juru kunci alias pemelihara situs prasasti di Ciaruteun Ilir itu sudah menunggu di depan komplek Prasasti Tapak Gajah alias Kebon Kopi. Lelaki asli kelahiran Ciaruteun Ilir yang sejak lama terlibat dalam proyek eksvakasi kawasan situs Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi dan Prasasti Muara Cianten itu telah membuka gerbang utama dan gerbang samping komplek situs. Kendaraan roda dua dan roda empat kemudian diparkir di dalam komplek itu.
“Anggap saja ini sedang kuliah umum,” sambut lelaki yang murah senyum dan telah menjaga kawasan situs itu menggantikan ayahnya, Kita Anin alias Ki Atma selama puluhan tahun itu. “Kita akan mengenal Prasasti Kebon Kopi atau Tapak Gajah ini dulu, meskipun urutannya harusnya dari Prasasti Ciaruteun, baru Prasasti Tapak Gajah ini dan terakhir Prasasti Muara Cianten. Disini kita akan saling sharing saja, sebab mungkin sudah banyak yang mengetahui informasinya.”
Menurut Ki Gandi, semua prasasti yang ada disana baru saja mengalami konservasi. Biayanya menelan dana sekitar 20 juta rupiah. Hal ini terlihat dari semacam tambalan mirip semen yang terdapat pada prasasti tersebut. “Ini adalah abu vulkanik yang berasal dari gunung di Jawa Tengah. Bila sudah mengering, warnanya akan sama dengan warna batu prasasti. Ahli yang melakukan konservasi ini adalah para arkeolog dari Jawa Barat dan Jawa Tengah.”
Ki Gandi kemudian menjelaskan asal-usul dan sejarah penemuan dan bunyi Prasasti Tapak Gajah alias Kebon Kopi itu. “Disini disebutkan tunggangan Prabu Purnawarman adalah seekor gajah yang bernama Airawata – yang dua telapak kakinya terukir disini, yaitu nama gajah perang Dewa Indra dalam kisah agama Hindu.” ungkapnya sambil membacakan bunyi Prasasti itu dalam bahasa aslinya, Sanskerta.
Puas mengulik Prasasti Tapak Gajah, rombongan pun bergerak ke lokasi Prasasti Ciaruteun yang berjarak sekitar 200 meteran. Karena prasasti di kawasan ini menggunakan media batu andesit yang beratnya mencapai empat ton, delapan ton dan 13 ton, maka semua prasasti itu disebut sebagai “in site” atau tetap berada di tempatnya sejak pertama kali ditemukan pada pertengahan abad ke-19. Kecuali Prasasti Ciaruteun yang telah dipindahkan sekitar 50 meter dari lokasi aslinya karena khawatir tergerus arus sungai.
Seperti saat di lokasi prasasti pertama, Ki Gandi juga menjelaskan hal-ihwal terkait Prasasti Ciaruteun ini. Beberapa kali, kuncen itu juga memberikan penafsiran pribadi atas beberapa hal terkait sejarah dan keyakinan yang dianut Kerajaan Tarumanegara pada masa lalu. “Raja Purnawarman asli Nusantara, justru dialah yang menyebarkan bahasa Sanskerta ke India. Bahasa Sunda adalah cikal-bakal bahasa Sanskerta.”
Karena ada pengunjung dari kelompok lain, maka rombongan mahasiswa kemudian diminta melihat-lihat Jembatan Rawayan yang fenomenal itu. Jembatan gantung sepanjang 125 meter itu menghubungkan lokasi Prasasti Ciaruteun dengan kawasan Pemakaman Umum Rancabungur yang terletak di seberang berlawanan. Selamanhampir satu jam mahasiswa memanfaatkan moment itu. Mereka menjajal jembatan gantung itu.
Karena masih ada dua lokasi lagi yang akan dikunjungi, tepat pkl. 16:00 WIB, rombongan pun kemudian bergerak ke arah muara sungai, yaitu pertemuan dua sungai, antara Sungai Cianten dan Sungai Cisadane. Sayangnya, saat dalam perjalanan, hujan mulai turun. Alhasil, selama hampir satu jam, rombongan pun berteduh di rumah Ki Suparta yang dikenal juga sebagai sesepuh Kampung Pasir Muara. Rumah orang tuanya persis di bantaran Sungai Cisadane, dekat lokasi Prasasti Pasir Muara.
“Ayah saya dulu berusia 130 tahun. Saat meninggal, kondisinya masih seperti anak muda. Tidak ada perubahan fungsi faal tubuh. Bahkan, loncatannya masih mengalahkan loncatan anak-anak muda,” ujarnya dengan menggunakan bahasa Sunda. “Kalau Ki Gandi mahir berbahasa Indonesia, saya justru agak kaku menggunakan bahasa Indonesia. Saya lebih terbiasa berbahasa Sunda.”
Setelah hampir satu jam, hujan dan petir pun mereda. Rombongan kemudian bergegas ke arah muara. Dilihat dari posisi ini, kawasan Ciaruteun Ilir memang tampak seperti berundak dengan enam undakan alias terrassering. Ini menunjukkan bahwa kawasan ini memang dulunya telah ditata sedemikian rupa sesuai kaidah Rajamandala. Boleh jadi, dulunya disini tinggal para resi atau brahmin Hindu yang rutin melakukan upacara untuk kerajaan dan utamanya menjaga kawasan ini.
Prasasti Pasir Muara terlihat berbeda sendiri dengan batu-batu biasa lainnya. Ukurannya yang lebih besar dibanding batu lainnya seolah sesuai nama yang tercantum di dalamnya, Ki Pengambat. “Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat i kawihaji panca pasagi marsan desa barpulihkan haji Sunda.” (Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan negara dikembalikan kepada raja Sunda.)
Related Posts
Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar | Menelisik Jejak Pakuan Pajajaran dan Toponimi Lokasi di Sekitar Kampus Mubarak
Mengenal Sosok IPDA La Udin | 19 Tahun NIkmati Tugas di Pedalaman Lembah Moskona
Menelusuri Jejak Polisi Belanda di Papua | Kapita Selekta Perkembangan Jumlah Personel dan Kegiatan Kepolisian di Tanah Papua pada Masa Belanda (1920-1962)
No Responses