Teminabuan dan Inanwatan dari Masa ke Masa

Teminabuan dan Inanwatan dari Masa ke Masa

Sebuah lonceng gereja kemudian dibawa dari Inanwatan ke Kampung Waren di Ransiki (Manokwari Selatan). Selama beberapa waktu lonceng besi itu dipergunakan Jepang sebagai tanda jam kerja sebelum akhirnya dibawa ke Biak dan menjadi lonceng gereja kembali. Setelah 79 tahun kemudian, lonceng gereja itu pun dikembalikan ke Inanwatan dan dipasang kembali di gereja GKI Bethel Inanwatan.

Meskipun keberadaan Jepang hanya “seumur jagung” tetapi terkadang ada peninggalan nama-nama yang identik dengan bahasa Jepang. Di Moswaren sendiri ada nama kampung Hararo dan Kamisabe serta Yohsiro. Di Kokoda, ada juga nama-nama yang mirip bahasa Jepang, yaitu Korewatara dan Migori.

TEMINABUAN DAN INANWATAN PASCA PERANG DUNIA II

Tujuh tahun setelah Perang Pasifik usai, orang-orang Inanwatan banyak yang pindah ke Sorong dan bekerja di Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Mereka ditempatkan di Klamono ataupun Kasim, Wasian dan Jeflio. Dampak Perang Dunia II yang terjadi di kawasan Kepala Burung bagian selatan, berangsur pulih.

Di Teminabuan, 15 tahun setelah Perang Dunia II, mulai dibangun jalan tembus dari Ayamaru. Jalan yang melewati Kampung Waren itu difungsikan sebagai sarana transportasi khususnya untuk mengangkut hasil perkebunan kopi yang ada Moswaren. Sebab, sebelum dan sesudah Perang Pasifik, Belanda membuka perkebunan kopi disana.

Hingga tahun 1990, barang peninggalan perkebunan kopi itu masih bisa dilihat. Sayangnya, sebagaimana di lokasi lainnya ada tangan-tangan jahil, di Moswaren juga akhirnya jejak peninggalan Belanda itu hilang karena ulah tangan-tangan jahil tersebut. Menurut informasi warga Moswaren, dulu sempat melihat alat berat, senapan anti-aircraft yang besar dan juga semacam kerangkeng besi.

Pada 1994, sekitar 200 orang Jawa ditempatkan di Moswaren. Mereka disebar menjadi dua satuan pemukiman atau SP, yaitu di SP 1 dan SP 2. Karena datangnya dari arah Ayamaru, maka lokasi SP 1 terletak di bagian yang ke arah Ayamaru, sedangkan SP 2 di bagian ke arah menuju Teminabuan.

Jaab Timer menulis demikian dalam makalahnya, A Bibliographic Essay on the Southwestern Kepala Burung (Bird’s Head, Doberai) of Papua, “Just outside the Teminabuan sub-district, in the subdistrict of Aitinyo there is a so-called transmigration site in Moswaren where around two hundred Javanese attempt to make a living.”

Selain orang-orang Jawa, kini orang-orang Bugis, Buton dan Makassar atau dikenal dengan singkatan BBM juga mulai menempati kawasan sekitar Teminabuan. Begitu juga orang-orang dari Manado dan Toraja, mulai mengisi di kantor pemerintahan. Sebagian kecil orang Batak juga menjadi guru.

Adalah menjadi suatu kebiasaan di kawasan Timur ini, bahwa terkadang nama-nama tempat merupakan singkatan atau akronim dari beberapa nama. Misalnya, di Kota Sorong ada nama HBM yang merupakan kependekan dari Holland Beton Maatschappij. Ada juga UT (dibaca Yu-Ti) di Kilo 13 yang berasal dari United Tractors.

Di Ayamaru, Maybrat, kita kenal juga nama Fategomi yang merupakan singkatan dari nama beberapa kampung. Kampung baru itu terdiri dari empat nama, yaitu Faan, Tehak, Gohsames dan Mirapan. Ini merupakan kampung awal dimana roda pemerintahan pernah dijalankan disana. Oleh sebab itu, dengan alasan sejarah tersebut, Fategomi layak diusulkan menjadi ibukota Kabupaten.

Di kawasan Beraur (Berau) yang mencakup kampung Suku Kokoda, ada nama Nebes. Kampung Nebes merupakan singkatan dari Negeri Besar. Negeri Besar sendiri telah mengalami beberapa kali pemekaran sehingga memunculkan banyak kampung baru lagi. Bahkan, kini sudah menjadi Distrik Kokoda dengan ibukota di Kampung Tarof.

TOLERANSI BERAGAMA DI ANTARA SUKU IMEKKO

Secara statistik, jumlah pemeluk agama Islam di Teminabuan ada sebanyak 18,31% sedangkan di Inanwatan sebanyak 0,79% dari seluruh penduduk di Kab. Sorong Selatan. Sedangkan Kristen Protestan sebanyak 16,10% (Teminabuan) dan 12,20% (Inanwatan). Untuk Katolik, ada sebanyak 1,61% (Teminabuan) dan 0,00% (Inanwatan).

Pemeluk Islam terbanyak terdapat di Distrik Teminabuan dan Distrik Kokoda. Pemeluk Kristen terbanyak terdapat di Inanwatan, Seremuk, Kais, Wayer dan Sawiat. Bahkan, di Sawiat 100% penduduknya beragama Kristen. Untuk Katolik, hanya terdapat di Teminabuan dan Moswaren. Secara umum, jumlah Kristen ada sebanyak 64,67%, Katolik (2,19%) dan Islam (33,14%).

Meski terdapat perbedaan agama di antara Suku-suku (Imyan, Tehit), Inanwatan, Matemani, Kais dan Kokoda, tetapi tidak menghalangi mereka untuk tetap bersatu. Sebab, dalam satu suku bahkan satu rumah, kadang terdapat anggota keluarga dengan agama yang berbeda. Oleh sebab itu, sebutan IMEKKO seolah mempersatukan mereka.

Begitu juga, saat perayaan hari besar agama. Semua warga berbaur dan saling bantu-membantu tanpa memandang latar belakang agama. Bahkan, berbagai denominasi dan aliran keagamaan yang ada, saking bahu-membahu mensukseskan acara tersebut. Ketika yang beragama Islam sedang merayakan Idul Fitri atau Idul Adha, yang beragama Kristen/Katolik yang menjadi panitianya.

Begitu pun sebaliknya. Saat warga yang beragama Kristen/Katolik sedang merayakan hari besar agamanya, seperti Paskah atau Natal, maka yang beragama Islam yang menjadi panitianya. Sungguh suatu pemandangan yang sangat indah dan menjadi model akan toleransi beragama yang sesungguhnya.

Meskipun pada awalnya seolah ada segregasi berdasarkan agama, terutama karena motif pekabaran Injil yang datang belakangan memandang Islam dengan pandangan penuh stereotip, namun dalam perkembangan berikutnya, semuanya bisa bersatu dalam wadah keluarga besar IMEKKO. Hubungan antar agama, terjalin dengan begitu baiknya disini. []

Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)

Catatan:
*) Selesai ditulis pada Jumat, 18 November 2022 pkl. 05:56 WIT di rumah keturunan generasi ketiga Raja Besi (Barry) Thesia di Kampung Wermit, Distrik Teminabuan, Kab. Sorong Selatan (Papua Barat).
**) Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial-Enterpreneur dan Kemanusiaan yang juga Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI). Tinggal di Manokwari, Papua Barat.

No Responses

Tinggalkan Balasan