Telusuri Jejak Tarumanegara, Tuan Tanah Jonathan Rigg dan Makam Kuno Islam Garisul

Telusuri Jejak Tarumanegara, Tuan Tanah Jonathan Rigg dan Makam Kuno Islam Garisul

MENELISIK MAKAM KUNO ISLAM “GARISUL” DI JASINGA

Kini, tidak ada satupun catatan tertulis Belanda yang menyebut nama Makam Garisul di Jasinga. Juru potret Belanda Isidore van Kinsbergen yang dikenal sebagai fotografer kawakan dan telah berkeliling Nusantara hingga ke Kepulauan Maluku, sama sekali tidak pernah mengambil foto lokasi ini. Data-data terkait Makam Garisul yang ada di Leiden University juga mengalami pembatasan (restriction on access) alias access restricted.[9]

Pihak Hindia-Belanda memang pernah menyebutkan Makam Garisul pada 1938 terkait dengan penyelidikan kepurbakalaan Islam di Nusantara (Indonesia) saat itu. Dr. K.C. Crucq dalam buku “Oudheldkundig Verslag Uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen” disebutkan telah meneliti komplek Keramat Hadji Sarip di Garisul tersebut. Sayangnya, akses ke sumber-sumber Hindia-Belanda itu juga telah tertutup.

Beruntung, Drs. Uka Tjandrasasmita menyebutkan hal itu dalam makalah “Riwayat Penyelidikan Kepurbakalaan Islam di Indonesia”  pada 1992. Makalah ini dimuat dalam buku “50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional 1913-1963” yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1992. Ada 10 makalah yang dimuat dalam buku ini, di antaranya ditulis oleh A.S. Wibowo, R.P. Soejono, Soediman, I Made Soetaba dan Hadimuljono.

Meskipun pasarean ini dianggap merupakan komplek pemakaman terbesar di Jawa Barat, namun perhatian peneliti belum sepenuhnya tertuju ke lokasi ini. Untungnya, ada dua mahasiswa Universitas Indonesia yang telah melakukan kajian terhadap Keramat Haji Syarif di Garisul ini. Mereka adalah Mohammad Thoha Idris dan Luqman Hakim. Sayangnya, akses ke sumber referensi mereka juga telah tertutup. Satu-satunya cara, adalah dengan membaca tulisan mereka dalam bentuk buku secara langsung di Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Depok.[10]

Beberapa teori menyebutkan, bahwa (i) komplek pemakaman ini merupakan komplek pemakaman terkait Kesultanan Banten. Dikatakan, bahwa ini adalah lokasi pemakaman prajurit Kerajaan Pajajaran dan Kesultanan Banten yang pernah berperang di perbatasan. Ada sumber lain yang menyebutkan, bahwa (ii) ini adalah lokasi pemakaman para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang gugur saat bertempur dengan pasukan militer Belanda. Teori lain menyebutkan, bahwa (iii) ini adalah lokasi pemakaman anggota pasukan khusus Nyai Mas (Nyimas) Gamparan, yang menolak penerapan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada 1829-1830 di Banten. Inilah yang disebut Perang Cikande (1828-1839). Penulis sendiri meyakini, bahwa (iv) lokasi Keramat Haji Syarif ini adalah pemakaman Sultan Muhammad Syafiuddin, Sultan Kesultanan Banten beserta rombongan yang menyertainya.[11]

Keyakinan Penulis itu didasarkan pada beberapa alasan, berikut ini:

Pertama, Bentuk Batu Nisan. Batu nisan yang terdapat dalam Pemakaman (Pasarean) Keramat Haji Syarif atau Makam Raja-Raja Islam Garisul, Jasinga ini memiliki kesamaan dengan nisan yang ada di Pemakaman Raja-raja Aceh dan Pemakaman Banten Lama. Nisan berbentuk gada menunjukkan bahwa sosok yang terkubur adalah seorang lelaki, sedangkan berbentuk pipih adalah makam seorang perempuan. Bentuk silindris dan oktagonal (delapan sisi) biasa dipakai oleh makam-makam di kedua lokasi tersebut.

Begitu juga dengan keletakannya, posisi makam yang berada pada bagian atas itu menunjukkan strata sosial yang lebih tinggi. Hal ini juga didukung oleh besar-kecilnya batu nisan yang dipergunakan. Secara berjenjang, dapat dikatakan, bahwa batu nisan yang ukuran paling kecil itu menandakan makam sosok masyarakat biasa alias prajurit; yang lebih besar lagi adalah perwira; sedangkan yang paling besar adalah panglima. Makam yang terpisah di bagian atas menunjukkan sebagai orang yang paling dihormati. Makam itu berada pada satu lokasi, terpisah dari makam-makam lainnya.

Dari segi iluminasi yang terdapat dalam batu nisan itu, juga dapat diketahui penggolongan keyakinan atau kepercayaan mereka. Ada yang beragama Islam, ada juga yang kemungkinan beragama Kristen, bahkan ada juga yang beragama Yahudi serta agama lainnya, seperti Hindu dan Buddha. Pada masa itu memang wajar keahlian pahat sedang berkembang dengan corak surya (matahari) atau sulur tanaman dan bunga (sekar). Bahkan, dari sisi iluminasinya dapat diketahui juga, mana makam sosok laki-laki dan mana makam untuk sosok perempuan.

Kedua, Epigrafi/Inskripsi dalam Batu Nisan. Hanya makam dengan batu nisan yang besar saja yang memiliki epigrafi atau inskripsi. Baik nisan berbentuk gada (laki-laki) maupun pipih (perempuan), bila ukurannya lebih besar, maka dipastikan pada bilah atau sekelilingnya terdapat inskripsi atau tulisan. Inskripsi itu mencakup nama sosok yang dimakamkan, gelar dan tahun kewafatan. Tahunnya sendiri bervariasi, ada yang menggunakan tahun Arab (Hijriah), Masehi dan Jawa (Saka). Oleh sebab itu, kita harus bisa mengkonversi tahun-tahun tersebut.[12]

Huruf dan bahasa yang dipergunakan dalam batu nisan juga sangat unik. Meskipun kawasan Jasinga ini berbahasa Sunda, tetapi semua inskripsi itu menggunakan bahasa Jawa sawareh alias bahasa Jawa Serang (Jaseng). Sebagai orang Indramayu, Penulis sangat dekat dengan bahasa ini yang sama dengan bahasa Dermayu. Apalagi, ibu Penulis pun berasal dari Banten, yang pindah ke Indramayu pada masa pendudukan Jepang (1942).

Ketiga, Lokasi Makam. Keletakan makam semuanya menghadap ke barat (kiblat). Baik makam yang ada di bagian atas maupun yang ada di bagian bawah, semuanya membujur dari utara ke selatan, dengan muka kepala jenazah menghadap ke barat atau kepala jenazah ke arah utara sedangkan kaki menghadap ke arah selatan. Termasuk makam yang ditengarai beragama lain, seperti Kristen dan Yahudi.

Yang terbilang unik juga adalah formasi undakan yang terdiri dari beberapa undakan (terassforming). Bila dilihat dari pintu masuk, maka posisi makam itu seolah terbagi menjadi beberapa undakan. Lahan seluas 3.000 meter persegi itu menampung sekitar 2.000 makam yang tersusun secara berhimpitan. Relatif tidak ada jarak antar satu makam dengan makam lainnya. Bila tidak ada penanda sekeliling berupa batu-batu kali dan juga batu nisannya, maka pengunjung tidak akan mengetahui batas-batas tiap makam.

AKIBAT POLITIK DEVIDE ET IMPERA KOLONIAL BELANDA, DEMANG KARTA NATA NEGARA KONTRA NYIMAS GAMPARAN

Sebagai Onderafdeeling, Jasinga dipimpin oleh seorang Demang alias Hoofd van Platselijk Bestuur (HPB). Pada masa Tuan Tanah (Landheer) Jonathan Rigg, telah terjadi beberapa kali penggantian Demang Jasinga. Nama Demang pada tahun 1830-1836 adalah Raden Karta Nata Wiredja. Nama Demang sebelum itu adalah Raden Karta Nata Negara (1790-1879) yang kemudian menjadi Bupati Lebak (1837-1865) bergelar Raden Adipati Karta Nata Negara.
Raden Adipati Kerta Nata Negara inilah yang berjasa terhadap Pemerintah Hindia-Belanda dalam memadamkan gerilya pasukan srikandi Nyai Mas Gamparan[13] asal Cikande, Banten. Demang Jasinga diminta bantuan oleh militer Hindia-Belanda untuk menangkap hidup atau mati pasukan srikandi berjumlah 30 orang pendekar wanita Banten yang sangat menyusahkan Belanda tersebut. Meski Belanda telah mengerahkan pasukan militer khusus Jayengsekar, itu tidak membuahkan hasil.

Atas muslihat licik devide et impera militer Hindia-Belanda itu, pasukan srikandi Nyimas Gamparan kemudian berhadapan dengan pasukan Demang Raden Karta Nata Negara. Akhirnya Nyimas Gamparan pun dapat ditewaskan oleh Demang Karta Nata Negara. Pemberontakan yang meletus sejak 7 Maret 1830 itu sendiri dapat dipadamkan dan Demang Jasinga mendapat promosi menjadi Adipati Lebak kedua. Ibukota Kadipaten Lebak kemudian dipindahkan dari Warunggunung ke Rangkasbitung pada 1851 alias setelah 14 tahun Regent Sepoeh itu memerintah.

Nyimas Gamparan sendiri masih terhitung anggota keluarga Kesultanan Banten. Dia kecewa dengan Pemerintah Inggris yang pada 1813 menghapuskan Kesultanan Banten sehingga Sultan Muhammad Syafiuddin kemudian melakukan hijrah beserta para pengikutnya. Kemungkinan Sultan Syafiuddin hijrah ke kawasan Jasinga tepatnya di Garisul sekarang, di tepi Sungai Cidurian. Mereka membuka pemukiman dan pusat pendidikan disana. Sebagai salah seorang anggota keluarga Kesultanan Banten, Nyimas Gamparan juga kemudian bergabung ke Garisul.[14]

Beberapa nama pada batu nisan yang ada di Pemakaman Keramat Syarif atau Makam Raja-raja Islam Garisul mengindikasikan hal itu. Ada beberapa nama terkait Kesultanan Banten, di antaranya nama Sultan Syafiuddin, nama panglima perang, nama tokoh agama dan nama-nama tokoh Pemberontakan Cikande yang merupakan teman seperjuangan Nyimas Gamparan, di antaranya Ki Bagus Sandong.[15] []

No Responses

Tinggalkan Balasan