Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar

Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar

Bahan dasar yang dipakai sebagai medium penulisan manuskrip ini adalah daun lontar. Berdasarkan bahan penulisannya, bisa dipastikan bahwa lokasi penulisannya berada di suatu kawasan yang banyak tumbuh pohon lontar atau siwalan. Kawasan tepi pantai dan perbukitan adalah lokasi yang cocok sebagai tempat tumbuhnya jenis pohon ini.

Manuskrip ini memiliki ukuran panjang 100 cm dan lebar 60 cm. Dengan jumlah lembaran sebanyak 36 buah termasuk sampul depan dan belakang, ketebalannya hanya 5 centimeter. Jumlah tiap lembar memiliki 43 daun rontal berukuran lebar antara 2,3 hingga 2,5 centimeter. Adapun beratnya mencapai sekitar 3 kilogram.[8]

Penulis dan lokasi penulisannya hingga kini belum dapat diketahui dengan pasti. Namun, berdasarkan kebiasaan yang umumnya sudah diketahui, manuskrip jenis ini berasal dari Jawa Tengah atau Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui dari hasil membandingkannya dengan manuskrip sejenis lain yang ada. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam penulisan, tetapi pada umumnya masih dianggap sama.

Bila kita membandingkan dengan manuskrip lain yang tersimpan di Museum Gusdijenang di Muria Kudus (Jawa Tengah) atau manuskrip milik Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. yang ada di Perpustakaan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, maka manuskrip Al-Qur’an “Imiselinos” ini terbilang masih lebih baik. Sebab, penulisannya konsisten dengan memanfaatkan bidang lembar yang tersedia (justify text), meskipun ada beberapa lembar yang penulisannya simetris (center text).[9]

Karakteristik Manuskrip Codex Gigas Al Quran Imiselinos.

Beberapa karakteristik yang menonjol dari Manuskrip Al-Qur’an lontar ini adalah tulisan pada lembar lontar hanya berisi satu baris. Ini jelas berbeda dengan manuskrip lontar lainnya yang tiap lembar daun berisi 2-3 baris tulisan. Sangat sulit mencari tulisan tunggal pada lembar lontar yang harganya memang relatif mahal. Iluminasi sederhana terdapat pada lembar pertama dan kedua halaman 3 dan 4 dan lembar 33 halaman 65 dan 66.

Surat Al-Fatihah dan Al-Baqarah awal dan Surah Al-Falaq dan Al-Naas memiliki iluminasi segi empat kotak dan perisai bermotif floral (sulur tumbuhan). Iluminasi itu membentang dari lembar daun ke-11 bagian atas hingga lembar ke-32 bagian bawah.

Karakteristik lainnya yang cukup menonjol adalah konsistensi bentuk tulisannya. Sementara tulisan pada manuskrip sejenis lainnya terlihat “biasa-biasa” saja alias asal-asalan, untuk tulisan pada manuskrip ini terlihat sangat profesional. Padahal, sangat sulit untuk menulis di lembar daun lontar yang telah disatukan menjadi lembar berukuran 100 x 60 cm.

Bila lembaran itu diletakkan di atas meja, tentu saja saat menulis di bagian atas akan mengalami kesulitan. Begitu juga apabila lembaran itu digantung di dinding, tidak ada alas untuk mendapatkan tekanan saat menggunakan _pengrupak_ (pangot, alat tulis logam). Konsekuensinya, tentu saja goresan tulisan menjadi tidak akan nampak.[10]

Perhitungan Material Perbuatan Naskah

Bila dihitung secara material dan menggunakan harga saat ini, maka Manuskrip Al-Qur’an Daun Lontar ini menghabiskan bea penulisannya sekitar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Itu terdiri dari bea pengadaan daun lontar, perkiraan konsumsi dan jasa penulisan.

Bila dalam tiap lembar halaman ada 43 lembar daun lontar, maka akan ada sebanyak 1462 lembar. Oleh karena bahan daun lontar itu kini memiliki harga Rp 10.000,- untuk ukuran lebar 2,5 cm dan panjang 50 cm, maka total harga yang dikeluarkan sebesar Rp 14.620.000,-

Maka tidak mengherankan, bila pada masa lalu, hanya orang tertentu yang dapat membuat naskah tulisan tangan. Apalagi, bila bea konsumsi selama proses pembuatannya juga dihitung. Bila diperkirakan naskah itu ditulis selama 68 hari, artinya memerlukan sedikitnya Rp 2.040.000,- (dua juta empat puluh ribu rupiah). Bila menggunakan jasa penulis dan tidak dikerjakan sendiri, maka akan keluar anggaran lagi sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).

Jadi, jumlah keseluruhan bea yang dikeluarkan untuk penulisan manuskrip ini diperkirakan menghabiskan antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Sedangkan bila dihitung berdasarkan panjang lembaran daun lontar bila disambung-sambung, maka panjangnya akan mencapai sekitar 1000 meter (satu kilometer). Ini merupakan hasil dari perhitungan panjang tiaplembar daun lontar (60 cm) dikali jumlah keseluruhan lembar daun lontar sebanyak 1462 daun. Itu artinya, Manuskrip Al-Qur’an ini bila ditarik tiap lembaran daunnya mulai dari Kampus Mubarak Kemang maka akan mencapai SPBU Jampang, Parung.

Penutup

Kajian Filologi dan Kodikologi terhadap Manuskrip Codex Gigas Al-Qur’an “Imiselinos” ini sangat menarik dilakukan. Meskipun awalnya tidak ada data sama sekali, namun setelah menelisiknya secara Filologi dan Kodikologi, maka akan muncul data-data yang terkandung di dalamnya. Bahkan, untuk nama penulis manuskrip pun akan diketahui termasuk perkiraan lokasi pembuatannya.

Mencermati hasil tekanan alat tulis berupa jarum logam atau pengrupak (pangot) pada lembar daun lontar, itu diperlukan kesabaran dan ketelitian. Namun, tampaknya memang penulis manuskrip itu adalah seorang yang telah terbiasa melakukan hal itu. Dari goresan yang ada itu menunjukkan bahwa penulisnya adalah seorang yang profesional.

Akhirnya, Manuskrip Codex Gigas Al-Qur’an “Imiselinos” ini akan menjadi obyek kajian Filologi dan Kodikologi yang sangat penting. Oleh sebab itu, sebagai sarana preservasi diperlukan wadah penyimpanan yang memadai berupa lemari kaca dan kelengkapan lainnya.[]

Ditulis Oleh;
Dr. Rakeeman R.A.M Juman

*Catatan:*

*) Selesai ditulis pada Senin, 10 Februari 2025 pkl. 16:45 WIB di Rumah Dinas “DAAR EL-JUMAAN” Kemang, Bogor.

**) Penulis merupakan Waqif Zindegi (Mubalig) Jemaat Ahmadiyah Indonesia (sejak 2003 hingga sekarang) yang diberi amanat sebagai Dosen Ilmu Perbandingan Agama & Bahasa Farsi dan Naib Principal Bidang Akademik Jamiah Ahmadiyah Internasional Indonesia Bogor, Jawa Barat. Penulis juga adalah Pendiri/Direktur dan Pengulik pada Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku.

SUMBER RUJUKAN:

[1] Keluarga Imansyah R. Taruno kini tinggal di Kayumanis, Tanahsareal, Kota Bogor (Jawa Barat).

[2] Lihat makalah ringan Penulis yang berjudul Sinurat Ring Merega: Menelisik Toponimi dan Jejak Empat Sosok Cendekia Agama yang Pernah Berada di Samida Sri Manganti Kerajaan Pajajaran di Cikuray (1518, 1865, 1904, 2000) dan Hubungannya Dengan Eksistensi SMA Plus Al-Wahid Tenjowaringin, Tasikmalaya, 2024.

[3] Kata “Imiselinos” (Ημισέληνος) berasal dari bahasa Yunani, artinya Bulan Sabit alias Hilal. Kata ini dipergunakan untuk menyebut nama lambang bendera Turki yang dikatakan menjiplak dari lambang Hellenistic dari koin Byzantium, 100 sM.

[4] Prof. Dr. H. Oman Fathurahman, M.Hum., Filologi Indonesia: Teori dan Metode, (Jakarta: Kencana, Cet. IV, Juni 2021), hlm. 11 dan 65.

[5] Perubahan tersebut sangat mengganggu karena merubah arti yang dikehendaki oleh Penulis, yaitu Hujjat al-Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali al-Thusi.

[6] Lihat, Muhammad Idrus bin Muhammad Syaikh Nurbatin dalam makalah Qiraat, Riwayat, Thariq dan Wajh Al-Qur’an Tua Maluku (Kajian Naskah Klasik Al-Qur’an dan Ijazah Riwayat Hafsh ‘an Ashim), Maluku: t.p., t.t.

[7] Prof. Dr. Hj. Titik Pudjiastuti, M.Hum., Naskah dan Studi Naskah, (Bogor: Akademia, Cet. I, 2006), hlm. 2-43.

[8] Manuskrip Codex Gigas “Imiselinos” ini memiliki bobot yang cukup ringan karena medium penulisannya daun rontal (lontar).

[9] Bandingkan dengan manuskrip Al-Qur’an dengan medium tulis sejenis yang terkadang asal-asalan atau tidak rapi.

[10] Karena daun lontar atau nipah atau gebang memiliki serat yang cukup kasar, alat tulis logam berupa pengrupak alias pangot pun kadang tidak mulus saat dipakai menuliskan di atasnya. Perlu tenaga kuat untuk membuat tekanan saat menulis di atasnya. ®

No Responses

Tinggalkan Balasan