Menelusuri Jejak Ottow dan Geissler | Penginjil Tukang Pertama Yang Menobatkan Tanah Papua

Menelusuri Jejak Ottow dan Geissler | Penginjil Tukang Pertama Yang Menobatkan Tanah Papua

Masroor Library – Pelabuhan Ketapang di Pasir Putih, Manokwari, Papua Barat itu tampang masih lengang, Sabtu (22/8-2020) pagi itu. Hanya beberapa orang yang lalu-lalang. Persis di bawah pohon ketapang raksasa, seseorang mengenakan baju batik dan berkopiah hitam (peci Bung Karno) tampak sedang menunggu sesuatu. Pandangannya tidak lepas dari Pulau Lemon dan Pulau Mansinam. Deburan ombak yang menghantam tiang-tiang jembatan dan talid pantai menimbulkan bunyi yang berirama.

Sesaat kemudian seseorang datang mendekatinya. Orang itu tadinya berada di ujung jembatan pelabuhan. Setelah berbincang dengan pengemudi perahu, dia mendekat ke bawah pohon ketapang. Keduanya tampak membicarakan sesuatu. Tidak salah lagi, bea sewa perahu yang sedang mereka berdua percakapkan. Setelah seorang lagi yang ditunggu tiba, ketiganya kemudian memutuskan naik ke atas perahu.

Orang berpakaian batik tadi tidak lain adalah Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan. Sudah 20 hari, Mubalig yang juga Peneliti Manuskrip Kuno dan Sejarah Islam di Maluku, Papua-Papua Barat itu berada di Manokwari. Tujuan mengunjungi Pulau Mansinam adalah mencari dan menelusuri jejak lain dari Ottow & Geissler yang selama ini kurang terungkap di masyarakat.

Perahu itu bergerak membelah air laut yang jernih dan mulai meninggalkan Pelabuhan Ketapang. Menurut informasi, jarak sejauh lebih satu kilometer itu akan ditempuh dalam waktu sekitar lima menit saja. Meskipun di dalam Teluk, ternyata ombak disana lumayan terasa. Perahu dengan cadik di kanan-kiri itu sempat bergoyang. Tampak di depan sana, Pulau Mansinam terlihat semakin dekat.

Perahu itu kemudian sandar persis di depan gapura yang bertuliskan “Welcome to Mansinam, Gospel Island”. Gapura itu terbuat dari rangkaian buah kelapa dengan atap rumbia di atasnya. Tulisan berwarna kuning tadi terukir pada papan persegi empat dengan warna dasar gelap. Ketiga penumpang itu kemudian naik ke darat dan menanyakan alamat pastori. Pdt. Novita Burwos, S.Th. adalah orang pertama yang akan ditemui.

Sayangnya, Ibu Pendeta (Bupen) Novita ternyata sedang ada acara di Manokwari. Pendeta Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP) “Laha-Roi” Mansinam tersebut merupakan keturunan dari pekabar Injil bermarga Burwos. Dia adalah pendeta kelima yang ditugaskan untuk menggembala umat di Pulau Mansinam. Rombongan hanya diterima oleh paitua (suami) Pdt. Novita yang bermarga Rumadas tersebut.

Bertemu Kepala Adat Daniel Rumbrawer

Oleh suami Pdt. Novita, rombongan kemudian diarahkan ke rumah Ketua Majlis GKI “Laha-Roi”. Sayangnya, beliau juga sedang tidak berada di rumah. Menurut info, beliau juga sedang ada kegiatan di Kwawi, Manokwari. Rombongan lalu diantarkan ke rumah Kepala Adat, Daniel Rumbrawer. Setelah menunggu beberapa saat di teras, pencinta sejarah itupun keluar menemui para tamu.

Banyak hal yang disampaikan oleh Kepala Adat tersebut. Pemilik nama yang dalam bahasa Ibrani artinya “Tuhan Yang Maha Bijaksana” tersebut menerangkan asal-usul penamaan tempat di Manokwari atau Papua. Menurut dia, nama-nama itu berasal dari bahasa Numfor. “Nama-nama Manokwari, Oransbari dan Manansbari juga berasal dari bahasa Numfor,” kata dia.

“Terkait nama Mansinam, tadinya adalah nama sebuah pulau di dekat Arfai, Anday. Karena tenggelam, penduduknya sebagian pindah ke Pulau Manansbari yang kini bernama Mansinam. Pulau yang ada disana lalu disebut dengan nama Mansinam Bemuk. Lokasinya di sekitar Pantai Dosa sekarang,” papar dia.

Dalam pertemuan beberapa jam tersebut, Daniel Rumbrawer memperlihatkan beberapa buku mengenai perkembangan Pekabaran Injil di Mansinam dan umumnya Tanah Papua. Di antaranya buku “Sejarah Gereja” yang ditulis oleh Dr. H. Berkhof dan Dr. I.H. Enklaar. Buku-buku lainnya, di antaranya ada buku “Teluk Doreh: Ladang Pertemuan Injil dan Budaya Suku Doreri”, buku “Dari Mansinam Sampai ke Ujung Bumi”, buku “Ajaib di Mata Kita” Jilid I dan II karya Dr. F.C. Kamma.

Kepala Adat Daniel Rumbrawer sangat terkesan dan merasa gembira mendapat kunjungan seorang Mubalig dan Peneliti Sejarah dan Manuskrip Kuno Islam serta Kekristenan di Maluku, Papua-Papua Barat tersebut. Sebagai pelengkap, dia menyarankan agar mengunjungi situs pendaratan Ottow dan Geissler yang terdapat di bibir pantai, 5 Februari 1855 lalu.

Menelusuri Jejak Penginjil – Tukang Pertama di Tanah Papua

Nama Ottow dan Geissler seolah tidak bisa dipisahkan. Dimana Ottow disebut, disana juga nama Geissler selalu bersanding. Seolah-olah, Ottow-Geissler adalah satu nama. Bahkan seorang penulis Sejarah Gereja asal Belanda menyebut keduanya dengan “kedua bersaudara yang berlayar ke Irian” (de twee broers die naar Irian zeilden).

Ottow memiliki nama lengkap Carl Wilhelm Ottow. Ottow kecil dilahirkan di Luchenwalde, Mark Bradenburg, Jerman pada 24 Januari 1827. Meskipun hanya ibunya yang pengikut gereja Lutheran yang terbilang taat, namun Ottow kecil memiliki keinginan dan semangat kuat menjadi seorang pekabar Injil. Hingga pada suatu saat, Ottow mendengar khotbah Pdt. Johannes Gossner. Semangat itu semakin membuncah lebih kuat lagi. Gossner adalah pendiri Missi Penginjilan di Jerman.

Pdt. Gossner dan O.G. Heldring (1804-1876) pernah melakukan pertemuan untuk membahas masalah zendeling (missi) diluar Eropa. Pada tahun 1847, dibentuklah perhimpunan Penginjil-Tukang (Zendelings Werklieden) di Belanda. Pada masa persiapan calon-calon pekabar Injil inilah, Ottow berjumpa dengan Geissler.

Geissler memiliki nama lengkap Johan Gottlob Geissler, dilahirkan pada 18 Februari 1830 di Langen-Reichenbanck, Jerman. Sejak remaja Geissler sudah terlibat aktif dalam kegiatan gerejawi. Orang tuanya adalah pengikut gereja Lutheran yang taat. Hal inilah yang menjadi modal semangat untuk melakukan pekabaran Injil di luar Eropa.

Setelah mendapatkan pengetahuan teologia (teori dan praktek) serta keterampilan duniawi, pada 26 Juni 1852, keduanya kemudian dilepas oleh Heldring untuk melakukan pekabaran Injil ke Hindia-Belanda (Indonesia). Heldring sendiri memimpin ibadah pengutusan itu. Dengan menumpang kapal Abel Tasman, keduanya berangkat dari Rotterdam dan tiba di Batavia (Jakarta pada 7 Oktober 1852. Di antara mereka ada juga yang diutus ke Pulau-pulau Sangir-Talaud dan Halmahera, sedang Ottow dan Geissler khusus untuk Papua.

Jejak-jejak Terserak Ottow dan Geissler

Terdampar di Batavia 2 Tahun Lamanya

Kurang lebih satu tahun setengah, Ottow dan Geissler berada di Batavia. Mereka berdua menunggu surat izin yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Selama di Batavia, Ottow pergi ke kampung Makassar dan membuka sekolah bagi anak-anak Tionghoa dan Sunda. Begitu juga Geissler menyelenggarakan suatu sekolah juga.

Selama menunggu itu, akhirnya surat izin pun diterbitkan juga. Sayangnya, surat izin (pass) itu hanya sampai di Ternate. Izin itu diupayakan oleh suatu lembaga zending di Batavia bernama “Het Genootschap voor Inlen Vitwendige Zending”. Lembaga inilah yang bertugas menyokong para utusan yang datang dari Eropa.

Pada 18 Mei 1854 dilaksanakan kebaktian perpisahan bagi Ottow dan Geissler di Batavia. 12 hari kemudian, mereka berdua tiba di Ternate dan menumpang di rumah Pdt. J.E. Hoveker yang sejak 1833 menjadi pendeta di Ternate. Disini pula, Ottoe dan Geissler berjumpa dengan Duivenbode, pemilik kapal sekuner yang melayani perdagangan Kepulauan Maluku dan Papua.

Menyamar sebagai Peneliti untuk Masuk Tanah Papua

Seperti para pekabar Injil lainnya, kedua pekabar Injil-Tukang Ottow dan Geissler juga dirahasiakan profesinya ketika masuk ke Papua. Dalam catatan, mereka berdua disebut sebagai peneliti. Meskipun pada akhirnya pihak otoritas Ternate –yang mengeluarkan surat izin mengetahui yang sebenarnya–, maka dalam surat pass dituliskan sebagai missionaris atau penginjil.

Kondisi semacam ini bukan hanya dialami oleh kedua pekabar Injil asal Jerman tersebut, beberapa pendahulunya juga mengalami nasib yang sama. Tentu saja, dari segi tertentu ini akan mempermudah pergerakan mereka di masyarakat. Meskipun dari sisi lainnya, ada kekurangannya juga.

Hambatan Budaya dan Bahasa serta Identitas di Manokwari

Selama beberapa tahun berada di Mansinam dan Manokwari, Ottow dan Geissler belum menguasai bahasa setempat. Mengingat komunikasi dan kondisi waktu itu yang tidak memungkinkan, akhirnya keduanya hanya fokus dalam kegiatan internal. Pembuatan kano dan rumah tinggal juga menyita waktu mereka.

Ottow pernah mengalami kesulitan bahasa saat memberikan pelajaran bagi anak-anak. Meskipun di Batavia pernah mempelajari bahasa Belanda dan Melayu, namun kelihatannya kosakata mereka masih belum mencukupi. Nantinya, setelah menikah di Ternate, barulah istrinya lebih cepat menguasai bahasa setempat. Terbukti, hanya beberapa waktu saja, kemudian sudah muncul terjemahan Doa Bapak Kami, Injil Matius, Injil Markus dan porsion dalam bahasa Biak.

Cara Mengintensifkan Hubungan dengan Penduduk Asli Melalui Perdagangan

Untuk mengatasi rasa sepi dan juga meningkatkan hubungan dengan penduduk setempat, Ottow kemudian melakukan aktifitas perdagangan. Dia membeli hasil-hasil pertanian, perkebunan dan kerajinan dari penduduk setempat dan dijual kembali kepada saudagar di kapal van Duivenbode.

Ternyata hal ini sangat efektif, sebab secara bertahap mulai terjalin hubungan yang baik antara Ottow dengan penduduk setempat. Ottow juga dapat membeli kebutuhan pokok dan obat-obatan dari hasil transaksi tersebut.

Ottow dan Geissler Bertemu Alfred Russel Wallace, Penjelajah dan Ahli Biologi Dunia di Mansinam

Alfred Russel Wallace adalah seorang ahli Biologi yang kerap mendapatkan penghargaan internasional dalam bidang flora dan fauna. Selain Kepulauan Aru dan Ternate, ternyata Papua tepatnya di Teluk Doreh pernah dikunjungi oleh pencipta garis imajiner Wallace tersebut.

Karena rasa penasaran setelah mendengar cerita dari Sultan Ternate dan para pedagang dari Papua mengenai burung Cenderawasih, yang mengatakan hanya ada di Papua. Maka pada 25 Maret 1858, Wallace ditemani empat orang pembantunya dengan menggunakan perahu layar menyusuri Pantai Utara Papua. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi mengenai flora dan fauna di pulau paling besar yang pernah dikunjunginya.

Mereka menambatkan perahu agak jauh dari pantai sambil mempelajari situasi dari sekitar pulau pada 10 April 1858. Seorang berkulit putih dengan perahunya menyambut kedatangan tamu yang belum dikenal tersebut. Ottow mengundang Wallace ke pantai untuk sarapan dan memperkenalkan Geissler kepadanya. Begitu juga para pembantu Wallace yang ternyata bernama Ali, Jumaat, Lahagi dan Loisa.

Beberapa kali Menolong Korban Kapal Karam

Beberapa kali Ottow dan Geissler juga menolong korban kapal karam di sekitar Pulau Mansinam. Bahkan pernah menyelamatkan beberapa warga Jerman dan Belanda dari perompak di sekitar Windesi, Teluk Wondama. Tentu saja ini memerlukan perjuangan yang hebat dan modal yang besar.

Dikisahkan, bahwa suatu saat ada yang terdampar akibat kapal karam di sebelah selatan Pulau Mansinam. Korban kapal karam “Constant” pada 12 Juni 1858 tersebut sebanyak 12 orang. Karena di salah satu punggung mereka terdapat tulisan semacam doa dalam bahasa Belanda, maka penduduk Papua membawa mereka kepada Ottow. Dengan penuh kasih dan telaten, Ottow merawat dan memberi makan mereka hingga sembuh enam bulan kemudian.

Begitu juga ketika kapal dagang Jerman karam di kawasan Teluk Cenderawasih, Maret 1857, Ottow dan Geissler menyiapkan barang-barang untuk barter dengan perompak dan 22 orang lelaki untuk mendayung perahu. Setelah membuang undi, akhirnya Geissler yang jadi berangkat. Peristiwa itu terjadi pada 11 April 1857. Tiga orang berhasil diselamatkan, sedangkan yang seorang lagi sudah dibawa perompak dan dibunuh.

PENUTUP

Membaca jejak-jejak terserak Ottow dan Geissler dalam upaya menebarkan terang di kalangan penduduk Papua itu, membangkitkan imajinasi kita. Betapa 166 tahun lalu, dengan sarana-prasarana seadanya dan kemampuan komunikasi yang masih terbatas, semua hambatan tersebut dapat diatasi.

Bila kini hanya diperlukan waktu satu hari saja penerbangan dari Belanda atau Jerman ke Papua (Indonesia). Maka kita dapat membayangkan, pada masa Ottow dan Geissler, perjalanan –dengan kapal laut– itu ditempuh hampir tiga bulan lamanya. Banyak suka-duka sepanjang perjalanan, mulai dari kelengkapan persyaratan hingga jadwal kapal yang tidak menentu.

Kini, 166 tahun telah lewat. Pulau Mansinam dan Manokwari telah berubah secara signifikan. Keterbatasan yang dulu pernah dirasakan oleh Ottow dan Geissler, sekarang ini relatif tidak ada lagi. Kini tidak perlu lagi membuat kano atau membuat rumah tempat tinggal bila ingin ke Mansinam. Dengan perahu bermesin hasil sewa atau milik penduduk, hanya lima menit saja kita dapat mencapai kesana.

Begitu juga pada masa pandemi saat ini, tidak ada hambatan berarti dari segi komunikasi antara mereka yang di Tanah Besar dengan mereka yang berada di Pulau Mansinam. Komunikasi dapat dilaksanakan secara lancar menggunakan aplikasi berbasis internet.

Semoga jejak-jejak terserak dari semangat pekabaran Injil dan kemanusiaan Ottow dan Geissler dapat diteladani oleh generasi muda kita. Meskipun pada masa hidupnya, Ottow dan Geissler relatif tidak ikut mengenyam hasil jerih-payahnya, namun sejarah menjadi saksi bahwa melalui buah-buahnyalah kita mengenal mereka.

Selamat Hari Ulang Tahun Pekabaran Injil ke-166 di Tanah Papua. Damai Sejahtera menaungi Tanah Papua! []

Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan, D.D.
Mubalig Daerah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Papua Barat
Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-agama se-Indonesia (FORMASAA-I)
Direktur Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi

No Responses

Tinggalkan Balasan