Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon

Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon

Masroor Library – “Nika tikanan sudarmma san tuha nareswara danu salwirika turun pinahuwus ninerapi rinaksa pinrih iniwo, sin katayan prasasti winekas prasastyana ri san widagda rin aji, sthitya phalanya tan pa temaha wiwada tumuse satusnira hlem.”

P E N D A H U L U A N

Sejak 2011, bahkan beberapa tahun sebelumnya, Penulis telah terlibat dalam apa yang dikenal sebagai Dewan Naskah (DN) Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Bahkan, secara khusus, Penulis pernah diberikan amanat untuk memeriksa terjemahan buku-buku Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Imam Mahdi dan Masih Mau’ud a.s. Buku Filsafat Ajaran Islam dan Almasih di India adalah contohnya. Penulis diminta untuk memeriksa terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan membandingkan dengan teks/naskah aslinya berbahasa Urdu.

Begitu juga, Penulis pernah mendapat amanat untuk menjadi anggota Tim Penterjemah Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Al-Qur’an dengan Terjemah dan Tafsir Singkat oleh Mln. Malik Ghulam Farid, M.A. adalah salah satu yang pernah diperiksa dan direvisi terjemah maupun tafsirnya. Saat itulah, kejadian Cikeusik pecah.

Penulis pun pernah diberi amanat untuk memeriksa terjemah catatan singkat oleh Hadhrat Khalifatul Masih IV rha. Kebijakan saat itu, catatan singkat tersebut akan dimasukkan ke dalam dan menjadi catatan kaki bertanda bintang (asterik) dalam Al-Qur’an dengan Terjemah dan Tafsir Singkat oleh Malik Ghulam Farid.

Sehingga dalam terbitan tahun 2013, catatan singkat dari Hadhrat Khalifatul Masih IV rha tersebut telah dimasukkan bersamaan dengan terjemah dan catatan singkat Malik Ghulam Farid. Oleh sebab itu tidak mengherankan, apabila nama Penulis pun disebutkan dalam terbitan tahun tersebut bersamaan dengan nama-nama lain yang terlibat dalam persiapannya.

Ketika Wakilul A’la Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyah melalui surat tertgl. 24 Desember 2023 menyetujui usulan Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia agar Penulis dan tiga orang lainnya diberi amanat sebagai petugas quality control. Maka, Penulis pun teringat dengan suatu panitia penyusunan/penerjemahan kitab-kitab pada masa Kesultanan Cirebon yang disebut sebagai Panitia “Pangeran Wangsakerta” (1677-1698).

Selama 21 tahun, Panitia ini telah bekerja dalam mempersiapkan berbagai hasil karya dengan referensi yang memadai serta pengaturan akomodasi yang mumpuni. Tercatat, ada sebanyak 1703 naskah yang dihasilkan oleh Panitia ini. Lalu, seperti apakah kinerja Panitia Pangeran Wangsakerta? Apa saja dukungan akomodasinya? Bagaimana sumber daya manusia yang ada di dalamnya? Bagaimana kelengkapan referensi untuk mendukung tugas penulisan, penyalinan dan penerjemahan tersebut?

GOTRASAWALA “PANGERAN WANGSAKERTA” DARI KESULTANAN CIREBON

Gotrasawala berasal dari bahasa Sunda, yaitu kata gotra dan sawala. Gotra mengandung arti keluarga, sedangkan sawala artinya rapat, rembug atau diskusi. Secara umum, kata gotrasawala memiliki arti rembug keluarga atau musyawarah secara kekeluargaan. Pada perkembangan berikutnya, kata ini mengalami perluasan makna, yaitu festival.

Panitia Pangeran Wangsakerta melaksanakan tugasnya selama 21 tahun, dari 1677 hingga 1698. Panitia ini telah melahirkan ribuan naskah yang berisi aneka kisah sejarah Nusantara. Menghasilkan dan menggunakan lebih dari 1.700 referensi, penyusunan naskah itu langsung diawasi oleh Pangeran Wangsakerta. Lalu, siapakah Pangeran Wangsakerta tersebut?

Menurut catatan VOC, Pangeran Wangsakerta merupakan de derde Prins van Cheribon alias Pangeran yang ketiga dari Kesultanan Cirebon. Nama aslinya adalah Abdul Kamil Muhammad Nasruddin alias Panembahan Ageng Gusti Cirebon atau Panembahan Tohpati. Nama Pangeran Wangsakerta tercatat dalam Catatan Harian VOC bertanggal 19 November 1677, yang memuat laporan Caeff, Wakil VOC di Banten yang memberitakan bahwa de derde Prins van Cheribon baru saja kembali ke Cirebon dari kunjungannya ke Istana Banten.

Lalu, dalam naskah perjanjian antara Cirebon dengan VOC tertgl. 7 Januari 1681 yang ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu, di bagian sebelah kanan tercantum nama dan tanda tangan sembilan orang yang membubuhkan namanya dengan menggunakan aksara Jawa cacarakan. Naskah itu menyatakan bahwa kekuasaan di Cirebon dipegang oleh tiga orang, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Pangeran Wangsakerta.

Pangeran Wangsakerta membentuk “Panitia Wangsakerta” dilanjutkan dengan penyelenggaraan musyawarah (gotrasawala) yang pesertanya terdiri dari para ahli yang berasal dari seluruh Nusantara dan menyusun atau menulis berdasarkan masukan yang diperoleh selama musyawarah dalam bentuk pustaka yang siap dibaca.

Panitia itu diketuai oleh Pangeran Wangsakerta didampingi oleh lima orang penasihat. Lima orang penasihat itu merupakan para ahli agama. Agama Islam diwakili oleh ahli agama Islam dari Arab (dharmadhyaksa ring karasulan), Siwa diwakili ahli agama dari India (dharmadhyaksa ring kasewan), Wisnu diwakili ahli agama dari Jawa Timur (dharmadhyaksa ring kawisnawan), agama Buddha diwakili ahli dari Jawa Tengah (dharmadhyaksa ring kasogatan) dan agama Konghucu diwakili oleh ahli agama dari Semarang (dharmadhyaksa ring khongpuce).

Di bawahnya lagi, ada panitia pelaksana yang disebut jaksa pepitu. Sesuai namanya, mereka terdiri dari tujuh orang: Ki Raksanagara yang bertugas sebagai penulis naskah dan pengatur musyawarah; Ki Anggadiraksa yang bertugas sebagai wakil penulis merangkap bendahara; Ki Purbanagara yang bertugas sebagai pengumpul dan penyaring bahan naskah; Ki Singanagara yang bertugas sebagai penanggung jawab keamanan, Ki Anggadipraja yang bertugas sebagai duta keliling, mengirim undangan dan juga sebagai juru bahasa; Ki Anggaraksa yang bertugas sebagai penanggung jawab hidangan; dan Ki Nayapati sebagai penanggung jawab pemondokan dan angkutan.

Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta yang berlangsung 21 tahun lamanya itu disambut hangat oleh kerajaan dari berbagai daerah. Pada umumnya mereka memenuhi undangan untuk mengikuti pertemuan itu. Karena banyaknya yang hadir dalam acara, maka Panitia kemudian membagi peserta ke dalam beberapa sangga (kelompok). Jumlahnya ada lima sangga.

Sangga 1, beranggotakan para ahli dari Surabaya, Pasuruan, Madura, Makassar, Panarukan, Balambangan, Galiao, Banggawi, Maluku, Bali, Seram, Lwah Gajah, Ambon, Gurun, Taliwang, Palembang, Bantayan dan Banten.

Sangga 2, beranggotakan para ahli dari Mataram, Semarang, Dermayu, Wirasaba, Kediri, Lasem, Mojoagung, Bagelen, Tuban, Losari, Brebes, Tegal, Jepara, Mantingan dan Bonang.

Sangga 3, beranggotakan para ahli dari Demak, Jayakarta, Lamongan, Kudus, Cirebon, Gresik, Pasai, Tanjungpura, Karawang, Cangkuang, Kuningan, Tembayat, Sedayu, Malaka, Tumasik, Barus dan Trengganu.

Sangga 4, beranggotakan para ahli dari Galunggung, Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang, Rancamaya, Imbanagara, Ukur, Galuh, Sindangkasih, Luragung, Kertabumi, Rajagaluh, Talaga, Sendangduwur dan Giri. Dan,

Sangga 5, beranggotakan para ahli dari Jambi, Minangkabau, Bangka, Perelak, Berunai, Lamuri, Kutalingga, Kamperhawa (Mandailing), Siak, Tanjungnegara, Tanjungkutai dan Tanjungpuri.

Selama 21 tahun, Panitia Pangeran Wangsakerta telah berhasil melahirkan 1700 lebih naskah, beberapa di antaranya terkait dengan sejarah. Di antaranya,

Tags: , , ,

No Responses

Tinggalkan Balasan