Imam Al-Mawardi suatu kali pernah mengutip seorang penyair, Ibrahim bin Hassan:
“Sebaik-baik pemberian Allah kepada manusia adalah akalnya. Tiada satupun kebaikan yang mampu mendekatinya.
Bila Yang Maha Pemurah telah menyempurnakan akal seseorang, telah sempurna pulalah akhlak dan hajat-hajatnya.”[1]
Manusia, seperti diungkapkan Professor Cope, ahli Paleontologi dan Evolusi asal Amerika pada abad 19 M, ternyata lebih inferior dibandingkan hewan-hewan tertentu dalam ketajaman beberapa indra dan kekhasan berbagai struktur fisik. Ia tak dapat bersaing dengan mamalia-mamalia lain dalam perkembangan gigi dan seluruh gigi nya pun terbukti primitif; hidungnya tidak dapat memberikan pelayanan sebaik hidung anjing; menyoal penglihatan, elang memiliki mata yang jauh lebih baik; sendi pergelangan kaki domba lebih kuat dan lebih sulit untuk mengalami kerusakan daripada sendi yang sama pada manusia; kaki kuda terdiri dari suatu ujung yang padat dan elastis yang berfungsi sebagai pijakan berlari sewaktu tumitnya terangkat ke udara dan tidak menyentuh tanah sehingga hewan itu mampu meraih kelentingan dan kecepatan gerak diatas kemampuan plantigrade manusia. Demikian juga, dalam kajian embriologi evolusioner, kita akan mendapati kenyataan bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia pada hakikatnya tidak jauh beda dengan pertumbuhan dan perkembangan hewan[2]. Ringkasnya, manusia secara badani tidak memiliki keistimewaan khusus yang membuatnya unggul di atas hewan, ia justru digolongkan ke dalam Kerajaan Animalia secara taksonomik.
Bersamaan dengan semua keterangan tersebut, manusia diakui sebagai makhluk tercerdas, malahan satu-satunya makhluk yang mampu menancapkan dan melanggengkan peradabannya di muka bumi ini. Kenyataan demikian dengan jelas tergambar dari penyematan nama Homosapiens yang berarti ‘manusia cerdas‘ untuk spesies kita. Tentu, hal ini tidak serta-merta terjadi dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor tertentu yang memengaruhinya. Faktor pembeda yang menjadi kunci dalam hal ini adalah akal (reason).
Akal secara etimologis berasal dari bahasa Arab العقل yang berarti المنع‘ ‘mencegah’, yakni karena akal mencegah pemiliknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak patut.
Secara definitif, sebagian ulama menjelaskan akal sebagai berikut:
“Sebuah kekuatan dan insting yang diberikan Allah Taala dalam diri manusia dengan penguasaan terhadap ilmu-ilmu naẓarī supaya ia dapat dibedakan dari hewan.”[3]
Pendefinisian ini sangat menarik sebab yang diketengahkan adalah ilmu nazari. Dalam kajian ilmu mantik, ilmu naẓari adalah kebalikan dari ilmu ḍarūrī. Artinya, ilmu naẓari hanya dapat diperoleh setelah melalui tahap-tahap pembelajaran tersendiri, berbeda dengan ilmu ḍarūrī yang telah tertanam dalam kemampuan naluriah manusia. Sebagai contoh, seseorang akan mahir bermain tenis meja hanya bila ia terus-menerus berlatih dan meningkatkan skill juga tekniknya. Namun, seseorang tidak perlu belajar makan atau minum karena kedua hal itu merupakan keniscayaan yang pasti dilakukan manusia, bahkan oleh bayi yang baru lahir sekalipun.
Hewan-hewan lain, seperti simpanse yang berkerabat paling dekat dengan manusia, tidak memiliki kemampuan seperti itu. Misalnya, dalam konteks imitasi, studi menunjukkan bahwa simpan-se memang dapat meniru perilaku orang lain, tetapi peniruannya itu terbatas pada produksi-ulang aksi yang dilakukan oleh orang lain tersebut, bukan pada gerakan kinematiknya. Manusia, kontras nya, dapat menguasai tujuan akhir dan gerakan kinematik sekaligus[4]. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manusia berpotensi untuk terus maju dalam kecerdasannya, sedangkan simpanse dan hewan-hewan lain yang lebih rendah tingkatannya cenderung mengalami stagnasi.
Sangat mungkin terjadi bahwa, disebabkan oleh hasratnya yang amat tinggi untuk maju, manusia ingin mencoba-coba sesuatu yang baru. Hanya saja, sesuatu yang hendak dicobanya itu belum tentu bermanfaat baginya, malahan bisa saja menimpakan kerugian kepadanya. Melihat hal ini, berdasarkan ilmu-Nya yang sempurna dan penuh hikmah, Allah Taala telah berkehendak untuk membimbing manusia agar ia tidak melewati pakem-pakem yang hadir sebagai konsekuensi logis dari kepemilikan akal tadi. Oleh karena itu, Dia mengutus para nabi selaku penyuluh dan juru ingat agar manusia senantiasa mempergunakan akalnya semaksimal mungkin untuk kebaikan dan agar ia tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang justru akan menyulitkannya. Wujud pertama dalam silsilah kenabian yang suci ini adalah Hadhrat Adam AS.
Silsilah kudus ini terus berlangsung seiring dengan kemajuan peradaban manusia. Tuhan telah menyebutkan bahwa tidak ada satupun kaum, kecuali pernah diutus kepada mereka paling tidak seorang rasul[5] dan rasul itu berbicara dengan bahasa mereka[6]. Ajaran yang dibawa mereka tidak lain dan tidak bukan adalah petuah-petuah yang akan mengantarkan tiap kaum itu kepada puncak kesuksesan. Kita dapat mengambil Bani Israil sebagai contoh. Menurut keterangan alkitabiah, Bani Israil diperbudak selama 400 tahun[7] di Mesir sebelum kedatangan Nabi Musa AS. Namun, begitu Nabi Musa AS datang, mereka berhasil lepas dari perbudakan dan pelan-pelan merintis sebuah nasion besar. Puncaknya, 400 tahun kemudian, mereka mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Raja Daud AS dan Raja Sulaiman AS[8]. Kesemua ini menunjukkan bahwa silsilah kenabian yang didasarkan wahyu ilahi tidaklah bertentangan diametral dengan akal, ia justru berperan layaknya stimulan yang dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas kerja akal budi manusiawi.
Taktala perkembangan akal telah sampai pada titik kulminasinya dan membutuhkan tuntunan yang paling besar, Allah Taala mengutus Nabi Suci Muḥammad SAW agar manusia dapat berakhlak (takhalluq) dengan akhlak-akhlak ilahi yang paling murni dan luhur. Allah Taala pun menjadikan Nabi Suci SAW sebagai sebuah mi’yar atau refleksi sempurna yang memancarkan personifikasi semua nabi terdahulu. Dengan kata lain, nabi-nabi terdahulu itu pada hakikatnya merupakan manifestasi-manifestasi kecil dari Nabi Suci SAW sebelum wujud hakiki beliau hadir di dunia. Tepatlah demikian apa yang digambarkan Hadhrat Masih Mauud AS:
“Bagi beliau SAW dua ayat Musa AS dan ruh Ibnu Maryam AS serta ‘irfan Ibrahim AS dalam agama dan tingkatan kerohanian.”[9]
Kepengikutan terhadap beliau adalah kunci majunya akal. Hadhrat Masih Mauud AS. bersabda lagi:
“Beliau SAW menunjuki para pecinta ke jalan yang teguh serta mencahayai dan menguatkan pikiran-pikiran yang dihasilkan akal mereka.”[10]
Dunia menyaksikan betapa hebatnya kesuksesan yang dicapai oleh para Sahabat ra berkat meneladani perilaku-perilaku Rasulullah SAW secara menyeluruh. Tidak perlu lebih dari 400 tahun seperti Bani Isrrail, kurang dari seabad pun sudah lebih dari cukup bagi mereka untuk menancapkan panji-panji kejayaan di hampir sepertiga bagian dunia, khususnya dunia lama.
Thomas Carlyle menuturkan:
“To the Arab Nation it was as a birth from darkness intolight; Arabia first became alive by means of it. A poorshepherd people, roaming unnoticed in its deserts since thecreation of the world: a Hero-Prophet was sent down tothem with a word they could believe: see, the unnoticedbecomes world-notable, the small has grown world-great;within one century afterwards, Arabia is at Grenada on thishand, at Delhi on that;—glancing in valour and splendourand the light of genius, Arabia shines through long ages overa great section of the world. Belief is great, live-giving.The history of a Nation becomes fruitful, soul-elevating,great, so soon as it believes. These Arabs, the man Mahomet, and that one century,—is it not as if a spark hadfallen, one spark, on a world of what seemed black unnoticeable sand; but lo, the sand proves explosive powder,blazes heaven-high from Delhi to Grenada! I said, theGreat Man was always as lightning out of Heaven; the restof men waited for him like fuel, and then they too wouldflame.”[11]
“Bagi bangsa Arab, hal itu merupakan suatu kelahiran dari kegelapan menuju cahaya; Arabia pertama kali menjadi hidup melalui sarana itu. Suatu kaum pengggembala yang miskin, berkeliaran tak tercatat dalam gurun-gurunnya sejak penciptaan dunia; seorang nabi pahlawan diutus kepada mereka dengan sebuah kata yang dapat mereka imani; lihatlah, yang tak tercatat menjadi yang patut dicatat dunia, yang kecil telah tumbuh menjadi orang besar dunia; dalam satu abad mendatang, Arabia telah membentang di Granada di satu sisi, dan di Delhi di sisi lain;—memandang dengan keberanian dan kemegahan serta cahaya kegeniusan, Arabia bersinar dalam jangka waktu yang lama pada suatu belahan-bumi yang besar. Iman adalah agung, memberikan kehidupan. Sejarah suatu bangsa menjadi berbuah, mengangkat jiwa, agung, segera ketika ia beriman. Orang-orang Arab ini, sosok Muḥammad SAW dan satu abad itu;— ia bukanlah seolah-olah bunga api yang telah gugur, satu bunga api, jatuh kepada sebuah dunia yang terlihat sebagai pasir hitam lagi tak-tercatat; tetapi amboi, pasir itu menyediakan bumbu yang eksplosif, membakar langit nan tinggi dari Delhi sampai Granada! Aku katakan, Manusia Agung itu selalu bagaikan halilintar yang muncul dari langit; manusia selainnya laksana bahan bakar baginya, dan mereka pun nantinya akan ikut berkobar.”
Akan tetapi, bukan teror yang mereka sebarkan kepada dunia. Sebaliknya, ilmu dan petunjuklah yang dipersembahkan mereka kepada manusia. Hadhrat Ahmad AS lagi-lagi melukiskan kenyataan ini dengan sangat indah:
“Pernahkah engkau mengenal suatu kaum yang mati seperti mereka: tidur bagai onggokan bangkai, jahil, nan saling bermusuhan? Kemudian, Nabi SAW.ini membangunkan mereka hingga mereka menjadi bersinar dan dicemburui dalam ilmu dan hidayah.”[12]
Ilmu dan petunjuk yang didapat para Sahabat RA tidak dipendam begitu saja tanpa ada pewarisan. Sebaliknya, berkat tuntutan akal mereka yang telah tercahayai kecemerlangan nabawi, mereka mendidik generasi berikutnya agar dapat melanjutkan kemajuan yang telah mereka peroleh. Memang, kebanyakan ilmu yang mereka ajarkan adalah ilmu-ilmu keagamaan. Akan tetapi, mereka tidak pernah melarang orang-orang untuk menyelami hikmah-hikmah yang terkandung dalam ilmu-ilmu dari jenis yang lain sebagaimana Imam mereka, Nabi Suci Muhammad SAW pernah bersabda:
“Perkataan hikmah adalah barang yang hilang dari seorang mukmin. Oleh karena itu, di manapun ia menemukannya, ia paling berhak atasnya.”[13]
Hasilnya, peradaban Islam yang juga diakui para sejarawan Barat merajai dunia hingga 600 tahun pasca kewafatan Nabi Suci SAW, terutama saat Daulah Abbasiyyah berada di bawah kepemimpinan Harun Ar-Rasyid dari (786-809 M). Dalam kata-kata Robin Doak, ―The Islamic Empire is the most advanced civilization of its time.” Karya-karya Aristoteles, Euclid, Galen, Hippocrates, Plato, dan Ptolomeus diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria lalu ke dalam bahasa Arab.[14]Ilmuwan-ilmuwan Muslim pun tampil dengan kemilau pada abad-abad itu. Nama-nama seperti Jabir bin Hayyan, Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Al-Mas‘udi, Abu al-Wafa’, Al-Biruni, ‘Umar Khayyam, Ibnu Rusyd, At-Tusi, dan Ibnu an-Nafis menghiasi angkasa sejarah sains dengan cahaya mereka yang cemerlang[15].Berkat sumbangsih mereka, Eropa dapat bangkit lagi dari tidurnya beberapa abad kemudian.
Sayangnya, sewaktu berada di puncak kekuasaan, kaum Muslimin menjadi lalai terhadap perintah-perintah ilahi. Mereka tidak lagi menggunakan akal untuk kemaslahatan-kemaslahatan manusia, tetapi mereka mulai merambah dan menjamah hal-hal yang dilarang serta bertentangan dengan keluhuran akal itu sendiri. Otoritas, semisal Ibnu Katsir, melaporkan bahwa Khalifah Terakhir Abbasiyyah, Al-Mustasim Billah, pernah menghalalkan untuk dirinya sendiri sebuah deposito seharga 100.000 dinar milik An-Nasir Daud bin Al-Muazzam, Raja Dinasti Ayyubiyyah di Damaskus[16] Akibatnya, Allah Taala menghukum mereka dengan mengerahkan sepasukan besar bangsa asing dari timur. Ya, mereka adalah bangsa Mongol dengan Hulagu Khan selaku komandan. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Hulagu Khan datang menyerang Baghdad dengan lebih dari 200.000 pasukan pada 12 Muharram 656 H, sedangkan tentara Kerajaan pada saat itu hanya berkisar kurang dari 10.000 prajurit[17].Hasilnya dapat ditebak: kehancuran masal Baghdad dan penduduknya. Penyerangan ini terjadi selama 40 hari dan menelan korban sebanyak 800.000-2.000.000 jiwa, masih menurut Ibnu Katsir[18]. Khalifah Al-Musta’sim sendiri terbunuh pada 14 Safar 656 H dan kuburannya disembunyikan[19]. Bau bangkai yang dihasilkan dari tumpukan mayat ini mewabah pada tahun yang sama hingga ke Syiria[20].
Satu kata yang cukup mewakili tragedi zaman itu: mengerikan! Demikianlah. Namun, itulah yang terjadi kala umat Islam tidak lagi mengarahkan akalnya pada kegunaan yang baik. Sejak saat itu, peradaban yang telah dibangun umat Islam selama ratusan tahun tidak pernah dapat menyeruak kembali, bahkan hingga sekarang. Sebaliknya, kemunduran demi kemunduranlah yang terus melanda tubuh umat yang malang ini. Puncaknya adalah tahun 1274 H sesuai dengan Hisab al-jumal dalam ayat:
“Dan Kami amat berkuasa untuk menghilangkan air yang telah Kami turunkan dari langit ke bumi itu.”[21]
[22]
Tahun 1274 H bertepatan dengan tahun 1857 M. Pada tahun itu, tepatnya 21 Mei 1857 M, Dinasti Mughāl di India runtuh setelah Delhi takluk di bawah kekuasaan Inggris dengan tertangkapnya Sultan Bahadur Syah Zafar. Seorang cucu dan dua putranya ditembak lalu jenazah mereka dipajang dan dipamerkan di kotwali kantor polisi setempat. Sang Sultan sendiri diasingkan ke Rangoon, Burma, dan wafat di sana pada 1862[23].
Terlepas dari segala dosanya, Allah Taala telah berjanji untuk memelihara agama yang fitri dan umat yang dikasihi ini dari kebinasaan total. Oleh sebab itu, Dia telah mengutus hamba-Nya di tanah yang menjadi titik terendah kemerosotan kaum Muslimin, di tanah tempat kehinaan dan kepahitan yang memilukan itu terjadi, tanah Hindustan. Hamba itu digelarinya dengan julukan Al-Masih agar ia dapat membuktikan dengan dalil-dalil akal yang cemerlang kebatilan agama-agama lain, terutama Kekristenan. Selain itu, ia pun disematkan pangkat Al-Mahdi karena ia bertugas untuk menampilkan ke hadapan dunia keunggulan Islam yang suci dengan nalar akal yang bergemerlapan pula. Di awal permunculannya, hamba itu menulis sebuah kitab yang amat masyhur di kalangan awam dan khawas:
“Bukti-Bukti Ahmadi Atas Kebenaran Kitab Allah, Alquran, dan Kenabian Muhammad SAW”
Hamba itu telah mengembali kan nur-e-qalb dan nur-e’aql milik Hadhrat Muhammad Mustafa SAW yang telah hilang dari umat Islam. Hanya dengan dua nur itulah seseorang dapat berakhlak dengan akhlak-akhlak ilahi selaku penikmat nur-e-waḥy[24] dan wahyu ini akan menutupi cacat yang sangat mungkin timbul akibat penggunaan akal yang salah kaprah oleh manusia[25]. Hamba itu mampu berbuat demikian sebab ia telah sedemikian rupa fana dalam wujud Junjungannya SAW sehingga perwujudannya tak-lain dan tak-bukan adalah perwujudan Junjungannya SAW sendiri. Hamba itu menuturkan:
“Dan Tuhanku telah mencelupkanku ke dalam limpahan cahaya beliau. Jadilah Aku, dengan demikian, seorang Ahmad berkat pancaran Ahmad SAW”[26]
Masih di tempat yang sama, hamba itu berseru-seru:
“Dan ini berkat sang cahaya yang namanya adalah Ahmad SAW. Biarlah ruhku menjadi tebusan untuk engkau, wahai Muhammad SAW, selama-lamanya!”[26]
Ya, hamba itu bukanlah siapa-siapa, melainkan Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad AS dari Qadian, India. Beliau datang ke dunia sebagai salah satu rangkaian dari silsilah para penyuluh dan juru ingat terdahulu untuk mengingatkan kembali manusia, khususnya para pengikut Nabi Suci Muhammad SAW, agar mereka memaksimalkan potensi kebaikan yang telah ditanam di dalam akal mereka oleh Allah Taala dalam menebar manfaat kepada sesama makhluk serta agar mereka senantiasa berusaha sekeras mungkin untuk menghindarkan diri dan orang lain dari kehancuran.
Beliau telah mangkat dari alam yang fana ini lebih dari seabad lalu, 26 Mei 1908 M atau 24 Rabi-uts-Tsani 1326 H. Setelah itu, tongkat kepemimpinan dalam Jamaah diteruskan secara estafet melalui institusi khilafah. Sebagai khalifah pertama, terpilih Hadhrat Maulana Nur-ud-Din RA. Beliau memimpin Jamaah selama enam tahun, dari 27 Mei 1908 sampai 13 April 1914. Sebagai khalifah kedua, terpilih Hadhrat Mirza Basyir-ud-Din Mahmud Ahmad RA. Beliau memegang tampuk kekhalifahan selama 51 tahun, dari 14 April 1914 sampai 8 November 1965. Pada masa beliau, Jamaah Ahmadiyah mulai melebarkan sayap-sayap misi ke seantero dunia. Sebagai khalifah ketiga, terpilih Hadhrat Mirza Nasir Ahmad RH. Beliau menjabat selama 17 tahun, dari 9 November 1965 sampai 9 Juni 1982. Sebagai khalifah keempat, terpilih Hadhrat Mirza Tahir Ahmad RH. Beliau mengimami Jamaah selama 21 tahun, dari 10 Juni 1982 sampai 19 April 2003. Beliau sempat mengunjungi Indonesia pada pertengahan tahun 2000. Sebagai khalifah kelima, terpilih Hadhrat Mirza Masroor Ahmad ATBA sejak 22 April 2003 hingga sekarang.
Khilafah, selaku penerus silsilah kenabian, bertugas untuk terus-menerus mengimbau dan menyeru manusia agar mereka selalu mengedepankan akal sehat dalam mengambil segala tindakan. Terlebih lagi, pada hari-hari ini, situasi dunia telah semakin genting. Mengingat hal tersebut, di akhir Khotbah Jumat yang lalu tertanggal 4 Desember 2015, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad ATBA mengingatkan para Ahmadi untuk terus-menerus berdoa agar kehancuran akibat perang dunia ditiadakan dan kedamaian kembali hadir ke muka bumi. Ketika dunia tengah sibuk menjadi hewan, bahkan lebih rendah darinya, dengan menyalahgunakan akal mereka, Khilafah senantiasa mengimbau kita untuk benar-benar menjadi insane Rabbani yang utuh dengan tidak kenal lelah berdoa agar Tuhan selalu memberi kita taufik dalammemanfaatkan potensi akal semaksimal mungkin bagi kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia. Benarlah syair kutipan Imam Al-Mawardi di atas bahwa akal yang sempurna akan membuahkan akhlak yang baik dan hal ini hanya akan dapat dicapai melalui silsilah Khilafah Ahmadiyah. [Goes]
Catatan Kaki
[1] Abū al-Ḥasan Al-Māwardī, Adab ad-Dunyā Wa ad-Dīn (Beirut: Dār Iqra‘, 1985 M/1405 H), hh. 7-8.
[2] Edward Payson Evans, Evolutional Ethics and Animal Psychology (New York: D Appleton Company, 1897), hh. 344-345.
[3] Murtaḍā Az-Zabīdī, Tāj al-„Urūs Min Jawāhir al-Qāmūs v. 30(Kuwait: Maṭba‗atu Ḥukūmati Kuwait, 1998 M/1419 H), h. 19.
[4] Kaneko T dan Tomonaga M. 2012. Relative contributions of goal representation and kinematic information to self-monitoring by chimpanzees and humans. Cognition. 125:168-178.doi.10.1016/j.cognition.2012.07.006.
[5] Q.S. 35:25.
[6] Q.S. 14:5.
[7] Keluaran 12:41
[8] I Raja-Raja 6:1.
[9] Hadhrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, Karamāt aṣ-Ṣādiqīn dalam Rūḥānī Khazā‟in v. 7 (Surrey: Islam International, 2009a), h. 90.
[10] Ibid, h. 91.
[11] Thomas Carlyle, On-Heroes, Hero-Worship, and The Heroic in History (New York: Longmans, Green, and Co, 1906), h. 75.
[12] Hadhrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, op. cit., 2009a,h. 93.
[13] Jāmi‗ at-Tirmidzī, Kitāb al-‗Ilm, Bāb Mā Jā‘a Fī Faḍl al-Fiqh ‗Alā al-‘Ibādah, no. 2687.
[14] Robin Doak, Great Empires of The Past: Empire of The Islamic World (New York, Facts on File, 2005), h. 89.
[15] Prof. Dr. Abdus Salam, ―Islam and Science: Concordance or Conflict?‖, diakses dari https://www.alislam.org/library/articles/Islam-and-Science-Concordance-or-Conflict.pdf pada 3 Desember 2015 pukul 17.22 WIB.
[16]Abu al-Fidā‘ Ismā‗īl bin ‗Umar bin Katsīr Ad-Dimasyqī, Al-Bidāyah Wa An-Nihāyahv. 15 (Damaskus: Dār Ibni Katsīr, 2010 M/1431 H), h. 319.
[17] Ibid, h. 312.
[18] Ibid, h. 315.
[19] Ibid, h. 316.
[20] Ibid, h. 317.
[21] Q.S. 23:19.
[22] Hadhrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, Izāla-e-Auhām dalam Rūḥānī Khazā‟in v. 3 (Surrey: Islam International Publications Limited, 2009b), h. 456.
[23] John Capper, Delhi: The Capital of India (New Delhi: Asian Educational Services, 1997), h. 30.
[24] Hadhrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, Barāhīn-e-Aḥmadiyya Part III (Surrey: Islam International Publications Limited, 2014), h. 99.
[25] Hadhrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, The Philosophy of The Teachings of Islam (Surrey: Islam International Publications Limited, 2010), h. 184.
[26]Hadhrat Mīrzā Ghulām Aḥmadas, op. cit., 2009a, h. 93.
[27]Ibid, h. 91.
Sumber:
Iffat Auliya
Sinar Islam: Edisi 2 Februari 2016
No Responses