“Siyam dumuginipun Bakda Riyadi tanggal 1 Sawal ingkang laminipun 11 dintên ngantos tanggal 8 Sawal ingkang ugi dipun wastani Lêbaran Kupat punika kintên-kintên mula bukanipun nêlad saking karameyan ing jaman Majapahit wau.”
TRADISI NGABEKTEN DI KELUARGA
Awal tahun 1970 dan akhir tahun 1980, di keluarga besar Sambran –yaitu kakek Penulis dari garis Ayah– masih berlangsung tradisi yang unik. Dibilang unik, karena tidak semua keluarga di Indramayu melaksanakan tradisi ini. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan, apakah keluarga Ayah asli dari Indramayu ataukah pendatang ?
Pertanyaan ini wajar muncul, sebab tradisi itu tidak umum dilaksanakan di Indramayu. Tradisi yang dimaksud adalah yang dikenal dalam tradisi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Ngabekten. Jenis tradisi apakah itu ? Mengapa di Indramayu, tradisi ini dianggap tidak umum alias tidak ada. Jarang sekali atau mungkin saja tidak ada sama sekali keluarga lain yang melestarikan tradisi ini.
Pada saat berkunjung ke rumah nenek dan kakek dari pihak ayah, Penulis harus memberi salam sejak di depan pintu rumah. Lalu, masuk ke dalam ruang tamu dengan bersimpuh (ngesot) mendekati kakek-nenek yang biasanya duduk di kursi ruang tamu, bagian paling ujung dari ruangan itu. Beberapa tokoh pewayangan digantung di dinding bagian belakang mereka.
Setelah berada di depan kakek-nenek kemudian Penulis melakukan sungkem dan ada ucapan yang disampaikan dalam bahasa Jawa halus dan bukan dalam bahasa Jawa Dermayonan. Penulis dan yang lain kemudian duduk bersila di lantai, sementara kakek-nenek tetap duduk di “kursi kebesaran”. Usai tradisi itu, kemudian anak-anak kecil bermain di teras dengan bebas.
TRADISI LEBARAN KUPAT DALAM MANUSKRIP KUNO
Ternyata, tradisi semacam itu telah dibahas dalam manuskrip kuno. Adalah Kanjeng Raden Adipati Aria Krama Djaja Adhinegara yang menceritakannya dalam manuskrip Bakda Riyadi: Satunggaling Adat Kina (꧋ꦧꦏ꧀ꦢꦫꦶꦪꦢꦶ꧇ꦱꦠꦸꦁꦒꦶꦭꦶꦁꦲꦢꦠ꧀ꦏꦶꦤ). Mantan Adipati Majakerta (Mojokerto) pada masa Belanda itu menuliskan secara rinci sejarah dilaksanakannya tradisi Siyam (Puasa), Bakda Riyadi (Idul Fithri) dan Ngabekten (Sungkeman).
Menurut pencetus lembaga Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (OVM) Mojokerto bersama arkeolog Belanda Ir. Henry MacLine Pont itu –yang kemudian menjadi Museum Trowulan–, bahwa Lebaran Kupat meniru tradisi Kerajaan Majapahit, yaitu Nyadran dan Sraddha. Baik dari segi waktu maupun substansi acaranya hampir mirip.
Bila Sraddha dilaksanakan setelah 12 tahun, maka Lebaran Ketupat juga dilaksanakan setelah 11 hari. Lebaran Kupat biasanya dimulai sejak 21 Ramadan hingga 1 Syawal. Lalu, dari 2-8 Syawal dilangsungkan proses tradisi tadi. Keduanya dirayakan dengan hampir sama, yaitu dalam bentuk keramaian (kerameyan).
Secara lebih lengkap, K.R.A. Djaja Kramadjaja Adhi Negara menyebutkan sebagai berikut:
꧋ꧏꦗꦭꦫꦤ꧀ꦱꦏꦶꦁꦕꦫꦶꦪꦺꦴꦱ꧀ꦏꦱꦼꦧꦸꦠ꧀ꦲꦶꦁꦔꦶꦁꦒꦶꦭ꧀ꦮꦲꦸ꧈ ꦏꦁꦗꦼꦁꦫꦢꦼꦤ꧀ꦲꦢꦶꦥꦠꦶꦲꦫꦾꦏꦿꦩꦗꦪꦢꦶꦤꦒꦫ꧈ ꦧꦸꦥꦠꦶꦥꦼꦤ꧀ꦱꦶꦪꦸꦤ꧀ꦲꦶꦁꦩꦗꦏꦼꦂꦠꦭꦗꦼꦁꦏꦒꦸꦔꦤ꧀ꦥꦩꦁꦒꦶꦃꦧꦶꦭꦶꦃꦮꦺꦴꦤ꧀ꦠꦼꦤꦶꦥꦸꦤ꧀ꦏꦫꦩꦼꦪꦤ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦢꦶꦥꦸꦤ꧀ꦮꦶꦮꦶꦠꦶꦲꦶꦁꦠꦁꦒꦭ꧀ ꧇꧒꧑꧇ ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦱꦶꦪꦩ꧀ꦢꦸꦩꦸꦒꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀ꦧꦏ꧀ꦢꦫꦶꦪꦢꦶꦠꦁꦒꦭ꧀ ꧇꧑꧇ ꦱꦮꦭ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦭꦩꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀ ꧇꧑꧑꧇ ꦢꦶꦤ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦔꦤ꧀ꦠꦺꦴꦱ꧀ꦠꦁꦒꦭ꧀ ꧇꧘꧇ ꦱꦮꦭ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦲꦸꦒꦶꦢꦶꦥꦸꦤ꧀ꦮꦱ꧀ꦠꦤꦶꦊꦧꦫꦤ꧀ꦏꦸꦥꦠ꧀ꦥꦸꦤꦶꦏꦏꦶꦤ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦏꦶꦤ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦩꦸꦭꦧꦸꦏꦤꦶꦥꦸꦤ꧀ꦤꦼꦭꦢ꧀ꦱꦏꦶꦁꦏꦫꦩꦼꦪꦤ꧀ꦲꦶꦁꦗꦩꦤ꧀ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀ꦮꦲꦸ꧉ ꦲꦩꦶꦭꦱꦸꦗꦫꦃꦣꦠꦼꦁꦥꦱꦉꦪꦤ꧀ꦲꦶꦁꦢꦶꦤ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦧꦏ꧀ꦢꦫꦶꦪꦢꦶꦥꦸꦤꦶꦏꦠꦶꦪꦁꦗꦮꦶꦲꦩꦱ꧀ꦠꦤꦶ꧇ꦚꦢꦿꦤ꧀꧉ ꦩꦶꦭꦠꦸꦫꦸꦠ꧀ꦥꦩꦁꦒꦶꦲꦶꦥꦸꦤ꧀ꦲꦶꦁꦏꦁꦧꦸꦥꦠꦶꦥꦼꦤ꧀ꦱꦶꦪꦸꦤꦤ꧀ꦮꦲꦸꦧꦺꦴꦏ꧀ꦩꦤꦮꦶꦲꦶꦁꦒꦶꦃꦱꦏꦶꦁꦠꦼꦩ꧀ꦧꦸꦁ꧇ꦱꦿꦢ꧀ꦢꦲꦶꦁꦔꦶꦁꦒꦶꦭ꧀꧉ ꧏ
“Jalaran saking cariyos kasêbut ing nginggil wau, Kangjêng Raden Adipati Arya Kramajaya Dinagara, bupati pensiyun ing Majakêrta lajêng kagungan pamanggih bilih wontênipun karameyan ingkang dipunwiwiti ing tanggal 21 wulan Siyam.
Dumuginipun Bakda Riyadi tanggal 1 Sawal ingkang laminipun 11 dintên ngantos tanggal 8 Sawal ingkang ugi dipun wastani Lêbaran Kupat punika kintên-kintên mula bukanipun nêlad saking karameyan ing jaman Majapahit wau. Amila sujarah dhatêng pasareyan ing dintên Bakda Riyadi punika tiyang Jawi amastani: Nyadran. Mila turut pamanggihipun ingkang bupati pensiyunan wau bok manawi inggih saking têmbung: Sradda ing nginggil.”
Dalam buku “Album Collections Moens”, Ir. J.L. Moens memberikan gambar ilustrasi saat orang melakukan halal-bihalal dengan kerabat, teman, dan sebagainya. Mereka yang muda sowan ke orang yang lebih tua untuk meminta maaf. Dalam hal ini, terjadi juga di lingkungan istana, misalnya di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
KERAJAAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT DAN TRADISI NGABEKTEN
Dalam manuskrip NB 1074 dan KBG 947, yang dilakukan penyalinannya oleh Pigeaud sendiri pada tahun 1934 disebutkan tradisi Ngabekten ini lengkap dengan gambar ilustrasi. Album ini merupakan satu dari 30 album bergambar yang disusun atas prakarsa Ir. Moens di Yogyakarta sekitar tahun 1929-1937.
Di dalam album no. 22 terdapat uraian tentang: 1. Ngabekten (1-10); 2. Jumenengan pangeran Pati (11-25); 3. Jumenengan Pangeran (25-31); 4. Jumenengan Ratu (31-46); 5. Ketik (pasrah) (47-52); 6. Tetesan (sunatan) (53-64); 7. Supitan (tetekan) (65-86); 8. Tingalan dalem (87-110). Naskah aslinya tersimpan di PNRI Jakarta.
Related Posts

Gaungkan Tema Shalat di Ciater | Jejak Lokasi yang Dilewati Bujangga Manik Sang Resi Petualang

Telusuri Jejak Tarumanegara, Tuan Tanah Jonathan Rigg dan Makam Kuno Islam Garisul

Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar

Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara

Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon


No Responses