Pengalaman Bertabligh di Kalangan Sastrawan

Pengalaman Bertabligh di Kalangan Sastrawan

Kalangan seniman dan sastrawan tersebut bisa dikatakan sangat menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan. Kalangan Indie ialah kalangan idealis. Di suatu sesi ada pembicara yang menolak duduk di kursi demi kesetaraan dengan hadirin yang duduk di tikar hal mana membuat pembicara lain dan moderator mengikutinya. Mereka yang ini tidak suka bila terlihat lebih tinggi atau lebih rendah atas orang lain atau berpakaian ulama mungkin dalam pandangan mereka dianggap menampilkan diri lebih suci atas yang lain. Atas hal ini, sepertinya saya merasa salah kostum datang dengan kemeja rapi dan bercelana pantofel gaya orang kantor.

Ada di kalangan pembicara yang datang berkaos dan bercelana pendek namun ternyata begawan (sangat ahli) di bidang kritik sastra, seperti Saut Situmorang dan Sigit Susanto. Sigit Susanto, berpenampilan rambut agak awut-awutan dan bercelana pendek merah dan tidak lupa merokok. Namun, jangan memandang dengan meremehkan. Dia yang tampak seperti petani bersahaja ini, demi acara sastra ini rela terbang dari tempatnya di Swiss ke Yogya. Mereka akan tahan dan kuat berjam-jam membicarakan soal puisi, soal prosa dan riwayat hidup sastrawan yang mereka teliti. Tentu, ada saja yang sambil ngudud alias merokok sambil duduk di kursi seraya mengangkat kakinya bersilang. Kita tentu akan takjub atas bagaimana mahirnya mereka membahas sastra dan para penulis sastra yang mereka teliti. Bahkan, saya juga diberitahu salah satu mahasiswa bahwa ia pernah diajar sastra oleh Bang Saut. Bang Saut sangat senang diberi pertanyaan asal berbobot. Dia akan terlihat akan tampak meremehkan dan bercanda bila ditanya dengan pertanyaan kecil atau kurang penting. Di belakang panggung setelah selesai sesi beliau, saya banyak ngobrol dengan beliau. Demi kesetaraan, beliau menolak dipanggil bapak oleh saya, Panggil saya bang Saut, jangan bapak, katanya. Beliau menyarankan saya membaca buku Orientalism karya Edward Said, pemikir Palestina bila ingin mengetahui cara pandang orang barat atas non barat.

Dalam pengalaman saya tersebut pemantik penyampaian tabligh ialah ketika peserta yang saya ajak ngobrol menanyakan asal-usul saya dan saya secara bertahap menjelaskan asal-usul saya sekaligus tugas saya [yaitu Muballigh Ahmadiyah]. Dari banyak orang yang bisa berkenalan akhirnya ada saja yang tertarik untuk ngobrol lebih jauh karena mereka sendiri memulai pembahasan apa itu Ahmadiyah, bagaimana ciri khasnya, bagaimana titik perbedaannya. Dari hal itulah kita mulai langsung memilah dan memilih mana yang hanya sampai di obrolan dan mana yang perlu dihadiahi buku Jemaat. Alhamdu lillah, saya berhasil menghadiahkan dua buah buku Jemaat, satu ialah buku Krisis Dunia karya Hadhrat Khalifatul masih V (atba) dan satu lagi majalah Sinar Islam terbitan beberapa tahun lalu yang di dalamnya banyak mengutip sabda-sabda Hadhrat Masih Mauud (as). Saya sendiri cukup menyesal hanya membawa dua buku. Saya pikir lebih dari 10 orang asal dari berbagai bahasa daerah berbeda yang saya kenal di sana perlu dihadiahi buku Jemaat dan alangkah baiknya itu dalam bahasa mereka masing-masing seperti Jawa, Sunda, Madura, Minang, Mbojo (NTB), Papua, Ambon, Mandar (Sulawesi Selatan), Lahat (Sumsel).

Saya mengikuti acara tersebut sampai jam dua dini hari dengan tahan dan sabar sampai mendapat kesempatan yang dirasa tepat untuk menguraikan mengenai Jemaat atau menghadiahi buku Jemaat. Obrolan dini hari adalah obrolan mendalam. Muhidin M Dahlan, seorang ahli soal Pramudya dan sejarah kaum komunis akan senang diberi pertanyaan-pertanyaan soal sejarah. Bang Saut dan Gus Muhidin adalah dua orang yang menolak narasi negatif hasil jaman orde baru terhadap Sitor Situmorang dan Pramudya dan berusaha menjelaskan dengan banyak argumentasi soal itu. Bang Sitor itu nasionalis, bukan komunis, begitu kata bang Saut. Sementara itu, Muhidin berpendapat bahwa Pram sangat menjunjung tinggi hak cipta sehingga mengkritik sastrawan Islami hal mana disalahpahami sebagai menyerang agama padahal yang dikritik ialah hasil karya seorang tokoh Islam yang diduga mengkopi hasil naskah penulis Mesir. Dalam sejarah Indonesia, narasi pembela kaum kiri dan narasi orde baru adalah dua hal yang sering membuat dahi saya berkenyit bertanya-tanya dalam hati mana yang benar diantara keduanya. Berbicara dengan mereka harus bermodal bacaan yang luas dalam bidang ideologi, sejarah dan politik. Namun, jangan bergaya sudah tahu tapi lebih baik seperti murid yang mendengarkan penjelasan gurunya.

Sitor dan Pram wafat di masa reformasi dan mengalami pemenjaraan di jaman orde baru karena dituduh kiri (terafiliasi komunis atau PKI) namun keduanya melewati jaman orde baru dan wafat lebih dari 10 tahun setelah tumbang orde baru. Bang Saut dan Gus Muhidin adalah dua orang yang suka membaca buku. Sayangnya, saya hanya berhasil menghadiahkan buku Jemaat kepada Gus Muhidin saja, yaitu buku Krisis Dunia karya Hadhrat Khalifatul Masih V (atba).

Di balai pertemuan tersebut ada ruangan cukup luas untuk para tamu yang tidak bisa segera pulang karena rumahnya jauh dan berbahaya mengadakan perjalanan dini hari jam 2. Perlu diketahui, dunia malam di Yogya beberapa kali terjadi kasus Klitih, yaitu geng-geng atau oknum-oknum pemuda nakal bermotor yang kelayaban (berkeliaran) mencari korban tengah malam hingga dini hari kepada pengendara motor yang sendirian. Panitia dan keamanan mengijinkan saya bermalam di sana bersama rombongan penggemar sastra dari Bandung, Kebumen dan Pundong (salah satu kecamatan di Bantul yang dekat pantai). Dengan mereka pada pagi harinya saya banyak mengobrol dan juga bertabligh. Rombongan dari Bandung sebuah klub pecinta buku – bahkan ada yang mengundang saya bila ke Bandung menghadiri acara bedah buku di sana. Saya cukupkan cerita ini sampai di sini. Moga-moga ada kelanjutannya. Aamiin.

No Responses

Tinggalkan Balasan