Memperoleh Nur Ilahi Melalui Perantara TV | Bagian 1

Memperoleh Nur Ilahi Melalui Perantara TV | Bagian 1

Peristiwa baiat ini terjadi pada Selasa, 11 November 1997 bakda shalat Maghrib di rumah kontrakan Mubalig Sekarmulya di Blok Bedeng, Desa Sukamelang, Kec. Kroya, Kab. Indramayu. Oleh sebab itu titimangsa bersejarah ini menjadi unik: 11-11 dan menjadi patokan tanggal pernikahan Penulis yang juga dilaksanakan pada 11 November 2006 atau sembilan tahun kemudian.

Diboikot dan Dikucilkan di Kantor dan Dalam Pergaulan

Sejak baiat, otomatis Penulis kemudian ikut shalat Jumat bersama kelompok Ahmadiyah yang sudah mulai banyak memiliki Jemaat di Blok Gadel, Blok Bedeng, Blok Sawahbera. Sedangkan di Blok Kebonrandu yang awalnya ingin mendirikan masjid, mendapat penentangan dari tokoh agama termasuk oleh teman-teman Penulis sendiri yang dulunya sama-sama aktifis masjid dan IRMAS.

Saat perjalanan shalat Jumat dan lewat masjid jami di sebelah Balaidesa Desa Sekarmulya, tampak tatapan mata heran melihat kepergian Penulis. Yang biasanya shalat Jumat bersama mereka, kini Penulis ikut shalat Jumat di Masjid “Fadhal” Cabang Sekarmulya di Blok Sawahbera. Memang lokasinya harus melewati Masjid Jami “Huda” Blok Kebonrandu, Desa Sekarmulya itu.

Bukan hanya dalam pergaulan, di kantor pun, setelah diketahui bahwa Penulis telah masuk Ahmadiyah, akhirnya muncul resistensi. Kosekuensinya, Penulis diboikot dan dikucilkan di kantor SMP Negeri 1 Gabuswetan. Meskipun Kepala Sekolah Drs. Didi Tarmidi tidak pernah mempermasalahkan ke-Ahmadiyah-an Penulis, namun Wakil Kepala Sekolah Drs. Mohammad Kirom menjadi yang paling garang.

Beberapa kali Penulis disidang, apakah tetap menjadi Ahmadi atau dikeluarkan dari kantor. Saat ini penulis menjawab, “Bukan saya yang masuk Ahmadiyah, tetapi Ahmadiyah yang telah masuk ke dalam diri saya. Silakan Bapak keluarkan saja saya dari kantor, tetapi disini ada Kepala Sekolah yang berwenang. Selama beliau tidak mempermasalahkan, kita lihat saja perkemmbangannya.”

Akhirnya Wakasek asal Brebes dan anggota Muhammadiyah itupun luluh. “Bapak adalah satu-satunya tenaga kami yang paling potensial disini. Belum ada SDM lainnya yang bisa melakukan tugas-tugas yang ada di kantor ini. Tetapi, saya akan tetap berusaha agar Bapak keluar dari Ahmadiyah!”

Ternyata, ancaman Wakil Kepala Sekolah itu bukan sekedar lips service belaka. Hal itu benar-benar dilakukan dengan dua cara. Pertama, menggunakan tangan guru-guru yang satu haluan dengan dirinya. Kedua, memisahkan meja kerja Penulis dari teman-teman kantor lainnya. Tujuannya agar Penulis sadar dan keluar dari Ahmadiyah.

Untuk cara yang pertama, Drs. Mohammad Kirom memanfaatkan peran Drs. Syamsuddin (guru Bahasa Indonesia, NU) asal Desa Kenanga Kab. Pekandangan, Kab. Indramayu, Ngudiyanto, S.Pd. (guru Matematika, Persatuan Islam [PERSIS] asal Rembang, Jawa Tengah dan Selamet Budiharjo, SPd. (guru Bahasa Inggris, Al-Irsyad) asal Pekalongan, Jawa Tengah. Beberapa kali mereka bertiga berdebat dengan Penulis.

Namun, upaya mereka tetap tidak berhasil. Bahkan akhirnya mereka mengakui bahwa Ahmadiyah terlalu kuat untuk dilawan dengan dalil-dalil. “Tidak akan pernah menang menghadapi Ahmadiyah dengan dalil-dalil. Dulu Ustad Ahmad Hassan juga dibuat tak berdaya,” ujar Ngudiyanto yang dari Persatuan Islam (PERSIS), organisasi yang didirikan oleh Ahmad Hassan itu.

Akhirnya mereka bertiga kemudian tidak meneruskan missinya. Bahkan, hubungan dengan mereka menjadi baik kembali. Mereka berkesimpulan, masalah akidah adalah hak masing-masing. Jadi, yang penting saat ini adalah melakukan tugas-tugas kantor dengan baik sehingga SMP Negeri 1 Gabuswetan bisa maju dan menjadi sekolah unggulan.

Sedangkan, cara kedua dengan memisahkan meja kerja di sudut ruangan terpisah dari yang lainnya juga gagal total. Sebab, bukannya dikucilkan, malah teman-teman sering berkonsultasi dan minta bantuan bila ada hal yang tidak difahami. Kepala Sekolah Drs. Didi Tarmidi pun setelah melihat kondisi ini, dalam Rapat Dewan Guru dan Tata Usaha, akhirnya memberikan peringatan kepada semua guru dan staf administrasi.

“Siapa saja yang masih mempermasalahkan teman kita karena ke-Ahmadiyah-annya itu, sebaiknya hentikan sekarang juga. Saya tidak ingin kita membuang-buang energi dan waktu untuk masalah ini. Kita bukan sekolah agama, tetapi sekolah negeri. Siapapun guru, tata usaha atau siswa, meskipun berbeda agama atau alirannya, diterima dan memiliki hak dan kewajiban yang sama di sekolah kita ini.” kata Drs. Didi Tarmidi memberikan ultimatum keras.

Sejak saat ini, situasi di kantor menjadi kondusif kembali. Tidak ada lagi yang mengutak-atik masalah Ahmadiyah. Bahkan guru-guru Agama yang ada, semisal Drs. Ahmad Tsana dan Dra. Roki’ah pun tidak mempermasalahkan masalah akidah sejak awal. Hubungan tetap baik sejak semula, bahkan biasa bersama-sama bila ada acara dakwah diluar sekolah. Sebab, Drs. Ahmad Tsana merupakan pendakwah kondang tingkat kabupaten. Hampir tiap saat diundang ceramah dimana-mana.

Masuk Jamiah Ahmadiyah Indonesia

Ketika ada penerimaan calon mahasiswa Jamiah Ahmadiyah Indonesia pada 1997, Maulana Ismail Firadus menawarkan agar Penulis bisa ikut mendaftar. Namun, saat itu Penulis menjawab bahwa akan memikirkannya terlebih dahulu. Sebab, Penulis masih dibutuhkan di SMP Negeri 1 Gabuswetan, bahkan saat itu ada tawaran diangkat sebagai PNS tanpa syarat oleh Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kandepdikbud) Kab. Indramayu Drs. Ece Dachyat.

Pasalnya, sejak SD hingga SMA, Penulis adalah siswa yang berprestasi dan mengharumkan nama Kab. Indramayu. Kepala Kandepdikbud Kab. Indramayu pernah memberikan banyak hadiah atas prestasi Penulis mengharumkan bidang pendidikan di Kab. Indramayu karena muncul sebagai Juara Cepat Tepat se-Provinsi Jawa Barat. Penulis juga menjadi Juara Penulisan Karya Tulis Ilmiah se-Kab. Indramayu saat itu sehingga mendapat Beasiswa SUPERSEMAR dan GOLKAR.

Penulis akhirnya berkonsultasi dengan Kepala Sekolah terkait rencana ikatan dinas di Jamiah Ahmadiyah Indonesia tersebut. Sebab, Maulana Ismail Firdaus, awalnya menyebutkan ikatan dinas, sehingga difahami, setelah lulus akan kembali lagi menngajar di SMP Negeri 1 Gabuswetan. Oleh sebab itu, Kepala Sekolah pun membuatkan surat rekomendasi agar Penulis bisa lolos dalam seleksi.

Pada 1998, Penulis pun memutuskan untuk ikut mendaftar di Jamiah Ahmadiyah Indonesia di Parung, Bogor (dulu Desa Pondok Udik masih masuk Kec. Parung dengan kode pos 16330). Ternyata, di Kampus Mubarak, Penulis berjumpa dengan mahasiswa Jamiah yang berasal dari Kabupaten Indramayu juga, yaitu Syamsul Ulum. Maulana Syamsul Ulum asal Desa Terisi, Kec. Terisi kini menjadi Mubalig Daerah Banten 1.

Bahkan, menurut info Maulana Choudhry Mahmud Ahmad Cheema, H.A., Sy. Seperti disampaikan langsung kepada Penulis, tadinya ada dua mahasiswa asal Indramayu yang merupakan kakak kelas Penulis. Selain Syamsul Ulum, juga ada nama Nanang Abdurrahman. Namun karena sesuatu, Nanang pulang kampung dan tidak melanjutkan pendidikan.

So, Tuan akan Menjadi Ulama Besar he!

Selama menjalani pendidikan di Jamiah Ahmadiyah Indonesia (JAMAI) Bogor, ada kesan yang mendalam mengenai ucapan (nubuatan?) Maulana Mahmud Ahmad Cheema. Dua di antara kesan itu adalah mengenai perubahan nama dan doa oleh beliau.

Saat pertama belajar di Jamiah, Maulana Mahmud Ahmad Cheema mengumpulkan semua mahasiswa dan satu persatu menanyakan arti nama masing-masing. Bagi yang namanya bukan dari bahasa Arab, akan diberi nama tambahan/baru oleh beliau sebagai Direktur Jamiah.

Sehingga banyak nama-nama teman seangkatan yang kemudian diganti atau ditambah dengan nama bahasa Arab. Misalnya, nama Danang Prasetyo Budi, oleh Maulana Cheema dirubah menjadi Hafizurrahman. Begitu juga nama Wawan Prasetyo diganti menjadi Mohammad Idrees. Ocim Solihin menjadi Muzafar Sholihin.

Namun saat mengetahui arti dan tashrif dari nama Penulis, Maulana Cheema berkata, “Nama Tuan tidak perlu diganti he. Nama Tuan sudah bagus dan sama dengan nama Nabi Isa alias Yus Asaf.”

Kesan kedua, saat Penulis dan Syamsul Ulum lama tidak pernah pulang. Suatu saat Maulana Cheema memanggil kami berdua ke ruangannya, “So Tuan tidak rindu rumah dan kedua orang tua Tuan he?!” Akhirnya kami berdua mohon ijin untuk pulang sebentar ke Indramayu, Kamis sore dan kembali lagi Sabtu pagi.

Maulana Cheema kemudian mengambil hadiah untuk Syamsul Ulum. Bahkan, memberikan ongkos pulang kepadanya sambil titip pesan agar menyampaikan salam dari beliau untuk kedua orang tua Syamsul Ulum. Penulis pun menunggu, apakah akan mendapat hadiah dan ongkos pulang juga. Ditunggu agak lama, tak ada tanda-tanda.

“So untuk Tuan, saya tidak memberi hadiah dan uang he. Tetapi saya akan berdoa, semoga Tuan menjadi seorang Ulama Besar he. Sampaikan salam saya untuk kedua orang tua Tuan di kampung,” ujar Maulana Cheema yang ditugaskan di Indonesia sekitar 31 tahun lamanya.

Setelah berdoa, akhirnya kami berdua pun berpamitan. Dengan menggunakan angkot, Penulis menuju stasiun kereta Bogor untuk selanjutnya bertolak ke stasiun Jakarta Kota. Dengan kereta api, Penulis pun menuju kampung di Blok Kebonrandu, Desa Sekarmulya, Kec. Gabuswetan, Kab. Indramayu.

Perjalanan dari Bogor ke Indramayu ditempuh sekitar enam-tujuh jam lamanya. Penulis turun di stasiun kereta api (Staka) Haurgeulis, sekitar 25 kilometer dari rumah. Dengan jasa ojek plus berjalan kaki, Penulis pun menuju kampung halaman. (Bersambung ….)

Testimoni:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan, D.D.
Mubalig Daerah JAI Papua Barat

No Responses

Tinggalkan Balasan