Memperoleh Nur Ilahi Melalui Perantara TV | Bagian 1

Memperoleh Nur Ilahi Melalui Perantara TV | Bagian 1

Pengalaman Spiritual Menemukan Kebenaran Islam Ahmadiyah Diawali dari Menyimak Tayangan “Liqa ma’a al-‘Arab” di MTA Internasional

Memandang Wajah Suci Hudhur IV rha

Sekitar Agustus 1994, untuk pertama kalinya dapat memandang wajah suci Hadhrat Khalifatul Masih IV rha, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, H.A., B.A. langsung dari televisi. Saat itu bersama beberapa teman ditugasi untuk menjaga rumah salah seorang pejabat tingkat kecamatan di Kampung Karanganyar, Desa Sekarmulya (sekitar 3 kilometer dari rumah). Kedua teman lainnya adalah Ustad Ratim dan Ustad Nur Ikhwan alias Kawan. Memang, kami adalah “Tiga Serangkai” aktifis masjid waktu itu.

Ustad Ratim aktif di Mushala Blok Welut, Desa Gabuskulon, Kec. Gabuswetan. Ustad Kawan menjadi imam mushala di Blok Rong, Desa Sekarmulya. Sedangkan Penulis sendiri aktif sebagai Sekretaris Ikatan Remaja Masjid “Huda” di Blok Kebonrandu, Desa Sekarmulya. Pertemanan karena ikatan agama –bercorak Nahdlatul Ulama (NU)– menjadikan sangat akrab dan selalu bersama-sama.

Karena pada tahun-tahun itu belum banyak orang di Kecamatan Gabuswetan yang memasang parabola, tawaran untuk menjaga rumah itupun disambut dengan antusias. Sebab, di rumah itu telah dipasang parabola besar dengan sistem rotor (penggerak otomatis untuk mencari kanal). Selagi mencari-cari tayangan acara, muncul kanal yang menampilkan wajah penuh kharisma dengan pakaian kebesaran ala ‘Arab berwarna putih. Sosok yang berkharisma itu menggunakan bahasa Inggris, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh seorang lelaki asli Arab.

Kelak, setelah beberapa tahun kemudian, barulah Penulis mengetahui bahwa sosok itu adalah Hadhrat Khalifatul Masih IV rha, Khalifah Jamaah Muslim Ahmadiyah yang menjadi narasumber Program “Liqa ma’a al-‘Arab” di Muslim TV Ahmadiyya (MTA) International. Sebab, pada tahun 1994 itu belum ada fasilitas internet dan gawai pun belum ada sama sekali di kampung. Baru pada tahun 2012 atau 18 tahun kemudian, Blackberry Messenger (BBM) muncul dan dapat mengakses internet.

“Agama Baru” di Kampung Kebonrandu

Sejak April 1994 itu Penulis sudah bekerja di almamater SMP Negeri 1 Gabuswetan sebagai staf administrasi dan membantu Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum serta guru pengganti (invaler) dan wali kelas 2-B menggantikan Asep Taswan (Guru Olahraga) yang jarang masuk kantor karena akan pindah ke kampungnya di Setia Negara, Tasikmalaya.

Sebelum bekerja di almamater, Penulis pernah bekerja serabutan di kampung: mulai dari mengolah sawah milik keluarga hingga menjadi tenaga buruh. Bahkan, selama beberapa bulan pernah bekerja membangun gedung wallet di Kampung Tumaritis, Kecamatan Haurgeulis. Uang hasil bekerja itu kebanyakan dibelikan buku-buku agama dan kitab-kitab kuning.

Karena Penulis adalah dikenal sebagai siswa terbaik dan selalu menjadi Juara Umum sejak Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), maka banyak orang yang berharap agar Penulis dapat mengembangkan pendidikan di tanah kelahiran. Oleh sebab itu, ketika Soim Muhadir, S.Pd. melihat Penulis bekerja serabutan, akhirnya diminta untuk membantu menangani Sekolah Terbuka (kini, Satu Atap) SMP Negeri 1 Gabuswetan, Indramayu.

Penulis kemudian mendapat amanat menangani SMP Terbuka Negeri 1 Gabuswetan. Sejak saat itulah Penulis berkeliling kampung demi kampung untuk mencari anak-anak yang putus sekolah dan tidak bisa melanjutkan ke SMP. Terkumpul sekitar 200 orang anak putus sekolah yang akhirnya dibagi menjadi empat kelas. Beberapa guru SD juga dijadikan sebagai mitra menjadi Guru Bina/Guru Pamong.

Penulis saat itu mendapat fasilitas sepeda motor plat merah jenis Binter. Secara berkala, dua minggu sekali atau sebulan sekali, Penulis pulang ke rumah yang jaraknya sekitar enam kilometer dari mess di SMP Negeri 1 Gabuswetan. Saat pulang ke rumah itulah (1997), Penulis mendapat kabar bahwa ada “agama baru” yang masuk di Blok Kebonrandu dan ingin mendirikan masjid!

Karena penasaran, Penulis kemudian menanyakan kepada tetangga yang dikenal sebagai tokoh agama, yaitu Ustad Ranita. Menurutnya, agama baru itu adalah Ahmadiyah, yang akan membangun masjid di tanahnya. Lokasinya persis di sebelah barat dari rumah Penulis, sekitar 30 meter saja. Penulis yang waktu itu sudah mempelajari aliran dan sekte-sekte dalam Islam lalu menyampaikan, bahwa Ahmadiyah itu bukan agama baru melainkan hanya sebatas aliran dalam Islam.

Ustad Ranita pun kemudian memberikan beberapa buku yang katanya diberi oleh Ustad Ahmadiyah itu (saat itu Penulis lupa menanyakan namanya). Ketiga buku itu adalah “Tiga Masalah Penting”, “Bahtera Nuh” dan “Filsafat Ajaran Islam”. Beberapa hari kemudian, Ustad Ranita juga memberikan buku berjudul “Umur Dunia”. Penulis kemudian membawa buku-buku itu pulang ke mess lagi di SMP Negeri 1 Gabuswetan.

Interaksi dengan Mubalig Ahmadiyah

Selama beberapa waktu, karena kesibukan di kantor, Penulis pun seolah melupakan masalah kehadiran Ahmadiyah di Kecamatan Gabuswetan. Hanya, berbekal alamat yang ada di dalam buku-buku tersebut (PO Box 33/PRU, Bogor 16330), Penulis kemudian berkorespondensi dengan Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampus Mubarak Bogor untuk minta buku-buku terbitan lainnya. Dan, alhamdulillah, surat itu dibalas dan mendapat buku tambahan lainnya.

Hingga pada suatu pagi, saat sedang menggarap berkas di Kantor Tata Usaha, Penulis bertemu dengan seorang siswi yang baru pindah dari salah satu SMP di Kabupaten Ciamis. Kebetulan siswi itu masuk di kelas yang Penulis merupakan wali kelas penggantinya. Ketika Buku Laporan Pendidikan (Raport) dari sekolah asalnya diperiksa, ternyata profesi/pekerjaan ayahnya tertulis “Mubalig”. Saat itu Penulis menanyakan, apakah Mubalig NU, Muhammadiyah, PERSIS atau Al-Irsyad?

Siswi pindahan yang mengenakan jilbab tersebut kemudian menjawab, bahwa ayahnya adalah seorang Mubalig Ahmadiyah. Ayahnya saat ini ditugaskan di Kab. Indramayu khususnya di Desa Sukamelang, Kecamatan Kroya. Nama ayahnya, sebagaima tercantum di dalam Raport itu, adalah Ismail Firdaus. Sedangkan nama siswi pindahan itu adalah Taherani Khaeriyah Fitriyah alias “Yayang”.

Karena terkejut mendengar jawaban itu, akhirnya Penulis menyampaikan bahwa beberapa kali berkorespondensi dengan Maulana Choudhry Mahmud Ahmad Cheema, H.A., Sy. Mendengar nama yang disebutkan tadi, Yayang menjadi terkejut. “Bapak Ahmadi juga?” Saat itu Penulis agak kesulitan untuk menjawabnya.

“Bila ingin bertemu dengan ayah saya, nanti siang atau besok pagi bisa saat mengantar saya ke sekolah lagi,” ujar Yayang sambil bergegas ke ruang Kelas 2-B untuk perkenalan dan belajar perdana. Penulis saat itu mengantarnya ke kelas yang posisinya paling ujung berdekatan dengan areal pesawahan dan kantin sekolah milik Mang Taslika (Aas).

Ahmadiyah Masuk ke Dalam Diri

Besok paginya, Penulis benar-benar sengaja ingin bertemu dengan Maulana Ismail Firdaus. Di depan gerbang sekolah, pertemuan perdana itupun terjadi. Sesosok yang murah senyum ada di hadapan Penulis. Sosok itu terlihat tampak teduh dan bersahaja. Tampilannya sangat rapih meski sederhana.

“Kemarin Yayang cerita sepulang sekolah, bahwa Bapak adalah wali kelasnya dan Bapak sudah mengenal Ahmadiyah. Bahkan, Yayang menyangka Bapak adalah seorang Ahmadi.” ujar Maulana Ismail Firdaus yang mengendarai sebuah motor yang masih tampak baru itu.

“Bila Bapak ingin mengenal Ahmadiyah, silakan bisa datang ke rumah kami di Blok Koyor Desa Sukamelang. Banyak buku-buku di rumah yang bisa dibaca-baca,” ujarnya lagi sambil berpamitan akan melanjutkan aktifitasnya.

Penulis kemudian benar-benar menyambut undangan Mubalig yang pernah ditugaskan di Motoboi Besar dan Kotamobagu itu. Dengan berjalan kaki, Penulis kemudian menuju rumah kontrakan Mubalig Ahmadiyah di Blok Bedeng. Kebetulan Penulis sering main ke Blok Bedeng itu, bahkan ada teman SMA yang tinggal disana. Namanya, Iwan.

Karena sudah lama tidak berjumpa dengan Iwan juga, Penulis pun mampir ke rumahnya. Ternyata Iwan sedang mempersiapkan diri untuk mendaftar menjadi tentara (TNI). Saat Penulis bertamu ke rumahnya, Iwan dan ayahnya serta adiknya sedang ada di rumah. Sedangkan ibunya masih menjadi TKW di luar negeri.

“Ustad Ismail Firdaus itu sangat baik. Beliau mengajari anak-anak sekitar mengaji. Saya pun ikut mengaji ke beliau.” Ujar Iwan tanpa mengetahui ke arah mana pembicaraan sedang Penulis giring. “Saya dan keluarga sudah masuk Ahmadiyah melalui beliau,” akhirnya info ini muncul juga.

“Kalau mau ke rumah beliau, nanti saya antar kesana,” ujar Iwan yang kini putus kontak dan tidak diketahui lagi kabarnya, apakah sudah menjadi tentara ataukah profesi lainnya. “Rumahnya dekat saja, hanya sekitar 30 meteran dari sini.”

Sore itu, Penulis sudah ikut shalat berjemaah di rumah Maulana Ismail Firdaus. Bakda shalat dan anak-anak mengaji, Penulis kemudian mengutarakan keinginan untuk meminjam buku-buku beliau. Tampak ada dua buah lemari yang penuh dengan buku. Penulis kemudian dipersilakan memilih sendiri buku-buku yang ada. “Tapi, syaratnya, seminggu sudah harus rampung dibaca dan dikembalikan lagi untuk ganti dengan buku-buku lainnya.”

Akhirnya aktifitas peminjaman buku pun berlangsung sejak Mei 1997 hingga November 1997. Selama tujuh bulan itu, Penulis melakukan muthola’ah secara mandiri dan tanpa beban. Sekalipun Maulana Ismail Firdaus tidak pernah menabligi secara langsung.

Hingga suatu saat, ketika Penulis ingin meminjam buku lagi, beliau bilang bukunya sudah habis. “Tidak ada lagi buku yang bisa dipinjamkan. Dua lemari buku-buku Jemaat sudah habis Bapak baca semua. Jadi, kapan Bapak mau baiat?”

Dengan cepat, Penulis pun menjawab, bahwa beberapa bulan sejak membaca buku-buku Jemaat, sebenarnya Penulis sudah baiat. Maulana Ismail Firdaus nampak kaget. “Baiat melalui siapa dan dimana?” cecarnya penasaran. Penulis pun mengeluarkan fotokopian formulir Baiat. “Ohhh, ternyata baiat melalui surat dan dikirimkan langsung ke Pusat di Bogor.”

Maulana Ismail Firdaus kemudian memberikan pengertian, bahwa baiat itu harus melalui Pengurus atau Mubalig yang ditugaskan disana. Karena belum terbentuk kepengurusan dan kolom tanda tangan Mubalig juga masih kosong, beliau akhirnya menandatanganinya. “Form fotokopian ini nanti saya kirimkan lagi ke Pusat,” ujar ayah dari Rafiq Ahmad (Afiq), Syarif Hidayat Al-Haqqy (Eky) tersebut.

No Responses

Tinggalkan Balasan