Masroor Library – Kitab “Hikayat Tanah Hitu” seolah menjadi semacam magnum opus bila kita mengulik sejarah Kerajaan Tanah Hitu. Imam Rijali (1590-1662) dianggap penulis yang telah mengabadikan sejarah di Kerajaan Tanah Hitu dan Maluku pada umumnya. Adikaryanya itu menjadi rujukan utama.
Bukan hanya para penulis Indonesia yang tertarik menulis dan mengutip Hikayat Tanah Hitu ini. Para penulis Belanda dan asing lainnya juga tertarik dengan manuskrip ini. Sebut saja nama Francois Valentijn (17 April 1666-6 Agustus 1727) dan George Karel Niemann (1823-1905).
Naskah yang hingga kini bisa dengan selamat dikaji adalah naskah-naskah yang telah mereka kaji secara serius dari tahun ke tahun. Di antaranya manuskrip tulisan Arab (manuskrip Jawi) milik G.K. Niemann yang kemudian disimpan di Leiden University pada 1906 dan dijadikan sebagai Cod.Or. 5448. Manuskrip ini disalin di atas kertas abad 17 dan menjadi milik dari sepupu pengarang hingga 1662.
Pada 1920, H.J. Jansen membuat transkripsi Latin di Hitulama yang kemudian dijadikan sebagai Cod.Or.8756a. Naskah inilah yang kemudian oleh B.J.O. Schrieke dikenal sebagai Cod.Or.8756 pada 1926.
Z.J. Manusama mencantumkan Cod.Or.5448 dalam karya disertasi doktoralnya Historie en Sociale Structuur van Hitu tot het Midden der Zeventiende eeuw pada tahun 1977. Kelihatannya dari naskah ini juga, sepuluh tahun kemudian Dra. H. Maryam R.L. Lestaluhu menulis Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imperialisme di Daerah Maluku (1987).
Sejak 2014, Dr. Syarifudin, M.Si. menekuni kajian terkait Imam Rijali. Selain melalui penulisan mengenai sosok dan kiprah penulis Hikayat Tanah Hitu tersebut, juga beberapa kali mengikuti pameran yang diselenggarakan baik di Maluku maupun diluar Maluku. Nama Imam Rijali Community juga dipergunakan sebagai wadah itu.
HIKAYAT TANAH HITU MENGENAI PERJALANAN MIHIRJIGUNA KE INDIA
Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu (1646) pada Fasal XXV hlm. 58-60 menulis mengenai pengembaraan keponakannya alias putra dari Kapitan Hitu yaitu Mihirjiguna. Setidaknya ada lima kali nama Mihirjiguna disebutkan dalam naskah itu.
Adapun selengkapnya naskah Hikayat Tanah Hitu yang mengisahkan mengenai Mihirjiguna alias Arinjiguna adalah sebagai berikut:
“Alkisah dan kuceriterakan kemudian daripada jeneral belayar membawah kepada orang Bandan* itu, maka Mihirjiguna masuk mengadapat* perdana Kapitan Hitu. Maka ia menyembah, lalu berkata: ‘Beta endak belayar ke Jawahkatra*.’
Maka kata Kapitan Hitu: ‘Apa kehendakmu belayar itu?’ Maka ia menyahut: ‘Ada pun kita belayar ini tiada kehendak kepada yang lain melainkan kubicarakan orang Bandan. Jika tiada boleh kembali ke tanah Bandan* pun, sehingga tanah Ambon pun baik juga jika dilapaskan oleh jeneral.’
Maka kata Kapitan Hitu: ‘Jika bagai kata demikian itu, belayarlah engkau.’ Lalu ia naik kepada sebuah kapal, Delf namanya kapal itu.
Hatta berapa lamanya maka datang ke Jawahkatra*, maka Mihirjiguna naik ke darat berhadapan dengan jeneral serta orang besarnya. Maka apa kehendaknya Arinjiguna* itu semuhanya dikatakan kepada jeneral pun terimalah kepada kehendak Mihirjiguna itu.
Lalu kata jeneral kepada Mihirjiguna: ‘Ada pun barang kehendakmu itu kami terimalah, tetapi musim lagi lambat datang. Apabila datang musim barat akan perginya pulang, kuserahkanlah kepadanya yang kehendaknya itu.’
Lalu Mihirjiguna tanya kepada jeneral: ‘Kapal semuhanya itu endak ke mana?’ Maka kata jeneral: ‘Kapal itu endak ke Malaka, ada ke Jambi, ada ke Laut Mera, ada pulang ke negeri Holandes, ada ke bandar Masilpatani*.’
Maka kata Mihirjiguna: ‘Beta minta kepada jeneral sementari lagi lambat musim, lagi lambat musim, beta endak turut kapal yang ke bandar Masilpatani*, mau melihat dunia tanah Keling barang seadanya hidupku sehingga datang musim barat.’
Maka iakan oleh jeneral dan diberinya seribu real akan bekalnya dan sangat mulliya kepadanya serta kasih lain2 — tiada dapat diceriterakan kepada kasihnya itu –, lalu naik Mihirjiguna belayar. Hatta berapa lamanya di tengah laut datang tofan angin ribut. Bunyi layar seperti bunyi bedil, seketika lagi patah tiyang buritang itu. Hatta terbit matahari, angin pun tedduh. Tellah demikian itu berapa lamanya datang ke tanah Keling, kepada negeri Tunahpatnan.
Maka naik ke darat bejalan ke negeri Pujiciri*, menubus dengan harganya dua real seorang, ada tengah tiga real. Ada menjual dirinya sendiri, ada menjual anaknya. Tellah menubus itu, maka belayar dari Pudiceri*, lalu kepada Tirubambu* dan Tirumulawasir* dan Kunmuri*, lalu kepada Nagahpatan*.
Daripada Feranggi duduk dari situ, maka dinamai San* Tumi*. Ada pun San* Tumi* itu ada suatu bukit, maka didirikan gerejanya akan tempat berhalanya, Nona Sinyora di Mundi* namanya. Di situlah tempat ia menyembah berhalanya itu.
Kemudian daripada itu maka belayar sehingga datang ke Palikat*. Karena di situ ada kota Wolanda, ia berhenti entah berapa lamanya. Lalu ia belayar ke bandar Masilpatani*, ia duduk kepada rumah syaudagar haji Baba namanya. Di sanalah dimasyhurkan namanya Mihirjiguna itu ‘Sultan Karanful*, Kipati Syah’.
Di sanalah ia melihat perhiasan dunia semuhanya lengkap, sehingga ibu bapa kita yang bennar itu maka kita tiada bertemu. Lain daripada itu tiada dapat diceriterakan kepada kelakuan yang indah2, seperti perbuatan yang kegemaran kepada keelokan serta keinginan hati manusyia. Dan kejahatan serta kebencian pun demikian lagi, dan kesukaan dan kedukaan pun demikian lagi, seperti orang kaya dan orang miskin, dan orang berumah dalam tanah dan orang tiada berumah selama-lamanya, dan orang membuang segala najis manusyia dalam negeri itu.
Dan dikerjakan hamam*, ada air sejuk dan air panas kepada suatu tempat harkat kepada segala manusyia. Apabila datang pagi hari, maka mandi kepada air yang panas itu, jika datang tengah hari maka mandi kepada air yang sejuk itu. Dan perbuatan pelbagai yang andak* dalam dunia semuhanya ia melihat karena Masilpatani* itu bandar Kutb Syah yakni raja Gulgonda*, tatkala zaman sultan Muhammad Huli akan kerajaan di negeri Gulgonda. Tellah demikian itu hatta datang musim maka ia pulang.
Berapa lamanya di tengah laut, maka datang masuk selat antara Puluh Merkata* dan ujung Tanjung Cina, lalu datang ke Banten sehingga datang ke Jawahkatra*, maka ia berenti di sanalah. Entah berapa antaranya, maka Mihirjiguna sakit. Sehingga enam hari dengan kehendak Allah ta`ala wafat meninggal negeri fana datang kepada negeri yang baka pada bulan Rabiu’l-awal dua belas hari pada tahun [1032] Ha, pada malam Ahad. Maka dibaiki suatu petti dilapis dengan tima hitam, maka ditaburkan segala bauh-bauan dalam kafan, lalu dimasukkan mayit itu ke dalam petti.
Entah berapa lamanya dalam negeri Betawih, maka dinaikan kepada sebuah kapal membawah kepadanya. Dan pasan jeneral dalam surat kepada Kapitan Hitu dan gurendur Herman Aspel*, demikian katanya: ‘Ada pun kehendak Arinjiguna* itu seribus* kali beta terima. Daripada ia tiada empunya untung, maka ia mati pulang kepada asalnya, tetapi Kapitan Hitu dan gurendur kira-kirakan kehendak Arinjiguna* itu. Apabila jika dengan baiknya musim yang datang ini suruan ke mari, maka beta serahkan kepada dia.’
Tellah demikian itu, maka diberikan surat itu pada tangan Sifar al-Rijali, lalu belayar. Entah berapa lamanya di tengah jalan, maka datang ke Ambon masuk ke Kota Laha.
Pada tatkala itu Kapitan Hitu pun ada di Kota Laha, bicarakan Inggeris dan Jupun endak tipu kepada Wolanda serta kotanya itu. Maka diberikan surat itu kepada Kapitan Hitu dan gurendur, lalu dibaca sendirinya, maka gurendur kata kepada Kapitan Hitu: ‘Baik juga kata jeneral kepada kita kedua itu kira-kirakan kepada kehendak Mihirjiguna itu, tetapi inilah perbuatan Inggeris dan Jupun, jika datang orang Bandan* pula.’ Lalu dibunuh Inggeris dan Jupun itu, maka tiada jadi kehendak Mihirjiguna itu sebab perbuatan orang itu.
Lalu dinaikan mait itu kepada kelengkapannya orangkaya dan orang dari negeri pun keluar mendapatkan dia di tengah jalan, sehingga datang ke negeri. Maka dipertitahkan serta dengan arta disedekakan kepada fakir dan miskin dan orang besar-besar dan dipeliharakan sehingga adatnya.
Itulah kesudahan pelayaran Mihirjiguna ke tanah Keling.
PERJALANAN MIHIRJIGUNA DAN TITIK TERANG PENGGUNAAN HISAB URFI
Selain menyebutkan beberapa hal, Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu juga menyebutkan satu titimangsa. Inilah satu-satunya penyebutan titimangsa yang jelas dalam manuskrip itu. Dari sini dapat dilacak, kisah yang terjadi tersebut. Itu membuktikan bahwa kisah itu benar-benar terjadi dalam “pelataran sejarah” (historical setting) dan bukan khayalan belaka.
Beberapa hal yang Imam Rijali sebutkan ketika menceritakan Mihirjiguna, yaitu:
Nama-nama orang, di antaranya:
• Bandan, ini adalah tujuan utama Mihirjiguna bertolak ke Jawahkatra (Jayakarta) atau Batavia. Mihirjiguna ingin melakukan sesuatu untuk membebaskan orang-orang Banda.
• General, ini mengacu pada Gubernur Jendral VOC pada masa itu yaitu Jan Pieterszoon Coen (1587-1629).
• Gurnadur/Gurendur, adalah sebutan untuk Gubernur VOC di Ambon. Pada masa Mihirjiguna itu berturut-turut adalah Steven van der Haghen atau Warhaga (1618-1618) dan Herman van Speult atau Aspel (1618-1625).
• Inggris (sudah jelas)
• Jipun/Jipan/Jupun (sudah jelas)
• Feranggi (sudah jelas)
Nama-nama tempat, di antaranya:
• Malaka (sudah jelas)
• Jambi (sudah jelas)
• Laut Merah (sudah jelas)
• Hollandes/Wolanda (sudah jelas)
• Masilpatani, adalah Masulipatnam atau Machilipatnam, sebuah kota di Distrik Krishma, Negara Bagian Andhra Pradesh.
• Keling, sebutan untuk India.
• Tunapatnam, alias Patnam penghasil ikan tuna. Kota di India yang disebut dengan hasil ikannya.
• Pujiciri/Pudiceri, adalah sebutan untuk Puducherry atau Pondicherry, koloni Perancis di India.
• Tirubambu, nama lain dari Thirumalarajapatnam, di India.
• Tirumulawasir, adalah penulisan untuk Thirumulavasal, kota di India.
• Kunmuri, aslinya Konimere atau Kanyimedu, Karimedu di Distrik Madurai, Negara Bagian Tamil Nadu, India.
• Nagahpatan, aslinya Nagapatnam atau Negapattinam di Tamil Nadu, India.
• San Tumi, sebutan untuk nama katedral Saint Thome.
• Nona Sinyora di Mundi, nama paroki Katolik: Nossa Senhora do Monte.
• Gulgonda, yang dimaksud mungkin Golkonda (Golconda), pelabuhan di Hyderabad, Telangana, India. Kota yang dikenal sebagai penghasil mutiara.
• Palikat, nama aslinya Pulicat atau Pazhaverkadu, Distrik Thiruvala, Negara Bagian Tamil Nadu
• Puluh Merkata, yaitu Pulau Merkata atau Rakata, nama lain Krakatau
• Tanjung Cina (sudah jelas)
• Banten (sudah jelas)
• Jawahkatra, sebutan untuk Jayakarta/Jakarta
• Betawih, nama lain Batavia/Betawi
Dalam Fasal XXV itu, Imam Rijali menyebutkan juga peristiwa sakit dan wafatnya Mihirjiguna. Ini semakin meneguhkan kembali, bahwa peristiwa yang tercantum di dalam Hikayat Tanah Hitu itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Transkripsinya berbunyi demikian:
“Entah berapa antaranya, maka Mihirjiguna sakit. Sehingga enam hari dengan kehendak Allah ta`ala wafat meninggal negeri fana datang kepada negeri yang baka pada bulan Rabiu’l-awal dua belas hari pada tahun [1032] Ha, pada malam Ahad.”
MENGHITUNG TAHUN KEWAFATAN MIHIRJIGUNA
Berdasarkan catatan singkat dan satu-satunya dalam naskah itu, kita bisa menentukan tahun kewafatan Mihirjiguna berdasarkan Hisab Urfi. Meskipun, tentu saja pendekatan secara kronologis sejarah juga dapat mendekati perkiraan. Namun, untuk akurasi penanggalan perlu menggunakan rumus penanggalan yang sudah teruji.
Dari segi kronologi sejarah, peristiwa itu –yaitu Mihirjiguna bertolak ke Jawahkatra (Jayakarta)– tidak lama setelah peristiwa pembantaian penduduk Banda (Bandan). Peristiwa itu tercatat dalam sejarah terjadi pada 8 Mei 1621. Gubernur Jendral VOC Jan Pieterszoon Coen turun langsung melakukan pembantaian di Banda. Peristiwa itu dikenal sebagai Banda Moor atau Genocida Banda.
Sebagai pihak yang memiliki hubungan dengan Banda, Hitu –dalam hal ini Mihirjiguna– berupaya ingin membebaskan tahanan VOC itu dan mengembalikan mereka ke Banda lagi. Atau sekurangnya, para buangan tersebut dapat tinggal di Ambon. Namun, rencana Mihirjiguna ternyata gagal. Salah satu kegagalan itu adalah akibat dari kelakuan orang Banda sendiri di tempat pembuangan (Batavia).
Bila dilihat berdasarkan jabatan gubernur, yang ditulis sebagai gurendur atau gurnadur dalam naskah itu, maka akan terlihat jelas juga. Nama-nama Warhaga dan Aspel disebutkan oleh Imam Rijali dalam naskah itu. Warhaga yang dimaksud adalah Steven van der Haghen, yang menjabat sebagai Gubernur VOC di Ambon pada 1616-1618. Sedangkan nama Aspel adalah penulisan untuk nama Herman van Speult, Gubernur VOC di Ambon pada 1618-1623.
Dari segi Hisab Urfi, indikator yang bisa diulik adalah penanggalan wafatnya Mihirjiguna pada 12 Rabi’ul Awal 1032 Tahun Ha (ها), hari Sabtu malam Ahad. Bila menggunakan Hisab Urfi, maka ini bertepatan dengan 14 Januari 1623 (Masehi) atau 12 Mulud 1544 (Jawa). Namun, untuk siklus tahunnya bukan huruf Ha (ها), melainkan Ba (ب).
Bila dipaksakan peristiwa itu terjadi pada tahun Ha (ها), maka itu seharusnya terjadi pada 1 Desember 1626 (Masehi) atau 12 Mulud 1548 (Jawa) atau 12 Rabi’ul Awal 1036 (Hijriah). Namun, ada yang tidak cocok, yaitu mengenai kepastian hari wafatnya. Sebab, 12 Rabi’ul Awal 1036 H itu jatuh pada hari Selasa Kliwon, bukan Ahad malam alias hari Sabtu.
Perjalanan dari Ambon ke Jakarta.dengan menggunakan kapal Delf pada masa itu diperkirakan memakan waktu berbulan-bulan. Sedangkan dari Jakarta ke Keling (India) dan balik lagi ke Jakarta juga berbulan-bulan lamanya. Anggap saja keseluruhan perjalanan itu memakan waktu sekitar dua tahun. Maka, kewafatan Mihirjiguna memang terjadi pada tahun 1623 Masehi.
P E N U T U P
Mengulik titimangsa kewafatan Mihirjiguna sebagaimana rute perjalanannya ke India, sangat menarik untuk dilakukan. Ini karena beberapa faktor:
• Penulis Hikayat Tanah Hitu menulis peristiwa itu dengan ketelitian yang tinggi. Sehingga kita bisa mengujinya dengan sejarah umum dunia.
• Wawasan Ilmu Bumi (Ilmu Zamin atau Geografi) Imam Rijali sangat mumpuni. Dengan tepat Imam Rijali menuliskan tempat-tempat yang disinggahi oleh Mihirjiguna pada masanya. Kadang dicantumkan juga pembandingnya.
• Bila Kitab Hikayat Tanah Hitu ditulis pada 1653-1662, maka kewafatan Mihirjiguna terjadi 30 tahun sebelumnya. Adalah sesuatu yang cukup sulit untuk mengingat peristiwa yang berlalu lebih dari tiga dasawarsa.
• Saat menulis Hikayat Tanah Hitu, usia Imam Rijali diperkirakan sudah memasuki 63 tahun.
• Kemungkinan Mihirjiguna juga meninggalkan catatan tertulis perjalanannya ke India tersebut dan dipakai oleh Imam Rijali untuk menyusun Fasal XXV itu.
—o0o—
Selesai disusun di Wayame, Kota Ambon pada Selasa, 14 April 2020 Masehi bertepatan dengan 20 Sya’ban 1441 Hijriah bertepatan Selasa Kliwon, 20 Rowah 1953 Jawa
Disusun oleh:
Dr. R.A. Muhammad Jumaan
- Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-agama se-Indonesia (FORMASAA-I) 2018-2020
- Pendiri/Direktur Pusat Kajian Manuskrip Islam & Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts & Philologi) Ambon, Maluku
No Responses