Kami semua dipersilahkan duduk di tempat pertemuan yang mereka sebut sebagai Bale Gong. Diruang inilah kami menyimak pemaparan-pemaparan mulai dari sejarah pembuatan Pura di tempat ini, simbol-simbol, istilah-istilah, tatacara ibadah, dll. Pemaparan pun dimulai oleh Bapak Imade. Beliau menyampaikan mengenai Tritakarana yang didalamnya membahas mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan.
Beliau menuturkan, ‘’Jika manusia berpegang teguh kepada ketiga hal tersebut maka dunia ini akan senantiasa damai.” Pada hakikatnya manusia dan lingkungan ini adalah ciptaan Tuhan jadi siapa saja yang merusak dan membuat kekacauan sama dengan melawan Tuhan dan merusak Tuhan. Oh Iya pada kesempatan itu juga turut hadir teman beliau di Pura yaitu Bapak Johan Efendy AKP yang merupakan guru/dosen di perwira. Mereka berdua dalam pemaparan itu saling melengkapi sehingga banyak sekali pelajaran yang disampaikan saking banyaknya kami terutama penulis ini kebingungan, hehehe… tapi terus diikuti sampai akhir.
Dalam pemaparan itu mereka menyampaikan mengenai Trimandala. Apa itu Trimandala? Trimandala merupakan 3 struktur tempat ibadah yaitu Nista, Madie & Utama mandala. Nista merupakan tempat persiapan untuk beribadah misalnya mencuci tangan, kaki dll. Madie merupakan tempat balai pertemuan sosial. Misalnya untuk ajang silaturahim, diskusi, pertunjukan musik, seni dll. Utama Mandala merupakan tempat Khusus Ibadah.
Mengenai penamaan Pura Wira Giri Dharma dijelaskan oleh Bapak Johan Efendi. Beliau mengatakan, Pura artinya tempat. Wira artinya perwira atau pemimpin. Giri artinya Gunung dan Dharma artinya Kebaikan. Jadi maksudnya adalah suatu tempat pendidikan didekat gunung guna membentuk calon perwira yang baik.
Mengenai kearah mana Umat Hindu beribadah? pertanyaan ini diajukan oleh Bapak Wawan. Adapun jawaban mereka adalah umat Hindu beribadah menghadap ke arah matahari terbit atau juga kearah gunung yang berada di timur. Kenapa ke Gunung? Karena gunung memberikan kehidupan kepada manusia, begitu juga dengan matahari. Bisa disimpulkan bahwa mereka menyembah kearah sesuatu yang memberikan kehidupan kepada manusia. Dari seminggu ada 3 kali peribadahan yang disebut trisandia yaitu pagi (mulai fajar) siang (jam 12.00) & sore (matahari terbenam).
Mengenai hari-hari perayaan. Mereka mengeluhkan hari perayaan umat Hindu karena pemerintah hanya mengakui perayaan nyepi saja sedagkan perayaan Galungan, Kuningan & Siwelatmi belum diakui sehingga mengalami kesulitan dalam mengumpulkan umat terutama bagi para pelajar yang tidak ada hari libur sekolah. Adapun alternatif lain dialihkan setelah pulang sekolah namun tetap kurang banyak yang hadir.
Mengenai simbol dan pemujaan, orang-orang Hindu seringkali dilabelkan sebagai pemuja patung oleh beberapa orang non Hindu. Dewa dewi hindu secara terus menerus disebut sebagai patung. Menurut mereka patung itu bukanlah Tuhan, tapi simbol dari Tuhan. Sama seperti orang yang menghubungkan kebebasan dengan langit biru, kesucian dengan gereja, sebuah masjid atau salib. Adalah sebuah tuduhan yang besar dan keliru bahwa umat hindu menyembah berhala melainkan semua itu hanya sebatas penghormatan saja pada patung-patung, ujar Pak Efendi.
Related Posts

Pengalaman Bertabligh di Kalangan Sastrawan

Mutasi : Antara Kebutuhan, Penyegaran dan Pengkhidmatan

Mutasi: Momen Mengukur Kuantitas dan Kualitas Rabtah Serta Merekatkan Silaturahmi

Kembali ke Papua Barat Dengan Segudang Pengalaman Berat

Dua Agenda Berdekatan di Bulan Mei Sebagaimana Dikabarkan Dalam Mimpi

No Responses