19 TAHUN DITUGASKAN DI DISTRIK MERDEY KAB. TELUK BINTUNI
Distrik Merdey, Kab. Teluk Bintuni pada tahun 2000-an tentulah belum sebaik dan sebagus seperti sekarang ini. Saat itu Teluk Bintuni masih berstatus sebuah Distrik dari Kab. Manokwari. Tentu saja sarana dan prasarana belum selengkap dan sebaik saat ini. Apalagi Merdey, saat itu baru sebatas Kampung. Membayangkan Merdey sekitar 20 tahun lalu, adalah seperti yang diungkapkan oleh Pater Dr. Jan Boelaars, M.S.C. seperti dikutip pada awal tulisan ini.
“Kekurangan sarana-sarana perhubungan yang nyata (memang ada pesawat-pesawat terbang, tetapi tidak ada jalan-jalan) membuat komunikasi daerah-daerah pesisir dengan daerah-daerah pedalaman menjadi sulit dan mahal. Isolasi ini belum didobrak secara definitif. Hidup di daerah pedalaman sudah sulit bagi orang-orang dari daerah lain di Irian yang lain, apalagi bagi orang-orang dari pulau yang lain. Hal itu memang dan tetap merupakan suatu tugas yang besar bagi mereka, yang toh mau memikirkannya, dapat dipandang sebagai suatu beban tersendiri.”
Selama 19 tahun bertugas di lokasi yang seolah terisolir dari dunia luar adalah sesuatu yang sangat membanggakan. Penulis sendiri telah sampai ke Lembah Moskona itu, khususnya di Distrik Merdey dan Distrik Biscoop, Kab. Teluk Bintuni. Meskipun telah berlalu 20 tahun lalu, kawasan ini masih sulit untuk dijangkau. Selain jalanan yang terkadang rusak parah, juga biaya kendaraan kesana terbilang mahal.
Apalagi, sampai setahun lalu, Kali Meyof yang menghubungkan kawasan luar dengan Distrik Merdey dan Distrik Biscoop belum memiliki jembatan. Satu-satunya sarana transportasi adalah dengan naik rakit yang tarifnya lumayan tinggi. Memang betul, menurut Pater Jan, bahwa pesawat pun sudah melayani penerbangan ke Distrik Merdey dari Manokwari. Namun, bagi masyarakat biasa, tentu saja masih tidak terlalu penting keberadaannya.
Jalur transportasi darat memang kini sudah terhubung dari Kota Bintuni ke Distrik Merdey. Namun selepas dari Distrik Tembuni, jalanan menuju Distrik Merdey pun masih sulit dilalui. Jalanan milik perusahaan kayu itu belum diaspal, hanya menggunakan bebatuan (coral), sehingga untuk kendaraan roda kecil akan terasa kesulitan. Terbukti, bangkai sebuah sepeda motor masih teronggok di pinggir jalan arah ke Distrik Merdey. Seolah itu menjadi pengingat, bahwa motor matic ataupun berpersneling dengan roda kecil, tidak akan mampu lewat jalur itu.
“Dulu kami berhari-hari harus jalan kaki bila hendak turun ke Kota Bintuni. Terkadang kami menginap di suatu lokasi, sambil menunggu pagi. Tapi kini, kendaraan sudah bisa melintas dari sini ke Kota Bintuni,” ucap Kepala Distrik Merdey, Yustina Ogoney, saat penulis berada di Distrik Merdey selama empat malam. “Meski perlu perjuangan, tetapi waktu tempuh kini menjadi berkurang. Kini hanya dengan dua-tiga jam saja sudah bisa tiba di Kota Bintuni. Tetapi, ongkosnya memang masih lumayan tinggi.”
Untuk penerangan listrik pun baru belakangan ini bisa dinikmati. Saat Penulis berada di Distrik Merdey, listrik hanya menyala pada malam hari alias 12 jam saja. Pada siang hari, listrik sama sekali tidak menyala. Terpaksa dicari alternatif lain, semisal panel surya atau menggunakan daya aki (accu). Bahkan, menurut info rekan guru yang pernah ditugaskan di Distrik Merdey, pada 2015 lalu, listrik dari jenset hanya menyala hingga pukul sembilan malam saja.
Udara dingin yang mencucuk tulang meski hari telah siang. Kabut tebal yang sering menghalangi pandangan, seolah menjadi hal biasa bagi warga pribumi di Distrik Merdey. Namun, tidak demikian halnya bagi pendatang atau orang yang baru pertama berada disana. Semua itu awalnya akan menjadi hambatan tinggal disana. Tidak terkecuali dengan IPDA La Udin saat masih ditugaskan di Distrik Merdey. Namun demikian, lelaki yang ramah dan murah senyum itu telah melewati waktu 19 tahun disana.
“Bilang saja nama saya bila ada di Merdey, pasti semua orang tahu,” tantang ayah dari beberapa putra dan putri tersebut. Memang, siapa tidak kenal La Udin di Merdey. 19 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Itu artinya, hampir dua dasawarsa beliau berada di Lembah Moskona itu. Anak-anak yang lahir pada 19 tahun lalu, tentu kini telah menjadi remaja dan dewasa. Di antara mereka mungkin juga ada yang bercita-cita ingin menjadi polisi seperti La Udin. Semoga!
Dan, benarlah apa yang telah ditulis 37 tahun lalu oleh Pater Dr. Jan Boelaars, M.S.C. seperti dikutip di atas, “Hal itu memang dan tetap merupakan suatu tugas yang besar bagi mereka, yang toh mau memikirkannya, dapat dipandang sebagai suatu beban tersendiri.” []
Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan*)
CATATAN:
*) Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Jakarta.
**) Selesai ditulis pada Kamis, 22 Juni 2023 pkl. 21:45 WIT di Arfai 2, Manokwari, Papua Barat. tulisan ini untuk menyongsong Hari Bhayangkara ke-77, 1 Juli 2023.
Related Posts
Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar
Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara
Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar | Menelisik Jejak Pakuan Pajajaran dan Toponimi Lokasi di Sekitar Kampus Mubarak
No Responses