Ngabekten ini dilaksanakan juga di kalangan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dimana permaisuri, putra-putri Sultan, Abdi dalem semuanya melakukan tradisi ini. Dengan jelas gambar ilustrasi Ir. Moens memperlihatkannya. Meskipun dengan latar belakang seorang insinyur perairan, Moens ternyata mendalami Javanologi termasuk bahasa dan tradisinya, walaupun tidak sehebat arkeolog lainnya terutama koleganya yaitu Pigeaud.
Ngabekten dilaksanakan setelah Lebaran (bakda Riyadi) atau setelah Grebeg 1 Sawal. Orang-orang yang lebih muda melakukan sungkeman kepada orang-orang yang lebih tua. Seorang istri melakukan ngabekten kepada suaminya, begitu juga anak-anak kepada ayahnya. Para abdi dalem atau pelayan melakukan ngabekten kepada Raja atau majikannya.
TRAH LELUHUR DARI MATARAM ISLAM ?
Membandingkan dengan tradisi yang dilakukan di Jawa Tengah khususnya Mataram Islam atau kini Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan tradisi keluarga dari pihak Ayah di Indramayu, ada hubungan samar antara Mataram Islam dan leluhur dari garis Ayah.
Pertama, Indramayu sejak awal merupakan wilayah terjauh Kerajaan Mataram Islam. Oleh sebab itu, Adipati pertama Indramayu berasal dari Bagelen (Pusat Mataram Islam), yaitu Wiralodra, 1627. Wiralodra ditugaskan untuk mengamankan wilayah paling barat dari kemungkinan serangan VOC.
Kedua, serangan pasukan Mataram Islam ke Benteng Hollandia Batavia terjadi dua kali. Serangan pertama dilakukan pada 1628, sedangkan serangan kedua pada 1629. Pasukan Dipati Ukur melakukan serangan dari arah Bandung menuju Batavia. Namun, kedua serangan tersebut gagal menembus Benteng pertahanan VOC. Pasukan Mataram dikagetkan oleh senjata modern VOC, yaitu meriam.
Dalam serangan ke Batavia tersebut, Mataram Islam dibantu oleh Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon. Serangan pertama (1628) gagal menghancurkan VOC. Dua orang panglima perang Mataram Islam, yaitu Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja disertai sekitar 10 ribu prajurit tidak mampu menerobos benteng Hollandia di Batavia. Akibat kekurangan perbekalan, mereka menjadi lemah dan kalah. Sultan Agung kemudian mengirim algojo untuk memberi sanski prajurit yang kalah itu.
Sebagian prajurit kemudian menetap di sepanjang Pantura dan menikah dengan wanita setempat. Di Pantura, atas usul Nyi Ageng Tirtayasa, penasihat Sultan Agung Hanyakrakusuma alias Susuhunan Sultan Agung Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman alias Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram mulai dibuka pesawahan sebagai bekal perang.
Serangan kedua dilakukan setahun kemudian, 1629. Serangan ini dipimpin oleh Adipati Ukur dan Adipati Juminah dengan kekuatan 14 ribu prajurit. Belajar dari kekalahan serangan pertama, Mataram Islam membuat lumbung-lumbung padi di sepanjang jalur Pantura Jawa Barat yaitu antara Cirebon-Indramayu-Cikampek. Namun, serangan kedua juga gagal menghancurkan VOC di Batavia.
Dari dua hal ini, cukup sebagai bukti bahwa pasukan Mataram Islam, banyak yang kemudian tinggal di sepanjang Pantura, mulai dari Karawang, Cikampek, Subang, Pamanukan, Eretan, Karangsinom, Losarang, Lohbener dan lokasi lainnya. Setelah beberapa generasi, mereka kemudian menjadi bertambah banyak.
Ketiga, saat dilakukan tanam paksa (cultuurstelsel) oleh Belanda pada 1830, kawasan Pantura yang dikenal sebagai Wirasaba kemudian menjadi kawasan pertanian (land/onderneming) terutama komoditas padi dan tebu. Saat itulah, penduduk yang merupakan keturunan prajurit Mataram Islam itu kemudian disebar lagi ke beberapa lokasi. Termasuk, leluhur Ayah yang tadinya tinggal di kawasan pantai kemudian pindah sekitar 15 kilometer ke perkampungan di Blok Rong, dekat Cikabuyut Rong.
Keempat, pada masa Belanda (1800-1942) dan Jepang (1942-1945), karena leluhur Ayah berasal dari keluarga tuan tanah (landlord/landheer), maka Ayah bisa ikut mengenyam pendidikan di sekolah rakyat (SR) tiga tahun. Hanya sedikit anak pribumi yang saat itu bisa sekolah, khususnya anak pejabat dan tuan tanah.
Kelima, Ayah memiliki empat orang istri dan total 11 anak dari keempat istrinya. Ibu Penulis merupakan istri keempat. Artinya, hanya orang yang berasal dari strata tinggi yang melakukan hal itu. Biasanya, tuan tanah atau keturunan tuan tanah atau pejabat/anak pejabat yang melakukan hal ini. Sangat sulit dan merupakan suatu anomali bila penduduk biasa dapat melakukan hal ini. Salah seorang istri Ayah, setelah dicerai, kemudian dinikahi oleh Ketua Jemaat Ahmadiyah Sekarmulya (Indramayu) pertama. []
Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan**)
Catatan:
*) Selesai ditulis pada Senin, 31 Maret 2025 pkl. 21:00 WIB di Rumah Dinas Griya Carani “DAAR EL-JUMAAN” Bogor, Jawa Barat.
**) Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI Jakarta, yang juga Direktur dan Pengulik pada Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku dan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI) dan Pembina Nasional Forum Mahasiswa Ushuluddin seluruh Indonesia (FORMADINA). []
Related Posts
Telusuri Jejak Tarumanegara, Tuan Tanah Jonathan Rigg dan Makam Kuno Islam Garisul
Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar
Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara
Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar
No Responses