Ayat pertama berkenaan dengan masalah ini adalah ayat Al Qur’an yang menyatakan:
“Apakah yang terjadi pada dirimu bahwa kamu tidak mengharapkan kebesaran dan hikmah dari Allah ? Dan sesungguhnya Dia telah menciptakan kamu dengan berbagai bentuk dan keadaan-keadaan yang berbeda-beda. Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah menciptkan bulan di dalamnya ada cahaya dan membuat matahari sebagai pelita ? Dan Allah telah menyebabkan kamu tumbuh dari bumi dengan sebaik-baik pertumbuhan. Kemudian Dia akan menyebabkan kamu kembali kepada-Nya dan Dia akan mengeluarkan kamu dengan pengeluaran baru” (Nuh: 14-19)
Maksud dari ayat ini adalah:
“Wahai kalian umat manusia, mengapa kalian gagal mengetahui bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu melainkan di dalamnya terdapat kebijaksanaan dan tujuan besar yang mendasarinya. Dengan penghargaan terhadap diri kalian sendiri, tidaklah kalian disiapkan untuk mentolelir setiap saat dari melakukan hal-hal yang tidak berguna lagi tanpa tujuan. Jadi apakah kalian tetap beranggapan tidak ada tujuan dalam perbuatan Tuhan yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui ? Mengapa melompat terlalu pendek hingga pada suatu kesimpulan yang bodoh bahwa Dia menciptakan manusia tanpa arah maksud dan tujuan yang jelas ? Mengapa kalian gagal mengenali bukti kebesaran yang menampak ini bahwa penciptaanmu bukanlah produk kekacauan suatu impuls tiba-tiba terwujud seketika. Disisi lain, Ia menampilkan rencana yang bijaksana dan dalam suksesi tahapan-tahapan dari tahap satu ke tahap lain. Tidakkah kalian menyadari Allah menciptakan tujuh petala langit dalam keserasian dan serupa inti pula Dia menciptakan bulan dan matahari ? Dan satu dari tahap-tahap yang kalian lalui adalah Dia menciptakannmu dari tanah dalam perkembangan yang lambat dan kemudian membawamu ketitik kesempurnaan dimana kamu berada sekarang”
Inilah diskripsi yang diberikan Al Qur’an tentang asal dan sebab kejadian manusia. Jadi, jelas hukum evolusi bekerja di alam ini, penemuan yang bangsa Eropa mengaku berjasa memperolehnya telah jelas digambarkan dalam Al Qur’an 1400 tahun yang lalu, dimana dinyatakan penciptaan manusia secara tiba-tiba dalam bentuk keadaan mental yang sudah jadi dan juga keadaan fisik seperti yang dijumpai sekarang adalah tidak benar.
Namun demikian harus diperhatikan bagian-bagiannya, dicermati bahwa kepercayaan yang popular ditengah-tengah orang-orang Islam, telah kehilangan ketelitiannya dari beberapa poin penting berikut: yaitu bahwa penciptaan manusia dan kemunculannya bukanlah sesuatu yang terjadi secara instan melainkan ia diciptakan dari tanah dan dipermukaannya. Kepercayaan popular orang-orang Islam adalah manusia diciptakan di surga, dari sana kemudian dipipndahkan ke dunia ini. Sejumlah besar orang juga mempercayai Allah memiliki kantong besar yang penuh berisi roh-roh, yang dilepskannya satu demi satu dari waktu ke waktu dan setelah pelepasan itu mereka lahir dalam bentuk manusia-manusia.
Berkenaan dengan khayal-khayal bodoh besar ini, akan mudah dikenalli bahwa dikarenakan oleh beberapa ironi, pikiran muslim awam secara ganjil membengkok dengan menyakini pandangan-pandangan yang justru bertentangan dengan hal-hal yang secara jelas dinyatakan di dalam Al Qur’an.
Sebagai contoh adalah berkenaan dengan hal yang dibahas ini. Al Qur’an menyatakan, penciptaana manusia terjadi melalui tahap-tahap yang bervariasi. Kebijaksanaan dibalik semua itu adalah dengan melalui perkembangan yang perlahan ini, kelemahan-kelemahan akan tersingkirkan dari susunan dan sifat alami manusia. Pandangan yang sangat bodoh yang dipegang ulama Islam dalam hal ini barang kali disebabkan oleh riwayat berikut:
Maulvi Syed Shah pernah meriwayatkan, satu diantara guru-gurunya suatu ketika bercerita bahwa penjelasan mengapa seseorang tampan sementara yang lain buruk sedang lainnya lagi kelihatan biasa saja adalah disebabkan ketika Tuhan berkehendak menciptakan manusia, ia membuat perjanjian dengan para malaikat untuk melaksanakannya dalam batas satu hari dan harus selesai. Para malaikat mengawalinya dengan baik. Mereka mengolah tanah liat dan membentuk wujud-wujud yang baik darinya dengan sangat hati-hati, dengan memberikan perhatian pada tiap bagian dan bekerja dengan cermat tanpa tergesa-gesa hingga sore tiba. Kemudian mereka menyadari bahwa waktu yang disepakati hampir terlampaui, yang menyebabkan pekerjaan mereka selanjutnya serampangan, mengabaikan detail artistiknya. Karena manusia-manusia yang terbentuk pada periode awal sore hari terlihat biasa saja. Ketika sore hari menurut penglihatan para malaikat sudah hampir lewat, dengan kegempran bahwa mereka bekerja sangat lambat dari waktu yang ditentukan, maka mereka memperhatikan arah angin, mereka memegang tanah liat denagn tergesa-gesa membuat bentuk tertentu, menekankan sebuah jari ke wajah untuk membuat mulut dan menekankan dua kali untuk membuat sepasang mata. Tak ayal lagi, manusia yang dibuat setelah itu tampak kaku, canggung, bulat, berlekuk disini dan disana. Dibandingkan dengan mereka yang diselesaikan mula-mula.
Ini menunjukan betapa populernya kepercayaan yang bodoh diantara orang-orang Islam, Kristen dan yang lain telah membengkokkan kebenaran-kebenaran yang indah kedalam khayalan-khayalan seenaknya atau mitos-mitos.
Berawal dari Bukan Apa-Apa atau Tidak Mewujud
Hal berikutnya yang Al Qur’an jelaskan tentang penciptaan manusia adalah pada tahap mula-mula keadaan tidak mewujud atau bukan apa-apa. Kontroversi panas muncul perihal bagaimana dunia dapat mewujud. Pandangan Arya adalah bahwa materi yang darinya alam semesta terbentuk adalah abadi. Tuhan tidak lebih hanya menjadikan roh dan materi itu memiliki hubungan dekat dan demikian bagaimana manusia dapat mewujud / tercipta.
Kepercayaan ini ditolak oleh Al Qur’an yang menyatakan materi tidaklah kekal melainkan suatu ciptaan Tuhan dari keadaan bukan apa-apa.
“Tidaklah manusia ingat bahwa Kami menciptakan dulu padahal ketika itu ia tidak ada sama sekali” (Maryam : 68)
Sekarang ini kelahiran manusia terjadi dari benih laki-laki. Akan tetapi dalam ayat yang tersebut diatas, penyebutan yang dimaksud adalah tentang asal penciptaan spesies atau manusia mula-mula, jauh sebelum tahapan keberadaan manusia sekarang ini. Harus diperhatikan pula, Al Qur’an tidak mengatakan keberadaan diciptakan dari ketiadaan. Apa yang dikatakannya adalah masa sebelum tahapan ketika matahari dan yang lainnya terwujud. Kita berkata bahwa sebuah kursi atau alat dapat dibuat dari kayu atau sebuah rantai dapat dibuat dari besi. Disini kita memiliki materi dalam satu bentuk yang dapat digunakan untuk membuat barang lain.
Dikacaukan oleh penggunaan kata “dari” orang-orang atheis sering mengajukan keberatan bahwa tidak dimungkinkan membuat sesuatu dari kekosongan. Akan tetapi apa yang dimaksudkan Al Qur’an memang bukan seperti itu. Apa yang dimaksudkan adalah bahwa sebelum penciptaan alam ini, terdapat sebuah tahapan ketika tiada apa-apa yang terwujud. Kemudian terjadilah penciptaan dan penciptaan manusia. Adapun mengapa Allah tidak memberikan pengetahuan kepada manusia dimungkinkan karena keseluruhan proses itu (komprehensif-peny) adalah diluar jangkauan manusia. Jika manusia dapat memvisualisasikan bagaimana penciptaannya terjadi, maka ia akan masuk dalam posisi(sia-sia-peny) untuk berusaha menciptakan manusia sendiri.
Tahap Kedua
Tampak dari Al Qur’an bahwa tahap kedua dalam penciptaan manusia adalah suatu keadaan ketika tubuh manusia terwujud tetapi otak yang membedakan manusia dari hewan-hewan yang lebih rendah, belum beroperasi dan aktif seperti berfungsi di kemudian hari. Jadi dapat dikatakan suatu tubuh manusia tetapi belum dapat dikatakan manusia atau dengan kata lain terdapat fisik manusa minus otak atau pikiran yang berevolusi sempurna. Kita tidak mengatakan bahwa dalam tahapan ini manusia merupakan sejenis bentukan batu atau suatu jenis tumbuhan. Pada beberapa tingkat (perkembangan manusia, peny) kita bahkan dapat berkata bahwa ia belum mencapai tingkat hewan.
Al Qur’an berkata:
“(Sesungguhnya) terjadi pada manusia suatu masa ketika ia tidak dapat berkata-kata”
Dengan kata lain, terdapat suatu tahapan dalam sejarah manusia ketika tubuhnya telah ada tetapi bukan “mazkur”, yakni ia sendiri tidak mengingatnya, tidak menyadarinya, kurang sekali kesadarannya pada masa itu dan tidak memiliki kemampuan mengenali. Ia memiliki jenis yang tertentu tapi tanpa kesadaran dan kecerdasan. Ia tidak memiliki semua pengetahuan di atas sebagai kemampuan-kemampuan otak dan yang disebut sebagai pikiran.
Tahap Ketiga
Tahap ketiga dalam evolusi manusia tercapai ketika meraih suatu tahapan sebagai makhluk dimana perkembangbiakkanya terjadi sebagai akibat benih laki-laki tertanam dalam tubuh perempuan melalui hubungan seksual. Dari sisi selanjutnya tercipta variasi temperamen manusia yang banyak sekali. Diantara makhluk-makhluk hidup terdapat berjenis-jenis yang tidak disifati oleh jenis kelamin. Allah berfirman dalam Al Qur’an bahwa suatu tahapan terjadi dalam evolusi manusia ketika ia berkembang menjadi suatu hewan yang memiliki jenis kelamin, terbagi menjadi laki-laki dan perempuan. Ketika perkembangbiakan mulai terjadi melalui benih laki-laki (kemampuan yang merupakan sutu bentuk yang lebih tinggi dari kehidupan binatang) kemudian pada tahapan berikutnya terjadi ketika reproduksinya dimulai dari suatu nutfatin amshajin, dari setetes nutfah yang berisi kombinasi sejumlah unsur.
Allah berfirman dalam Al Quran:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan mausia dari setetes nutfah agar Kami dapat mengujinya maka Kami membuatnya mendengar dan melihat” (Ad Dahr : 3)
Dari tahapan ini, penciptaannya mulai disenyawakan dari beberapa unsur sebab peranannya di alam ini memiliki banyak segi yang menghendki manusia harus memiliki kemampuan-kemampuan yang luas.
Tahap ke Empat
Tahap keempat dalam evolusi manusia terjadi etika otak manusia mencapai penyempurnaan, yang dicirikan oleh bentuk perkembangan pesat kesadaran dan kecerdasan. Dari “sami” dan “bashir”, yaitu menjadi mampu mendengar dan melihat cirri-ciri yang juga ditemukan dalam hewan-hewan yang lebih rendah. Ia menjadi “sami” dan “basir” yakni mampu menguji kecerdasannya terhadap suatu sasaran, yang dengan adanya semangat permintaan dan pencarian, kesimpulan dan penemuan mulai datang dalam jangkauan kemampuan-kemampuannya. Disini ia bangkit ke suatu tingkat yang sangat istimewa yang lebih tiinggi dari bentuk-bentuk kehidupan binatang dengan didukung daya pikir dan kemampuan bicara.
Kaitan tantai-rantai ini dalam proses evolusi manusia merupakan rangkaian awal dan variasi tahap perkembangan. Periode-peroide diantara kemunculan tingkat-tingkat ini tidak disebutkan secara jelas dalam Al Qur’an karena hal ini bukan suatu uraian ilmiah dalam hal ini Al Qur’an menunjuk kepada hal-hal ini ketika dipandang perlu untuk membukakan suatu poin kebenaran moral dan spiritual dan meninggalkan celah-celahnya bagi pikiran manusia. Hubungan lain dalam rantai evolusi manusia dapat dijelaskan dari ayat lain, misalnya:
“Dan Allah telah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes nutfah kemudian ia menjadikan manusia berjodoh-jodoh” (Al Fatir : 12)
Dalam ayat lain dikatakan :
“Dan Allah membuat kamu tumbuh dari bumi dengan suatu pertumbuhan yang baik” (Nuh : 18)
Sedangkan disini dikatakan “Allah menciptakan kamu dari tanah”, kemudian dari setetes nutfah” rangkaian lain telah ditinggalkan hingga “Ia membuat kalian berjodoh-jodoh” yaitu menjadi mampu hidup dalam unit-unit sosial yang dari sini selanjutnya muncul tahapan yang kita menyebutnya peradaban manusia dan budaya dengan suatu sistim aturan kehidupan.
Dalam tempat lain akan dijelaskan mengapa pandangan yang Al Qur’an telah membiarkan beberapanya tidak disebut.
Arti “Azwaj”
Disini azwaj tidak menunjuk pada pembagian laki-laki dan perempuan sebab telah tercakup dalam pengertian “setetes nutfah” dan harus dimengerti sebagai sesuatu diluar kenampakan jenis kelamin. Dalam bahasa Arab, kata “zauj” juga bermakna “jenis” atau “variasi” atau “group-group komplemen”. Dan inilah makna yang dikehendaki disini. Ketika pikiran manusia berkembang secara penuh dan suatu variasi temperamen muncul, individu-individu mulai menunjukan kecenderungan atau pergi individu-individu lain tertentu dalam aktivitas-aktivitas mereka. Ini menyebabkan kemunculan unit-unit social seperti unit-unit keluarga atau kombinasi-kombinasi indivdu yang teratur satu sama lain.
Cerita evolusi manusia yang muncul dapat diringkas bahwa pada awalnya manusia sekarang ini hanyalah segumpal tanah atau bongkah. Setelah beberapa tahapan intermedier yang Al Qur’an tidak menyebutkannya, manusia mencapai suatu tahapan yang menjadi suatu “jenis binatang” berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dan berkembang biak melalui hubungan seksual. Kemudian Al Qur’an kembali meninggalkan beberapa tahap intermedier sampai manusia muncul sebagai suatu makhluk sosial yang terbagi dalam beberap group yang terwujud dari berbagai variasi mental, fisik atau kecenderungan-kecenderungan ekonomi. Inilah poin ketika cerita peradaban manusia dimulai.
Diantara tahap-tahap evolusi manusia terdapat masa ketika debu, keping-keping kering tanah, gumpalan tanah atau bongkah tercampur dengan air. Campuran dari tanah kering dan air itu menimbulkan sejenis kehidupan di dalamnya. Hal ini disebutkan dalam Al Qur’an :
“Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air” (Al Anbiya : 31)
“Yang telah menjadikan sempurna segala sesuatu yang diciptakan-Nya dan Ia memulai penciptaan manusia dari tanah liat” (As Sajdah : 8)
Kata bahasa Arab untuk tanah liat dalam dua ayat diatas ialah “tiin”, yang artinya tabah dicampur dengan sejumlah air yang membuatnya rekat satu sama lain. Jadi, menurut Al Qur’an kehidupan manusia berasal dari suatu subtansi campuran tanah dan air yang dalam perkembangan waktu berkembang menjadi makhluk sempurna yang disebut manusia. Bukti dari fakta yang dalam berbagai tempat tertentu Al Qur’an tidak menyebutkannya untuk diketahui, ketika kita mencermati berbagai teks yang terkait dengan persoalan yang dibahas. Dalam ayat terakhir yang baru dikutip kita diberi tahu bahwa pada tahap permulaan sekali dalam evolusi manusia adalah ketika ia diberi “suatu betuk” dari tanah basah. Mengikutinya datang suatu tahapan ketika manusia mulai dikembang biakkan lewat pemfungsian organ-organ seks dari laki-laki dan perempuan.
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari patisari nutfah yang tidak bermakna” (As Sajdah : 9)
Dan disuatu tempat dikatakan:
“Bukankah Kami telah menciptakanmu dari cairan yang hina dan menempatkannya dalam suatu tempat tinggal yang mantap ?” (Al Mursalat : 21-22)
Ayat-ayat ini menunjukan dengan sangat jelas, manusia berasal dari tanah kering, segumpal tanah atau bongkah yang dari tahap ketahap telah melewati keadaan seketika sebelumnya merupalan campuran dengan air. Campuran ini berkembang menjadi jenis manusia yang belum sempurn atau organisme yang kemudian berkembang menjadi manusia yang lebih baik. Kemudian datang suatu tahapan ketika perkembangbiakan makhluk hidup ini terjadi melalui pemfungsian organ-organ seks yang berkembang menjadi laki-laki dan perempuan. Keadaan sebagai tanah, segumpal atau bongkah tanah adalah tahap tertentu, yaitu bahwa tanah tercampur dengan air adalah tahap lain dan ketika perkembangbiakan mulai terjadi sebagai suatu hasil perkembangan seks dalah tahap tertentu yang lain lagi. Semua tahap-tahap ini menampilkan periode-periode waktu yang berbeda yang masanya hanya dapat dipahami secara samar-samar atau imajiner.
Prinsip Tentang Penciptaan Manusia.
Kita membaca Al Qur’an:
“Dan bahwa pada Tuhan engkaulah terletak keputusan terakhir. Dan bahwa Dialah yang membuat orang-orang tertawa dan membuat mereka menangis. Dan bahwa Dialah yang menciptakan pasangan-pasangan laki-laki dan perempuan. Dari nutfah apabila dikeluarkan. Dan bahwa bagi Dialah penciptaan kejadian yang kedua kali” (An Najm : 43-48)
Dengan kata lain Al Qur’an berkata:
“Penciptaannmu, permulaanmu berawal ditangan Allah dan akhirmu terletak pada-Nya. Keadaanmu juga sebagai makhluk adalah seperti suatu busur dengan suatu diameter pada dasarnya. Ketika busur ini dibengkokkan sedapat mungkin, mungkin kedua ujungnya dapat dipertemukan. Jika engkau mulai berjalan kearah dari mana asal mulamu dari posisimu sekarang, kamu akan mencapai suatu titik dimana disana tidak ada yang lain melainkn Allah. Dengan kata lain, penciptaan manusia dari Allah dan dan akhirnya juga terletak pada-Nya. Rantai sebab akibat menjadi lebih jelas dan lebih jelas lagi sampai mencapai Allah pada ujung akhirnya “
Kesimpulan-kesimpulan berikut ini terkandung dengan jelas dalam ayat-ayat di atas:
- Materi yang darinya manusia diciptakan tidaklah abadi. Ia diciptakan Allah
- Penciptaan manusia melibatkan suatu proses evolusi meliputi suatu periode waktu. Pandangan bahwa manusia tercipta secara instan (tiba-tiba) adalah tidak benar
- Manusia diciptakan dari suatu asal yang berbeda secara istimewa dan bukanlah dari bentuk ciptaan lain, hewan atau yang lain. Adalah tidak benar ia berasal dari spesies kera atau monyet seperti teori Darwin.
- Satu dari tahap-tahap evolusi yang telah dilalui mausia adalah ketika semacam batuan atau bongkah (tanah)
- Ia kemudian melewati suatu bentuk kehidupan hewan ketika kecerdasan belum dimilikiya sekalipun ia bergerak, minum, dan makan seperti hewan lain yang lebih rendah.
- Ia kemudian memiliki kecerdasan dan menjadi “hewan” yang vokal karena dapat berbicara
- Tahapan terakhir dalam kemajuannya sebagai suatu individu yang hidup, ketika ia memiliki suatu sistem hidup dan berjalan kearah peradaban dan budaya manusia. Tidak seperti hewan rendah yang hidup masing-masing secara individu, manusia mulai bekerja sama dengan sesama dalam suatu sistem dan aturan kehidupan.
Semua tahap-tahap ini secara singkat dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
- tahap sebagai bongkah (seperti) batu yang tidak hidup
- tahap kehidupan tanpa otak yang tinggi
- tahap (memperoleh) kecerdasan
- tahap makhluk berperadaban
Adalah jelas bahwa hanya dua tahap yang terakhirlah yang dapat disebut sebagai keadaan keberadaban manusia. Sementara belum dilengkapi dengan kecerdasan, ia tidak lebih hanya suatu jenis hewan. Benar, bahwa mulai dari permulaan, tentu saja adalah rencana tuhan untuk mengembangkan manusia menjadi makhluk berperadaban, akan tetapi dalam tahap-tahap sebelum kecerdasan dimilikinya, ia belum dapat sepenuhnya disebut manusia. Keadaanya dapat dikatakan menyerupai embrio yang masih berkembang dalam rahim. Secara esensi, bayi di dalam rahim adalah manusia, tetapi karena perkembangannya belum sempurna, ia masih jauh dari identitas manusia, lemah dan tidak mampu memperthankan dirinya sendiri.
Seperti itu pula perihal permulaan manusia esensinya adalah manusia, meskipun ia belum berkembang ke tahap dimana ia dapat menyandang nama itu. Ia belum mencapai kemampuan-keampuan yang menaikkannya diatas hewan-hewan lain dan ia belum memperoleh kecerdasan yang memposisikannya pada tingkat ini. Ia mulai layak disebut seorang manusia setelah ia mengalami perkembangan kecerdasan sekalipun ia belum dapat disebut manusia rasional, sebab tingkat ini menghendaki sesuatu yang lebih dari hanya sekedar kecerdasan. Status ini menghendaki suatu jalan hidup yang rasional, sistematika dan teratur yang adalah sasaran yang dikandung dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini akan membagi permulaan sejarah manusia menjadi dua bagian:
- Periode yang didalamnya ia mendapatkan kemampuan kecerdasan dan rasionalitas.
- Dari mana ketika ia menggunakan kemampuan-kemampuan ini dan memulai jalan hidup yang sistematis dan teratur.
Adam Manusia Pertama Yang Sempurna
Hal ini mengikuti dari yang telah dinyatakan demikian jauh bahwa era kecerdasan manusia dibagi kedalam dua bagian yang jelas yaitu:
- Ketika Manusia telah mengembangkan kecerdasan, tetapi bersifat individual untuk ketertarikan pribadinya atau pasngannya
- Ketika daya tarik sosial mengembangkan kecerdasan ini dan menimbulkan pengertian terhadap hukum dan aturan
Ketika manusian mencapai hal yang disebut terakhir itu, ia menjadi mampu menundukan kehidupannya kepada kontrol dan petunjuk dari luar. Ini menjadi tingkatan ketika era kesempurnaan kemanusiaan dimulai.
Menurut Al Qur’an, Adam merupakan manusia pertama yang memiliki pikiran yang tumbuh pada ketinggian ini. Ia bukanlah manusia yang pertama kali diciptakan dari gumpalan tanah liat melainkan yang pertama mencapai perkembangan mental ini dari antara sejumlah besar spesies manusia yang tersebar di suatu area. Adalah sesuatu yang mengheraankan bagi manusia guna untuk menundukan dirinya kepada kontrol dan petunjuk dari luar. Beberapa dari mereka dalam kehidupan bertetangga ketika perkembangan ini terjadi tidak tersiapkan untuk meneriama ide yang baru dan menakjubkan ini. Meskipun mereka memiliki kecerdasan tertentu, insting mereka untuk bekerja sama dan hidup soaial belum kuat dan mendorong (mereka). Jadi, kelompok manusia yang secara komparatif kurang berkembang tersebut pasti memiliki dendam (amarah) liar dan melawan terhadap pendirian ide yang revolusioner dan juga rezim yang dihasilkan dari ide tersebut. Adalah jelas, jika dua eor kuda diikat pada gandaran (kereta) yang sama, yang satu menurut, sedang yang lain liar dan menendang-nendang dengan beringas, maka kereta itu tak ragu lagi akan menderita goncangan yang sangat hebat. Laju kedepan yang dimungkinkan sepanjang jalan itu tentu akan jauh dari ketenangan, sebab kuda yang liar yang tidak menurut akan mengusahakan memuntahkan (kendali) dalam mulutnya untuk dapat bebas dan kemudian lari jauh. Ini adalah hal yang pasti telah terjadi ketika manusia pertama (yang sempurna) muncul dan memanggil kawan sebangsanya kepada kehidupan sosial yang teratur dan berdisiplin berdasarkan kesederajatan dan semangat kerja sama.
Arti Adam
Nama yang diberikan oleh Al Qur’an kepada manusia sempurna yang pertama merupakan hal yang sangat penting. Kata Adam dalam bahasa Arab dapat ditarik (diderivasikan) dari dua akar kata: “Adim” yang berarti permukaan bumi atau “udma” yang berarti warna gandum. Jadi Adam berarti orang yang hidup dipermukaan bumi atau seorang manusia yang bercirikan berwarna gandum seluruhnya. Pada faktanya arti keduanya itu tampak menjelaskan hal yang sama: seorang manusia atau kelompok manusia yang hidup ditempat terbuka berlawannan dengan yang lain yang hidup di gua-gua. Yang hidup ditempat terbuka itu berwarna lebih gelap disebabkan pemanasan konstan matahari.
Melalui Adam sebagai agen samawi yang pertama, telah diletakan pondasi kemasyarakatan manusia dan juga peradaban dan budaya. Orang-orang yang ikut kepada seruannya harus telah memutuskan untuk keluar dari gua-gua dan bentukan-bentukan alami (kandang) lain dan hidup dalam koloni padat yang dirancang untuk memfasilitasi sebuah kombinasi pertahanan dalam kasus penyerangan.
Budaya Manusia Pada Zaman Adam
Selama masa Adam disana pasti terdapat sejumlah manusia yang masih berada pada tahapan mental sebelumnya, yang belum memahami pemikiran yang baru. Jadi mereka pasti telah bangkit melawan secara liar terhadap usaha-usaha pengurangan kebebasan dan kemerdekaan mereka. Mereka menolak mendengarkan Adam dan tetap meneruskan hidup seperti sebelumnya di gua-gua dan jenis “kandang” lain. Spesies manusia saat itu terbagi secara tajam ke dalam dua kelompok, yaitu:
- Mereka yang menerima pengarahan baru dan mereka yang tidak. Kelompok yang pertama keluar dari gua-gua dan “kandang”. Mereka mulai hidup dalam koloni kecil padat yang didirikan atas prinsip-prinsip kerjasama dalam kaitan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia sebagi sebuah kombinasi pertahanan dari koloni tersebut dalam menghadapi bahaya.
- Kelompok yang kedua tetap hidup dalam gua-gua dan “kandang-kandang” dan secara berangsur dikenal oleh kelompok yang lain sebagai jinn, yang berarti suatu makhluk yang hidupnya sedikit terkena cahaya, dalam kegelapan dan jarang terlihat secara terbuka dan sepenuhnya. Mereka juga selalu dikenali oleh karena kecenderungan berbuat kejam dan jahil: bentuk permusuhan umum kepada tiap orang.
Mereka yang hidup terbuka di permukaan bumi dalam koloni-koloni, saling dukung dan bekerjasama satu sama lain adalah insan-insan pertama yaitu yang dijalankan oleh unas, yakni perasaan sederajat dan kecintaan satu sama lain.
Mereka yang hidup dalam kegelapan gua-gua jarang berani keluar di tempat terbuka dan selalu dicirikan oleh kecenderungan curiga dan permusuhan terhadap makhluk lain, group yang lain menyebut mereka jinn, kelam, sial, liar, kejam, bermusuhan, jahil, dan berkecenderungan jahat kepada yang lain. Namun demikian harus diingat bahwa kedua anggota kelompok itu (jinn dan insan) adalah dari jenis yang sama.
Arti asal dari kata “jinn” dalam bahasa Arab adalah seseorang atau sesuatu yang menyukai dirinya tidak terlihat: tersembunyi, tidak dikenal, sesuatu atau seseorang dengan kekuatan besar dan selalu berbahaya bagi yang lain. Inilah mengapa orang-orang penting, para kepala suku, para pemimpin politik, dan lain-lain juga dikenal sebagai jinn dalam bahasa Arab, sebab mereka selalu dilingkupi oleh rutinitas dan pengawal-pengawal, tidak mudah dihubungi dan jarang terlihat didepan publik.
Dalam penggunaan bahasa Arab, kata ini juga dikenakan kepada orang-orang asing dan telah digunakan dalam makna ini di dalam Al Qur’an. Namun demikian ini bukanlah saatnya untuk lebih detail membahas hal ini.
Atas karunia Allah, aku telah mengumpulkan bubkti-bukti dari Al Qur’an yang luas yang menyatakan bahwa kata jinn telah digunakan untuk manusia-manusia. Aku telah menemukan orang-orang yang bagi mereka Al Qur’an telah menggunakan kata ini dan juga tempat-tempat mereka tinggal beserta bukti yang menunjukan bahwa jinn-jinn ini adalah manusia yang tidak berubah.
Adam Bukan Manusia Pertama
Poin pertamaku dalam mencermati hal ini adalah bahwa menurut Al Qur’an, Adam bukanlah manusia pertama dalam pengertian secara instan diciptakan. Sebelum kemunculan Adam dalam lingkungannya, spesies manusia telah ada dalam periode yang lama. Menunjuk kepada Adam, Allah berfirman dalam Al Qur’an :
“Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Al Baqarah : 31)
Jika Adam manusia pertama kali, tentu Allah seharusnya berfirman bahwa Ia akan menjadikan manusia yang pertama akan tetapi Allah tidak berfirman demikian. Apa yang Allah firmankan adalah bahwa Ia akan membangkitkan seorang manusia utama untuk menjabat status sebagai khalifah-Nya. Implikasi hal ini, tidak salah lagi adalah bahwa pada waktu itu manusia-mausia lain juga ada dan satu dari antara mereka terpilih untuk maksud ini dan bertanggung jawab yang mengiringinya. Adalah sangat jelas dari kata-kata ini bahwa apa yang difirmankan-Nya tidak menunjuk kepada penciptaan nenek moyang spesies melainkan pengutusan seseorang untuk melaksanakan tanggung jawab yang jelas.
Ayat kedua yang membuktikan bahwa masyarakat telah ada sebelum kemunculan Adam adalah:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dan kemudian Kami beri kamu bentuk lalu Kami memerintahkan kepada para malaikat, tunduklah kepada Adam” (Al A’af : 12)
Dengan kata lain, manusia-manusia telah diciptakan mula-mula dan kemudian melalui suatu proses, mereka diberi bentuk pribadi dan perkembangan kecerdasan pikiran, kemudian para malaikat diperintahkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan mereka. Di sini Allah tidak berfirman bahwa Ia telah menciptakan seorang manusia dan memerintahkan para malaikat untuk bersembah sujud kepadanya. Apa yang difirmankan-Nya adalah bahwa Ia menciptakan manusia-manusia dan menjadikan mereka memperoleh tingkatan dan kondisi berbentuk (manusia). Ketika hal itu terjadi. Ia memerintahkan para malaikat untuk menghormat tunduk di depan manusia yang telah mencapai kemajuan yang tidak dicapai sebelumnya. Hal ini sangat jelas mengimplikasikan keberadaan anggota-anggota spesies manusia yang lain pada waktu itu ketika saat diantara mereka diangkat pada kemuliaan dan kehormatan menjadi khalifah Allah (Sair-e-Roohani). Untuk versi pdfnya silahkan download.
Penulis : Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a
Sumber : Review of Religion Maret 1999
Penterjemah : Ari Subandono
Diterbitkan di : Darsus Nomor 45/Isy/PB2000
Tulis Ulang & Edit : Bagus Sugiarto
Publikasi : MasroorLibary.Com
Gambar : Google
No Responses