Masroor Library – “Jangan merasa sudah sempurna jadi orang Surabaya, orang Solo, orang Makassar, orang Palembang, orang Padang, orang Manado, orang Aceh, orang Barnjarmasin, orang Jayapura, jika tak pernah tahu asal-usul nama kotanya!”
I. TOPONIMI DALAM KAJIAN SEJARAH
KETIKA mengulik sejarah Kerajaan Tanah Hitu, Kerajaan Banten, Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Pakuan Pajajaran, Penulis menemukan banyak sekali perubahan toponimi. Toponimi adalah ilmu yang mengkaji mengenai pemberian nama terhadap suatu tempat atau lokasi. Biasanya nama-nama tempat atau lokasi berdasarkan sejarah yang pernah terjadi disana atau peristiwa yang melingkupinya. Termasuk, jenis tumbuhan dan hewan yang banyak terdapat disana (endemik).
Ketika melakukan kunjungan ke Pulau Saparua di Maluku Tengah pada 2019 lalu, Penulis mendapati bahwa nama asli Pulau yang merupakan asal Kapitan Pattimura tersebut sebenarnya adalah “Sopanorua”. Karena terjadi pengucapan yang berlangsung lama, kemudian berubah menjadi Saparua. Arti kata itu sendiri adalah “dua perahu”: Sopano (perahu) dan rua (dua). Kata Sopano juga mirip dengan kata sampan atau safinah (A., perahu).
Begitu juga ketika mengunjungi Negeri Hila di Maluku Tengah. Negeri baru pemekaran dari Negeri Hitu itu dulunya adalah daerah kosong di bawah perbukitan dan tepi pantai, namun secara berangsur kemudian menjadi pemukiman padat penduduk. Sejak abad XV, Portugis dan Belanda juga telah menjadikan Hila sebagai lokasi gudang (loji) rempah-rempah mereka. Hila sendiri merupakan akronim Hitu Lama atau Hela.
Ketika menelusuri jejak Kesultanan Banten di Surosowan, Serang, beberapa nama rusak muncul dalam sejarah modern. Nama-nama itu di antaranya Telaya dan Sempu. Ternyata, setelah digunakan Toponimi, maka diketahui, bahwa Telaya adalah penyebutan yang sudah rusak dari Tirtalaya. Sedangkan Sempu, adalah nama baru dari Empu. Keduanya adalah nama lokasi sejarah dulu.
Artinya, penyebutan nama-nama lokasi atau jalan terkadang mengalami perubahan. Namun, setelah ditelusuri menggunakan Toponimi, kesemua nama itu bisa dikembalikan sesuai dengan peristiwa sejarahnya. Begitu juga dalam tulisan ini, beberapa nama tempat juga akan dikaji berdasarkan Toponimi sehingga akan menjadi jelas arti dan hubungannya, antara satu tempat dengan tempat yang lainnya.
II. PAKUAN PAJAJARAN: SEJARAH KERAJAAN HINDU DI JAWA BAGIAN BARAT YANG MULAI TERLUPAKAN
Berdasarkan catatan sejarah, di Jawa bagian Barat pernah ada Kerajaan Sunda yang berlangsung selama sekitar enam abad (IX-XVI), yaitu dari 932 hingga 1526. Meskipun nama-nama Kerajaan Sunda itu berubah-ubah, tetapi dikenal sebagai Kerajaan Sunda Hindu: Tarumanagara, Galuh, Pakuan. Selain Raja Purnawarman, Raja Pamanah Rasa Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata alias Prabu Siliwangi juga dikenal sebagai Raja yang hebat pada masanya.
Meskipun ada beberapa teori yang memisahkan Kerajaan Sunda di Pakuan dan di Wahanten Girang. Namun, yang jelas, di tiap tempat memang ada Kerajaan-kerajaan Sunda kecil. Sama seperti sebelum dipindahkan ke Pakuan (Bogor), ibukota Kerajaan Sunda Galuh masih berada di Kawali, Ciamis. Pada masa itu juga ada beberapa kerajaan Sunda lainnya. Prabu Siliwangi sendiri ditahbiskan menjadi Raja Kerajaan Pakuan Pajajaran pertama dengan ibukota di Pakuan (Bogor) pada 3 Juni 1482.
Beberapa penulis asing menyebut, bahwa pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi, Kerajaan Hindu Sunda atau Pakuan Pajajaran mengalami puncak kegemilangannya. Berdasarkan prasasti Batutulis Bogor, diketahui bahwa Prabu Jayadewata diprabukan (sraddha) oleh putranya setelah 12 tahun kewafatannya. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke-10 pemerintahan Raja Surawisesa atau tahun 1531. Sebab, Prabu Siliwangi wafat pada 1521. Dua tahun setelah acara sraddha tersebut, Istana Pakuan Pajajaran diserang oleh Kesultanan Banten, 1533.
Selama 39 tahun diperintah oleh Prabu Jayadewata (1482-1521), Kerajaan Sunda Pajajaran berkembang menjadi kerajaan besar dan makmur. Hal itu diakui oleh bangsa-bangsa asing, dari catatan para pelancong Eropa terutama Portugis, Inggris dan Belanda serta Arab. Tome Pires yang mengunjungi ibukota Kerajaan Pajajaran di Pakuan (Bogor) menuliskan bahwa istana Pakuan sangat megah, dijangkau sekitar dua jam dari Kelapa (Jakarta) melalui Tonjong, Kedunghalang tembus ke Batutulis lewat Lawang Gintung.
Beberapa kemajuan itu tercermin dari upaya Prabu Siliwangi dalam bidang pemerintahan dan pembangunan. Misalnya, tidak memungut pajak dari rakyat dan memperbagus sarana transportasi serta membangun pabrik gula di beberapa lokasi. Inilah yang dicantumkan dalam prasasti elegi Batutulis yang terkenal itu, yang memuat 9 baris dalam huruf Jawa kuno dan bahasa Sunda Kuno.
Dalam masa pemerintahan Prabu Siliwangi juga membangun hutan lindung atau hutan larangan yang disebut hutan Samida. Dulu, luasnya mencapai ratusan hektar mencakup beberapa kawasan mulai dari Kebun Raya Bogor hingga sekitarnya. Hutan ini berfungsi sebagai benteng pertahanan di bagian depan Kerajaan. Siapapun yang akan masuk ke ibukota Pakuan Pajajaran harus melewati hutan ini. Kerajaan Pajajaran menempatkan pemanah jitu di atas pepohonan di hutan Samida ini.
Prabu Siliwangi juga membangun telaga atau danau yang disebut Mahawira. Di beberapa lokasi lainnya dibuat bukit-bukit dan parit-parit pertahanan. Jalan-jalan juga diperkeras (ngabalay) dengan batu-batu mirip tegel. Ada juga hutan buah-buahan, yang dalam bahasa Sunda disebut sebagai Tajur, namanya Tajur Ageung. Kini namanya tetap bertahan sebagai Tajur, yaitu lokasi yang menghubungkan Baranangsiang dengan Ciawi. Disanalah dulu Raja dan keluarga biasa bersantai sambil menikmati buah durian, yang pohonnya berjajar sepanjang jalan.
III. TOPONIMI DI SEKITAR KAMPUS MUBARAK: MENGAITKAN NAMA TEMPAT DENGAN PERISTIWA YANG TERJADI
Membaca nama-nama tempat di Bogor, ada beberapa nama yang merupakan nama kuno peninggalan ratusan tahun lalu. Meskipun nama-nama itu sudah berubah bentuk pengucapan dan penulisannya, tetapi bila ditelusuri dengan Toponimi, makan akan diketahui arti dan sejarahnya. Oleh sebab itu, Toponimi ini biasanya dipergunakan sebagai alat bantu kajian Sejarah dan Pariwisata terutama untuk mengetahui arti nama-nama jalan.
Untuk di Bogor sendiri, pada masa masih dikenal sebagai Buitenzorg atau rumah peristirahatan pejabat Belanda, nama-nama jalan dan tempat mennggunakan bahasa Belanda. Ada nama Jan Pieterszoon Coen weg, ada nama Helena weg, dan nama-nama khas Belanda lainnya. Ketika dilakukan pembangunan jalan utama pos (Groote Post Weg) yang melalui Ciluar Bogor menuju Panarukan (Jawa Timur), nama-nama lokal pun berubah penyebutannya mengikuti ejaan Belanda. Misalnya, Kedunghalang menjadi Kedong Allang, Ciluar menjadi Sillooar, dan lain-lain.
Berikut ini adalah penjelasan nama-nama kuno yang masih bertahan hingga kini dan hubungannya dengan sejarah Kerajaan Sunda Pajajaran:
Tags:
Related Posts
Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara
Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar | Menelisik Jejak Pakuan Pajajaran dan Toponimi Lokasi di Sekitar Kampus Mubarak
Mengenal Sosok IPDA La Udin | 19 Tahun NIkmati Tugas di Pedalaman Lembah Moskona
Menelusuri Jejak Polisi Belanda di Papua | Kapita Selekta Perkembangan Jumlah Personel dan Kegiatan Kepolisian di Tanah Papua pada Masa Belanda (1920-1962)
No Responses