Masroor Library – Jamaah Ahmadiyah mengirim Maulana Rahmat Ali sebagai Mubaligh pertama ke Indonesia tahun 1922. Sang Maulana karena jiwa tanggung jawab untuk mengabdi kepada agama, menawarkan pengabdiannya kepada imam Jammah Ahmadiyah waktu itu Hadhrat Khalifatul Masih II ra tanpa ada tekanan maupun paksaan.
Pada masa itu keuangan Jamaah sungguh sangat-sangat terbatas. Namun dengan berbagai upaya, dana dikumpulkan untuk mengirimkan seorang mubaligh ke luar negeri, tetapi jamaah mengalami kesulitan untuk membiayainya pulang. Akibatnya tahun demi tahun berlalu namun uang tidak dapat diperoleh untuk memberi kesempatan kepada Maulana untuk menjenguk keluarganya. Anak-anak beliau tumbuh bagaikan anak-anak yatim, mahrum dari belaian kasih sayang dan kehadiran orang tua sebagaimana seharusnya. Suatu ketika putranya yang termuda waktu itu masih usia sekolah, berkata kepada ibunya;
“Ibu, anak-anak di sekolah bercerita tentang ayah mereka. Ayah yang pergi ke luar negeri juga pulang dan membawa hadiah-hadiah untuk anak-anak mereka. Kemana gerangan ayahku telah pergi, mengapa tidak terfikirkan untuk pulang ?”
Pertanyaan ini sangat menyayat hati ibuya dan ia berlinang air mata, dengan jarinya ia menunjuk kearah Indonesia dan berkta;
“Anakku, ayahmu telah berangkat kearah sana untuk menyampaikan pesan Allah dan Rasul-Nya SAW dan ia akan pulang manakala Allah menghendaki”
Ada keperihan dalam jawaban sang ibu, tapi bukan keluhan, sebentuk perasaan tak berdaya tetapi sedikitpun tidak mengandung gugatan , karena ia juga diilhami oleh semangat pengorbanan yang sama.
Sang Maulana bekerja selama sepuluh tahun di Indonesia. Kemudian beliau dipanggil cuti untuk beberapa waktu namun segera dikirim kemballi. Beliau tinggal disana selama dua puluhlima tahun jauh dari keluarga.
Pada akhirnya Jamaah memutuskan untuk memanggilnya untuk selama-lamanya. Mendengar berita ini istrinya yang telah telah mulai berusia renta, berusaha menemui Khalifah dan memohon dengan penuh hormat;
“Huzur, ketika saya masih muda, saya menyerahkan hak-hak saya kepada Allah. Saya tidak mengucapkan sepatah pun kata keluhan mengenai perpisahan dengan suami saya. Waktu itu saya begitu tidak berdaya, tetapi saya dapat membesarkan anak-anak saya sendirian. Sekarang saya sudah tua dan anak-anak sudah dewasa. Untuk apa sekarang, memanggil suami saya pulang ? Saya hanya memiliki satu keinginan lagi, satu permohonan; Ijinkanlah suami saya meneruskan tugasnya untuk menyebarkan Isam di tanah asing atau meninggal atau terbunuh dalam tugas. Paling tidak saya merasa puas untuk menyatakan bahwa saya telah mengorbankan seluruh berkah-berkah pernikahan saya untuk perjuangan Islam, agama saya.”
Dikutip : Spiritual Discovery of Australia
Peulis : Hadhrat Mirza Tahir Ahmad
Diterbitkan : Darsus no 51/Isy/PB2001
Ketik Ulang & Edit : Bagus Sugiarto
Publikasi : MsroorLibrary.com
No Responses