Pada Tahun 1241 M, Ogadai Khan meninggal dunia. Lalu disusul kematian Chagatai Khan beberapa hari kemudian. Pemerintahan di Chagatai Khanate diserahkan ke pusat pemerintah yaitu Kekaisaran Mongol yang sedang dipimpin Toregene Khatun, istri kedua Ogadai Khan.
Kewafatan dua orang suksesor terakhir Ghengis Khan ini membuat suasana politik di Kekaisaran Mongol tidak stabil. Penyebab utamanya rebutan posisi tertinggi di Kekaisaran. Toregene Khatun yang naik sebagai pengganti Ogadai Khan dinilai tidak pantas dan dipandang telah menabrak tradisi kepemimpinan bangsa Mongol, yang selalu didominasi kaum pria.
Toregene Khatun tentu saja tidak diam menghadapi rongrongan itu. Tapi cara dia dalam memecahkan masalah telah dianggap oleh beberapa ahli sejarah Mongol sebagai manuver licik dan kejam. Toregene Khatun tidak saja melakukan intrik-intrik politik, tapi dia pun telah menggaet seorang wanita ahli nujum dari Syiah bernama Fatimah untuk menghabisi para penentangnya. Tentu saja strategi ini telah memunculkan sentiment anti Islam beberapa tahun setelahnya, terutama di Chagatai Khanate barat yang dihuni mayoritas Muslim.
Adapun di pihak penentang Toregene Khatun dipimpin oleh Sorghaghtani Beki, janda Tolui yang berasal dari suku Khereid beragama Kristen Nestorian. Perlawanan Sorghaghtani Beki didasari wasiat Ghengis Khan bahwa yang menjadi putra mahkota adalah Tolui Khan, tapi karena Tolui Khan meninggal sebelum suksesi kepemimpinan itu terjadi maka sebagai gantinya yang dianggap berhak untuk menjadi kaisar adalah putra Tolui Khan bernama Mongke Khan.
Al hasil setelah sepuluh tahun berjuang Sorghaghtani Beki akhirnya berhasil dan Mongke Khan menjadi Kaisar Mongol yang kelima, setelah menggulingkan Kaisar Mongol keempat Guyuk Khan anak Ogadai Khan dari Toregene Khatun. Masa Kekaisaran Mongke Khan ini pemerintahannya didominasi oleh suku Khereid yang beragama Kristen Nestorian.
Pada masa ini sentiment anti Islam semakin menampakkan bentuknya, apalagi saat itu kondisi politik sangat memungkinkan untuk menjadikan anti Islam sebagai senjata untuk membidik lawan politik. Faktor perang salib yang meninggalkan memori kebencian terhadap Islam dan manuver licik Toregene Khan yang merekrut dukun wanita dari Syiah untuk menyingkirkan lawan politiknya, menjadikan isu panas yang berkembang di Kekaisaran Mongol saat itu.
Dampak negatif perseteruan keturunan Ogadai Khan dan Tolui Khan berpengaruh pada wibawa Kekaisaran Mongol di Mata dinasti-dinasti bawahannya. Banyak dinasti-dinasti yang melakukan perlawanan dan akhirnya menyatakan diri berpisah dengan Kekaisaran Mongol.
Akan tetapi di Chagatai Khanate, pemerintahannya masih setia kepada Kekaisaran Mongol dan tetap mengirimkan satuan-satuan militernya untuk membantu tentara Kekaisaran Mongol. Pada posisi ini sebenarnya sangat beralasan bagi pemerintahan Chagatai Khanate untuk memisahkan diri dari Kekaisaran Mongol. Alasannya adalah selain kondisi negara yang sedang lemah, sikap anti pati terhadap masyarakat di Chagatai Khanate yang sudah muncul ketika Toregene Khatun yang mempekerjakan ahli nujum wanita dari Syiah, sudah banyak merugikan mereka.
Masyarakat Chagatai Khan terutama yang ada di barat, telah menjadi masyarakat nomor dua di Kekaisaran Mongol. Bahkan nilai pajak yang dikenakan kepada mereka lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini sempat memicu kemarahan warga Chagatai Khanate di barat dan mengakibatkan kondisi Chagatai Khanate yang terpecah menjadi dua bagian, yaitu Chagatai Khanate Timur yang langsung berbatasan dengan tanah Mongol dan didominasi oleh penduduk beragama Budha dan Shamaniyah yang mendapat prioritas dari negara dan Chagatai Khanate Barat yang didominasi oleh kaum Muslim yang cenderung dianak tirikan.
(bersambung)
No Responses