Telusuri Jejak Tarumanegara, Tuan Tanah Jonathan Rigg dan Makam Kuno Islam Garisul

Telusuri Jejak Tarumanegara, Tuan Tanah Jonathan Rigg dan Makam Kuno Islam Garisul

Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)

CATATAN:

*) Selesai ditulis pada Kamis, 6 Maret 2025 (6  Aman 1404 HS) pkl. 16:15 WIB di Rumah Dinas Griya Carani “DAAR EL-JUMAAN” Bogor, Jawa Barat.

**) Penulis adalah Peraih Penghargaan Ikon Prestasi Pancasila 2021 dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Jakarta atas kiprah di Bidang Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan khususnya Bidang Literasi dan Pemberdayaan Masyarakat Pedalaman di Maluku. Penulis juga merupakan Pendiri/Direktur dan Pengulik pada Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku. Penulis merupakan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI) dan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Ushuluddin se-Indonesia (FORMADINA).

CATATAN PENULIS:

[1] Penulisan ini juga dalam rangka mengenang kembali jiwa kepahlawanan Pejuang Perempuan Banten, yaitu Nyai Mas (Nyimas) Saliah yang dikenal dengan julukan Nyimas Gamparan atau Gumpara binti Nyai Perbata, pemimpinan Pemberontakan Cikande yang terkenal pada 1829-1836 karena ketidakpuasan terhadap Tanam Paksa Belanda, 7 Maret 1830. Lihat, Sartono Kartodirdjo dalam bukunya, Pemberontakan Petani Banten 1888, Depok: Komunitas Bambu, Cet. 1, Februari 2015, hlm. 130 & 149. Kata “Gamparan” dalam bahasa Sunda memiliki arti a wooden sandal or sole of thick wood, held to the foot by a peg with a round knob, which passes between the toes. Menurut kisahnya, Nyimas Saliah selalu mengacungkan sandal ketika membangkitkan semangat rakyat untuk melawan Belanda. Lihat, Jonathan Rigg, A Dictionary of the Sunda Language of Java, Batavia: Lange & Co. 1st Print, 1862, pagina 120.

[2] Lihat, Silsilah Lengkap Raja-Raja di Jawa Barat menurut catatan Pangeran Wangsakerta dalam buku Dr. Edi S. Ekajati, Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta, Bandung: PT Kiblat Buku Utama, Cet. 1, Januari 2005, hlm. 36.

[3] Lihat, penjelasan lengkap akan kondisi arca-arca yang ditemukan di Pasiran Sinala (Silanang) alias Bukit Cibodas Ciampea oleh Jan Frederik Brumund dalam bukunya, Bijragen tot de kennis van het Hindoeisme op Java, Batavia: Lange & Co, hlm. 66-67. Buku ini dalam bahasa Belanda.

[4] Lihat, tulisan Penulis dalam buku Hutan Larang (Samida) Srimanganti: Menelusuri Jejak Terserak, Toponimi Unik dan Peristiwa Lampau di Pawikuan Kerajaan Pajajaran di Wanasigra, Tenjowaringin, Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat, Bogor: Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi, Cet. 1, November 2023, hlm. 3.

[5] Oleh sebab itu, pada masa dahulu dan hingga sekarang ini, banyak pemukiman yang didirikan di tepi sungai. Lihat, buku Claude Guillot, Banten: Sejarah Peradaban Abad X-XVII, Jakarta: KPG, EEOF & Puslitpem Arkenas Jakarta, Cet. 1, Desember 2008, hlm. 102.

[6] Jonathan Rigg (1809-1871) merupakan tuan tanah berkebangsaan Inggris yang menguasai Land Jasinga. Penemuan dua buah Prasasti Tarumanegara terjadi di lahan perkebunannya di Kebon Kopi dan Pasiranmuhara.

[7] Jonathan Rigg telah menyusun Kamus Sunda-Inggris dengan menggunakan pendekatan multidisiplin ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, selain sebagai upaya melestarikan bahasa Sunda, juga merekam berbagai keilmuan lainnya termasuk agraria khususnya pertanian. Di dalam Kamus itu, Rigg menyebutkan ratusan jenis padi yang ditanam pada saat itu, baik padi sawah ataupun padi ladang atau huma.

[8] Bekerjasama dengan fotografer kawakan Belanda, Isidore van Kinsbergen, foto-foto temuan itu dapat diabadikan hingga sekarang. Foto tahun 1863 itu memiliki piksel yang sangat tinggi hingga tidak pecah saat digunakan sebagai dokumentasi.

[9] Hingga tulisan ini dibuat, Penulis belum bisa membuka atau download file foto maupun tulisan berformat PDF. Bandingkan dengan file yang open source, dengan mudah bisa diunduh.

[10] Mohammad Thoha Idris menulis Thesis berjudul Hubungan Antara Gerakan-Gerakan Masyarakat Muslim Banten dan Situs Garisul Jasinga Kabupaten Bogor: Kajian Tipologi Nisan, sedangkan Lukmannul Hakim menulis Skripsi dengan judul Tipologi dan Kronologi Nisan-nisan Kuna di Situs Kulantung Jasinga, Bogor, Jawa Barat.

[11] Berdasarkan titimangsa, yang menyebutkan angka tahun makam-makam itu, semisal 1886, 1893 untuk Masehi dan 1242, 1264, 1332 untuk Hijriah, maka kemungkinannya lebih dekat dengan keyakinan Penulis tersebut. Ada yang dimakamkan lebih awal, ada juga yang belakangan di kawasan yang dulunya sangat terpencil ini.

[12] Bila tahun-tahun tersebut dikonversi ke tahun Masehi, maka akan didapati tahun-tahun yang dekat peristiwanya dengan peristiwa hijrahnya Sultan Muhammad Syafiuddin dan Pemberontakan Cikande. Pembuatan batu nisan diperkirakan memakan beberapa waktu kemudian. Sebab, mempersiapkan batu nisan yang sama dalam jumlah yang banyak –hingga ribuan dengan ukuran dan bentuk serta motif iluminasi yang berbeda-beda—akan memerlukan waktu yang lama. Kemungkinan, pemberian batu nisan itu dilakukan setelah sekian lama sosok itu dimakamkan disana. Artinya, orang-orang terkemudian yang memproses pemakamannya.

[13] Ibid. hlm. 107. Lihat no. 1. Sartono Kartodirdjo memberikan alasan mengapa Nyimas Gamparan melakukan perjuangan tersebut. Menurutnya ada tiga alasan: jaringan yang luas sebagai modal pergerakan, keberanian yang fanatik berlatar unsur keagamaan (messianik) dan pemulihan kesultanan.

[14] Fakta bahwa Sultan Muhammad Syafiuddin dan Nyimas Gamparan berada di kawasan Jasinga adalah tidak ada catatan dimana keberadaan Sultan pasca dilengserkan oleh Pemerintah Inggris oleh Thomas Stamford Raffles pada 1813. Sultan beserta keluarga dan pengikutnya kemudian hijrah ke kawasan Banten Selatan tepatnya di Jasinga. Sebab kawasan Banten Selatan tetap diperintah oleh Sultan. Sedangkan dataran rendah dibagi menjadi dua kabupaten: Barat dan Utara sesuai Peraturan 22 Agustus 1810. Kondisi ini juga dimanfaatkan oleh Nyimas Gamparan dan pasukan gerilya perempuannya untuk berada di pedalaman Banten Selatan.

[15] Ki Bagus Sandong identik dengan Syekh Sandong (Gandong) artinya ibarat anak kecil digendong dengan selendang, artinya seorang yang pendiam. Oleh sebab itu sosok tersebut dikenal sebagai Mbah Sadiem.

No Responses

Tinggalkan Balasan