“Candi, makam serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala. Yang belum siap diselesaikan, dijaga, dan dibina dengan seksama. Yang belum punya prasasti, disuruh-buatkan piagam pada ahli sastera. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan, jikalau sudah temurun.”
(Nagarakretagama 73:2)
SETELAH 10 TAHUN ( DAS SAL KE BA’D )
Perjalanan lumayan jauh itu menyusuri jalanan yang dulu dibuka pada 1829. Jalan lintas dari Jembatan Merah Panaragan menuju Ciampea dan Leuwiliang itu dibangun bersamaan dengan jalan lain yang ada di Parung dan Rumpin. Begitu juga peresmiannya, bersamaan dengan peresmian pasar rakyat yang ada di Parung (Parung), Rumpin (Gobang) dan Ciampea (Benteng), yaitu pada 1829. Pohon trembesi (Samanea saman) alias baujan alias jubleg juga ditanam sebagai penanda. Di Pertigaan Pasar Parung, hingga kini pohon jubleg itu masih berdiri.
Ternyata, tanpa disadari, perjalanan hari ini menuju Jasinga adalah bertepatan dengan 10 tahun yang lalu saat juga melakukan kunjungan kesana pada tanggal yang sama. Kebetulan, saat itu (2015), Penulis mendapat tugas untuk di Leuwiliang dan Jasinga sehingga relatif sering berkunjung kesana, bahkan hingga tembus ke Tigaraksa dan Parung Panjang. Perbedaannya, kalau dulu jalanan menuju ke Jasinga belum begitu bagus, banyak lubang dan berdebu akibat kendaraan besar yang lalu lalang. Kini, meskipun kendaraan besar masih hilir-mudik, tetapi karena jalanan sudah bagus, suasana sepanjang perjalanan terasa lumayan nyaman. Apalagi udara segar dan pemandangan alam yang indah sangat memanjakan hati dan perasaan bagi para pengendara.
Tujuan kunjungan ke Jasinga setelah 10 tahun itu adalah dalam rangka melakukan pengumpulan data di Komplek Makam Raja-raja Garisul, Desa Kolong Sawah, Kec. Jasinga, Kab. Bogor. Meskipun Penulis sudah mengantongi beberapa referensi dari Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia Jakarta, namun guna pencocokan dan pencarian data baru, maka kunjungan itu memiliki arti cukup penting. Sebab, apa yang dituliskan oleh penulis sebelumnya, belum menjawab beberapa pertanyaan. Termasuk, siapa saja sosok yang dimakamkan di Makam Raja-raja Islam Garisul tersebut.
Kunjungan ke Jasinga itu, ternyata bersamaan dengan kunjungan penulis lain, yaitu sama-sama pada tanggal 5 Maret 2015 dan 5 Maret 2025[1]. Eka Kusumayadi, dari Komunitas Napak Tilas Peninggalan Sejarah Bogor ternyata juga melakukan kunjungan ke Makam Raja-raja Garisul pada 5 Maret 2015 alias 10 tahun yang lalu. Tulisan catatan perjalanan Eka Kusumayadi dan komunitasnya itu diberi judul “Mengenal Lebih Dekat Benda Bersejarah di Bogor Barat”. Tulisan itu menjadi salah satu referensi.
Eka Kusumayadi menggambarkan makam raja-raja Garisul dalam tujuh paragraf. Begitu juga foto pendukung yang dicantumkan terkait hal ini pun sebanyak tujuh buah. Dua foto saat masuk ke kawasan, sebuah foto Sungai Cidurian, foto papan nama BCB dan tiga foto terkait batu nisan dari Makam Raja-raja Garisul yang berupa gada dan pipih. Secara Toponimi, Garisul sendiri merupakan singkatan dari “Garis Sultan” alias keturunan sultan. Sultan yang dimaksud disini adalah Sultan Banten.
JASINGA ADALAH “JAYASINGHA”, MANDALAGIRI TARUMANEGARA
Menurut beberapa sumber tertulis, nama asli Jasinga adalah Jayasingha. Tim Penyusun Naskah Pangeran Wangsakerta dalam Kitab “Pustaka Kretabhumi” Parwa 1 Sargah Pertama menyebutkan, bahwa nama ini merupakan nama pendiri Kerajaan Tarumanegara, yaitu Jayasinghawarman Rajadiraja Guru (358-382). Jayasinghawarman merupakan menantu Dewawarman VII (340-362), salah seorang raja atau tepatnya raja kedelapan Kerajaan Salakanegara (Calankayana). Sedangkan nama ibukotanya adalah Jayasinghapura. Lokasinya di dekat sebuah sungai.[2]
Jan Frederik Gerrit Brumund yang menjadi pendeta pertama di Protestantse Gemeente te Malang (31 Oktober 1861) yang juga pakar Hinduisme Jawa, juga menyebutkan dalam beberapa halaman bukunya, “Bijragen tot de kennis van het Hindoeisme op Java” terkait penemuan arca-arca Hindu dan Budha yang terbuat dari batu andhesit di kawasan Jasinga. J.F.G. Brumund yang biasa berkeliling Land Koeripan, Land Jasinga dan Land Leuwiliang, kemudian menyimpulkan, bahwa Jasinga tidak lain adalah toponimi dari Jayasinghawarman itu.
Penemuan arca-arca di Jasinga dan Ciampea itu membuktikan dua hal: pertama, sudah ada agama Buddha di kawasan ini, dan kedua, keahlian pahat batu sudah berkembang di kawasan ini. Bahkan, pada masa Kerajaan Tarumanegara, meski dalam jumlah yang tidak besar, kelompok agama Buddha telah ada di ibukota Kerajaan, yaitu Jayasinghapura itu. Mereka terkonsentrasi di Pasiran Sinala atau Pasiran Silanang alias Bukit Cibodas Ciampea. Di beberapa lokasi dengan topografi bukit (pasiran), juga ditemukan arca-arca dalam kondisi berbeda.[3]
Bahkan, menurut Pendeta Brumund, Jayasingha atau lengkapnya Jayasinghapura merupakan lokasi Mandalagiri bagi penganut agama Buddha. Mandalagiri artinya, dataran tinggi (Pasiran) atau bukit atau gunung yang dijadikan sebagai lokasi berkumpulnya para tokoh agama Buddha. Ini mirip dengan konsep Pawikuan[4] dalam agama Hindu atau Desasasana. Yang terkenal pada masa Kerajaan Pajajaran adalah Desasasana Sunda Sembawa.
Dari hal ini dapat diketahui, bahwa lokasi ibukota Kerajaan Tarumanegara terdapat di beberapa tempat. Selain di tepi Sungai Ghomati dan Chandrabhaga, lokasi lainnya ada di tepi Sungai Cianteun dan Cisadane (Ciaruteun, Cibungbulang), dan di tepi Sungai Cidurian (Jasinga). Ini menunjukkan, bahwa peradaban masa lalu juga tidak bisa dilepaskan dari air atau sungai. Selain sebagai sarana vital kehidupan, sungai juga dipergunakan sebagai prasarana transportasi pada masa lalu.[5]
LAND JASINGA, SAKSI BISU TEMPAT PENYUSUNAN KAMUS SUNDA-INGGRIS PERTAMA DI DUNIA
Nama Jasinga tidak bisa dilepaskan dari sosok Jonathan Rigg (1809-1871)[6]. Rigg adalah tuan tanah (landheer) Land Jasinga hingga kewafatannya pada 1871. Land Cibungbulang dan Land Ciampea awalnya masuk ke Distrik Parung, hingga 1826. Namun, setelah Jasinga ditetapkan menjadi distrik pada 1826 maka Land Cibungbulang, Land Ciampea, Land Panyawungan atau Leuwiliang masuk ke dalam Distrik Parung. Tetapi, pada 1879 ketika Land Curuk Bitung atau Nanggung dan Land Sadeng Jambu dipisahkan dari Distrik Jasinga dan digabung dengan Land Ciampea, Land Cibungbulang dan Land Dramaga maka dibentuk Distrik Leuwiliang.
Land Cibungbulang pernah dimiliki oleh Jonathan Rigg (1809-1871). Rigg adalah putra seorang pendeta di Yorkshire, Inggris bernama Hugh Rigg (1782-1866). Rigg merupakan pemilik kapal barang di Surabaya yang diberi nama Jane Serena, peminat Etnografi, Antropologi, Arkeologi dan Filologi. Kamus Bahasa Sunda-Inggris pertama A Dictionary of the Sunda Language of Java disusun oleh Rigg dan diterbitkan pada 5 Agustus 1862. Disana tertulis, oleh Penerbit Lange & Co Batavia disebutkan, bahwa Rigg adalah “Member of the Batavian Society of Arts and Sciences”.[7]
Rigg menulis sedikitnya 10 karya ilmiah di jurnal nasional dan internasional pada masanya. Tulisan Rigg mencakup Etnografi, Antropologi, Filologi, Arkeologi dan Catatan Perjalanan. Rigg adalah seorang yang memiliki multi-disiplin ilmu berbeda-beda. Sebagai pemilik perkebunan (landheer), Rigg juga memahami metode penanaman kopi dan tanaman lainnya, termasuk mineral tanah. Tulisannya mengenai granit di Distrik Jasinga menarik minat ilmuwan lainnya.
Pada masanya, kawasan Pasiranmuhara (Pasir Muara) pernah dijadikan sebagai perkebunan kopi. Oleh sebab itu, kawasan ini kemudian dikenal sebagai Kebon Kopi. Saat prasasti batu tulis Tapak Gajah ditemukan di kawasan ini pada 1863, maka namanya pun awalnya disebut sebagai Prasasti Kebon Kopi. Ada beberapa peninggalan Kerajaan Tarumanegara dan khususnya vasal Pasiranmuhara yang masih terpelihara hingga kini. Di antaranya Prasasti Tapak Kaki Purnawarman, Prasasti Tapak Gajah, Prasasti Pasiranmuhara dan benda tinggalan lainnya.[8]
Kamus Sunda-Inggris yang disusun oleh Jonathan Rigg itu memakan waktu selama sebelas tahun (1843-1854). Sedangkan diperlukan waktu selama sembilan tahun kemudian untuk bisa dicetak (1862). Artinya hampir selama dua dekade, Kamus Sunda-Inggris pertama di dunia itu belum dapat dinikmati oleh masyarakat sebelum akhirnya menjadi sebuah magnum opus yang mendongkrak prestise orang Sunda. Padahal sebelumnya, bahasa Jawa seolah menjadi bahasa resmi para pejabat Hindia-Belanda, termasuk di Buitenzorg (Bogor) khususnya Jasinga. Setelah kamus itu terbit, bahasa Sunda yang selama ini dipandang sebagai bahasa orang Jawa gunung (bergjavaans) pun kemudian menjadi kebanggaan orang Sunda.
Secara singkat, isi dari Kamus Sunda-Inggris yang disusun di Land Jasinga ini dapat diterangkan sebagai berikut: tebal buku Kamus ini terdiri atas “Preface” sebanyak 12 halaman Romawi (xii), lema setebal 537 halaman, dan “Errata” di bagian belakang sebanyak 5 halaman Romawi (v). Lem yang dimuat sebanyak 9.308 buah, dengan lema K yang terbanyak (1.034), kemudian S (946 lema), P (937 lema), dan yang paling sedikit adalah Y (16 lema). Pada halaman judul terdapat semacam persembahan, yang berbunyi: “Beunang guguru ti gunung, beunang nanya ti Guriang (I have been taught it among the mountain, I have enquired after it from the mountain spirit)”.
Related Posts
Bakda Riyadi: Tradisi Keramaian Kerajaan Majapahit yang Menjadi Lebaran
Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar
Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara
Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar
No Responses