Masroor Library – Wahyu makna aslinya adalah al-isyaratus-sarii‘ah (Al-Mufradat fi Ghara’ibil-Quran) artinya isyarat yang cepat yang dimasukkan ke dalam hati seseorang atau ilqoo’un fir-rou‘i artinya yang disampaikan dalam hati.
Pengertian Wahyu
Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah ta’ala berbicara kepada para hamba-Nya dengan tiga cara, yaitu:
- Dia berfirman secara langsung kepada mereka tanpa perantara;
- Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib) dalam keadaan jaga atau ru’ya (penglihatan gaib) dalam keadaan tidur, yang dapat ditakwilkan atau tidak atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka (Ilham). Inilah arti kata “dari belakang tabir”; dan
- Tuhan mengutus seorang Rasul atau seorang malaikat yang menyampaikan Amanat-Nya. Sebagaimana firman Allah ta‘ala berikut:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan tidaklah mungkin bagi manusia agar Allah berfirman kepadanya, kecuali dengan wahyu langsung atau dari belakang tabir atau dengan mengirimkan seorang Rasul guna mewahyukan dengan seidzin-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Dia Maha-luhur, Maha-bijaksana (Asy-Syura, 42:52)
Dalam praktiknya, semua cara Allah ta‘ala berbicara kepada para hamba-Nya itu pada umumnya orang menyebutnya dengan istilah wahyu. Dengan wahyu itu Dia menampakkan Wujud dan Keagungan-Nya kepada mereka. Allah ta‘ala dapat dibuktikan sebagai Tuhan Yang Maha hidup hanya jika Dia bercakap-cakap dengan hamba-hamba-Nya. Tidak masuk akal bahwa Allah ta‘ala tidak lagi berbicara di waktu sekarang, padahal Dia selalu berbicara kepada hamba-hamba pilihan-Nya di masa yang lalu. Tidak ada sifat Allah ta‘ala yang dapat dianggap tidak lagi bekerja.
Anugerah Wahyu Ilahi dapat diterima bahkan sekarang ini juga, seperti halnya telah diraih oleh umat manusia di masa yang lalu.
Wahyu itu dimaksudkan pula untuk memberikan kesegaran dalam kehidupan ruhani manusia dan untuk memungkinkan manusia bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Khaliqnya dan Rabbnya.
Oleh karena itu dalam Al-Quran wahyu itu diibaratkan dengan air, sebagaimana firman-Nya berikut ini:
وَالَّذِي نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَنْشَرْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ تُخْرَجُونَ
Dan Dialah Yang menurunkan air dari awan dengan kadar tertentu, dan dengan itu Kami menghidupkan wilayah yang mati – dengan cara demikian pulalah kamu pun akan dibangkitkan (Az-Zukhruf, 43:12)
Kata-kata ini berarti seperti halnya tanah yang kering dan gersang pun mulai hidup kembali dengan segar, bila hujan jatuh di atas tanah itu, demikian pula kaum yang secara akhlaq dan ruhani telah mati, memperoleh hidup baru dengan perantaraan wahyu Ilahi Yang Mahasuci.
Makhluk yang Menerima Wahyu
Mengingat setiap makhluk diciptakan mempunyai tugas dan tujuan, maka untuk dapat melaksanakan fungsinya itu dengan sempurna perlu mereka itu diberi petunjuk melalui wahyu, oleh karena itu dalam Al-Quran disebutkan beberapa contoh makhluk yang diberi wahyu oleh Allah ta‘ala seperti:
1. Makhluk yang tak bernyawa, seperti langit dan bumi. Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا
Kemudian Dia menoleh ke langit, ketika langit masih merupakan sesuatu yang bagaikan asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu berdua dengan patuh dan rela ataupun terpaksa!”. Mereka menjawab, “Kami berdua datang dengan rela” Maka Dia menyempurnakan mereka – langit dan bumi – berupa tujuh langit dalam dua hari dan Dia mewahyukan tugasnya kepada tiap-tiap langit (Hamim As-Sajdah, 41:12-13)
بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا
Karena, Tuhan engkau telah mewahyukannya bumi (Al-Zilzal, 99:6)
2. Makhluk Binatang Seperti Lebah, Allah ta’ala berfirman:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Tuhan engkau telah mewahyukan kepada lebah, “Buatlah rumah-rumah di bukit-bukit dan pada pohon-pohon dan pada kisi-kisi yang mereka buat; kemudian makanlah dari segala macam buah-buahan, dan tempuhlah jalan yang ditunjukkan Tuhan engkau dengan rendah hati”. Keluarlah dari perut mereka minuman (madu) yang warna-warni. Di dalamnya ada daya penyembuh bagi manusia. Sesungguhnya dalam yang demikian itu ada tanda bagi orang-orang yang mau merenungkan! (An-Nahl, 16:69-70)
3. Makhluk Malaikat, sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ
Ketika Tuhan engkau mewahyukan kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku beserta kamu; maka teguhkanlah orang-orang yang beriman. Aku akan memasukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang yang ingkar. Maka pukullah pada leher mereka dan pukullah pada tiap-tiap ruas jari mereka (Al-Anfal, 8:13)
4. Manusia pria dan wanita bukan Nabi atau Rasul, seperti para sahabat Nabi Isa as dan ibu Nabi Musa as, Allah ta’ala berfirman:
وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ ءَامِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا ءَامَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ
Dan, ingatlah ketika Aku mewahyukan kepada para hawari, “Berimanlah kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku”. Mereka berkata, “Kami beriman dan saksikanlah bahwa kami orang-orang yang berserah diri (Al-Maidah, 5:112)
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Ibu Musa, “Susuilah dia, lalu lemparkanlah dia ke dalam sungai dan janganlah engkau takut, dan jangan pula engkau berdukacita; sebab sesungguhnya akan Kami kembalikan dia kepada engkau, dan akan Kami jadikan dia salah seorang dari para Rasul (Al-Qashash, 28:8)
5. Para Nabi atau Rasul
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَءَاتَيْنَا دَاوُدَ زَبُورًا
Sesungguhnya, Kami telah mewahyukan kepada engkau sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan Nabi-nabi yang sesudahnya; dan telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘kub dan keturunannya; dan Isa dan Ayyub dan Yunus dan Harun dan Sulaiman; dan telah Kami berikan Zabur kepada Daud. (An-Nisa, 4:164)
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ
Dan, Kami mewahyukan kepada Musa, “Lemparkanlah tongkat engkau!”. Maka tiba-tiba tongkat itu menelan apa-apa yang disihir mereka (Al-A‘raf, 7:118)
Berdasarkan semua ayat-ayat Al-Quran tersebut, tujuan Allah ta‘ala mewahyukan petunjuk-Nya kepada semua makhluq-Nya agar mereka tunduk dan patuh kepada kehendak-Nya sehingga mereka dapat berkembang menuju kesempurnaannya, sebagaimana Dia lukiskan dalam firman-Nya berikut:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
Sanjunglah nama Tuhan engkau Yang Mahatinggi, Yang telah menciptakan serta menyempurnakannya. Dan Yang menetapkan kadar kemampuan-kemampuannya dan memberi petunjuk yang setepat-tepatnya (Al-A‘la, 87:2-4)
Untuk lebih jelasnya perhatikan ayat Al-Quran tentang wahyu Allah ta‘ala kepada lebah yang terjemahannya sebagai berikut: “Dan Tuhan engkau telah mewahyukan kepada lebah, “Buatlah rumah-rumah di bukit-bukit dan pada pohon-pohon dan pada kisi-kisi yang mereka buat; kemudian makanlah dari segala macam buah-buahan, dan tempuhlah jalan yang ditunjukkan Tuhan engkau dengan rendah hati”. Keluarlah dari perut mereka minuman (madu) yang warna-warni. Di dalamnya ada daya penyembuh bagi manusia. Sesungguhnya dalam yang demikian itu ada tanda bagi orang-orang yang mau merenungkan! (An-Nahl, 16:69-70)”
Pengertian wahyu dalam ayat tersebut adalah naluri-naluri alami yang dengan itu Tuhan telah menganugerahi semua makhluq. Ayat ini mengandung satu isyarat yang indah sekali, bahwa bekerjanya seluruh alam semesta dengan lancar dan berhasil bergantung pada wahyu (atau ilham), baik yang nyata ataupun yang tersembunyi. Dengan perkataan lain, segala benda dan makhluq memenuhi tujuan kejadiannya hanya dengan bekerja menurut naluri-naluri dan kemampuan-kemampuan serta pembawaan-pembawaan aslinya. Lebah telah dipilih sebagai satu contoh yang menonjol sekali, sebab organisasi dan kerjanya yang menakjubkan itu bahkan terkesan pula kepada orang yang melihatnya secara sambil lalu saja dan dapat disaksikan dengan mata tanpa bantuan alat apapun.
Pokok masalah lebah telah dipaparkan lebih lanjut dalam ayat berikutnya yang terjemahannya: “Kemudian makanlah dari segala macam buah-buahan, dan tempuhlah jalan yang ditunjukkan Tuhan engkau dan yang dipermudah bagimu.” Keluarlah dari perut mereka minuman (madu) yang warna-warni. Di dalamnya ada daya penyembuh bagi manusia. Sesungguhnya dalam yang demikian itu ada Tanda bagi orang-orang yang mau merenungkan (An-Nahl, 16:70).”
Dalam ayat ini, Tuhan telah mewahyukan kepada lebah untuk menghimpunkan makanannya dari berbagai buah dan bunga, kemudian dengan jalan bekerjanya alat yang tersedia dalam tubuhnya dan dengan cara yang diwahyukan oleh Tuhan kepadanya, ia mengubah makanan yang terhimpun itu menjadi madu. Madu mempunyai bermacam-macam warna dan rasa, akan tetapi semua coraknya yang berbeda-beda itu sangat berguna sekali bagi manusia.
Hal ini mengandung arti, bahwa wahyu telah terus-menerus turun kepada nabi-nabi di berbagai zaman, dan bahwa ajaran seorang nabi berbeda dalam beberapa hal yang kecil-kecil dari ajaran-ajaran Nabi-nabi lain; walaupun demikian semuanya itu merupakan sarana-sarana untuk menumbuhkan akhlaq dan ruhani kaum yang kepadanya beliau-beliau diutus.
Al-Quran Bentuk Wahyu Paling Tinggi
Meskipun Al-Quran itu diturunkan sepotong-sepotong, namun seluruh Al-Quran adalah kesatuan yang bulat yang disampaikan dengan cara yang sama. Al-Quran itu adalah firman Allah ta‘ala yang diturunkan melalui Ruh Suci, yaitu Malaikat Jibril.
Al-Quran menjelaskan kepada kita bahwa wahyu itu diturunkan kepada manusia dalam tiga macam (42:52).
Cara pertama disebut Wahyu dalam arti isyarat yang cepat yang dimasukkan ke dalam hati seseorang.
Cara kedua, digambarkan sebagai ucapan dari belakang tirai. Yang dimaksud disini ialah penglihatan pada waktu tidur, atau dalam keadaan tak sadar; cara kedua ini dapat disebut mimpi (ru’yaa) atau kasyaf atau ilham.
Cara yang ketiga ialah mengutus Rasul (malaikat yang mengemban risalah) kepada yang menerima wahyu dan risalah Allah ta‘ala ini disampaikan dengan kata-kata yang diucapkan; dan ini adalah bentuk wahyu yang paling tinggi.
Malaikat yang mengemban risalah Tuhan dalam kata-kata yang diucapkan ialah Jibril atau Ruh Suci. Cara pemberian wahyu nomor tiga ini hanya terbatas bagi para Nabi, yaitu orang yang ditugasi mengemban risalah Tuhan untuk disampaikan kepada manusia; sedang bentuk wahyu pertama yang jika dibandingkan dengan wahyu yang khusus diberikan kepada para Nabi, tergolong wahyu yang rendah, ini dialami oleh para nabi dan orang yang bukan Nabi. Untuk menyampaikan risalah agung yang bertalian dengan kesejahteraan manusia, dipilihlah bentuk wahyu yang tinggi, yang dalam bentuk itu risalah Tuhan bukan hanya berbentuk angan-angan, melainkan benar-benar dibungkus dengan kata-kata. Daya kemampuan para Nabi untuk menerima firman Allah adalah begitu tinggi perkembangannya, hingga beliau mampu menerima risalah Ilahi, yang ini bukan hanya berbentuk angan-angan yang dimasukkan dalam hati atau berbentuk kata-kata yang diucapkan atau didengar di bawah pengaruh Ruh Suci, melainkan benar-benar risalah Tuhan dalam bentuk kata-kata yang disampaikan melalui Ruh Suci (malaikat Jibril).
Menurut Istilah Islam yang digunakan Pendiri Ahmadiyah Al-Quran itu dinamakan wahyu Matluw, artinya wahyu yang dibaca dan dalam bentuk inilah Al-Quran dari awal hingga akhir disampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda beliau:
ِلأَنَّ الْقُرْآنَ الْكَرِيمَ كِتَابٌ قَدْ ثُبِتَ تَوَاتُرُهُ لَفْظًا لَفْظًا وَهُوَ وَحْيٌ مَتْلُوٌّ قَطْعِيٌّ يَقِينِيٌّ، وَمَنْ شَكَّ فِى قَطْعِيَّتِهِ فَهُوَ كَافِرٌ مَرْدُودٌ عِنْدَنَا وَمِنَ الْفَاسِقِينَ، وَالْقُرْآنُ مَخْصُوصٌ بِالْقَطْعِيَّةِ التَّامَّةِ وَلَهُ مَرْتَبَةٌ فَوْقَ مَرْتَبَةِ كُلِّ كِتَابٍ وَكُلِّ وَحْيٍ ، مَا مَسَّهُ أَيْدِي النَّاسِ
Sebab Al-Quranul-karim itu adalah kitab yang kemutawatirannya ditetapkan lafazh demi lafazh, dan dia kitab itu adalah wahyun matluwun qath‘iyun (dibaca secara pasti dan meyakinkan) dan siapa yang ragu tentang kepastiannya, maka dia itu kafir yang tertolak di sisiku dan dia termasuk orang-orang fasiq; dan Al-Quran itu dikhususkan dengan kepastian yang sempurna, baginya mempunyai martabat di atas martabat setiap kitab dan setiap wahyu; tangan manusia tidak akan menyentuhnya (Tuhfah Baghdad, hal. 31 Ruhani Khazain Jilid VII)
Disamping wahyu matluw, para Rasul dan Nabi juga menerima wahyu rendah. Dalam sebuah Hadis kita diberitahu bahwa sebelum risalah agung diberikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebelum beliau menerima wahyu Al-Quran yang pertama, kerap kali beliau mendapat ru’ya yang begitu terang bagaikan terangnya siang hari, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةَ فِى النَّوْمِ فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيًا أِلاَّ جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ …
Yang mula-mula datang kepada Rasulullah di antara sekalian wahyu ialah mimpi yang baik; tiada beliau melihat suatu mimpi melainkan ini nampak bagaikan fajar pada waktu subuh (Al-Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Jilid I, hal. 6)
Pengalaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara, sebagaimana diuraikan dalam Hadis, ini tergolong jenis wahyu rendah, sedang perincian mengenai hukum syari’at seperti yang diterangkan oleh beliau dan yang terdapat dalam Sunnah, ini tergolong jenis wahyu pertama, yaitu angan-angan yang dimasukkan dalam hati. Ini disebut wahyu Khafi atau wahyu batin.
Bentuk wahyu rendah diberikan pula kepada orang awam, bentuk wahyu yang paling rendah adalah pengalaman manusia sejagat. Bermacam-macam sekali cara orang menerima berbagai jenis wahyu. Bagi orang yang menerima tiga macam jenis wahyu rendah, baik dalam keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur, ia hanya akan mengalami sedikit perubahan jasmani, dan hanya kadang-kadang saja ia dipindahkan dalam keadaan tak sadar; akan tetapi orang yang menerima bentuk wahyu yang tinggi, benar-benar diperlukan perpindahan yang sebenarnya dari alam yang satu ke alam yang lain, sedang si penerima itu sendiri benar-benar dalam keadaan sadar; wahyu yang terasa berat itu bukan saja dirasakan oleh orang yang menerima, melainkan pula oleh orang yang melihatnya.
Adapun sifat wahyu Al-Quran itu dilukiskan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjawab pertanyaan sahabat Haris bin Hisyam, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ
Bagaimana datangnya wahyu kepada engkau, lalu Rasulullah saw bersabda: “Tempo-tempo wahyu datang kepada kuseperti bunyi lonceng, dan ini adalah yang paling berat bagiku, lalu ia meninggalkan aku, dan aku ingat apa yang ia katakan; dan kadang-kadang malaikat datang kepadaku seperti orang laki-laki dan ia berbicara kepadaku dan aku ingat apa yang ia katakan (Al-Bukhari dari Al-Harits radhiyallahu ‘anhu, jilid I, hal. 6)
Ini adalah dua bentuk wahyu Al-Quran yang datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam dua peristiwa tersebut, malaikat datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau melihat dia; dalam dua peristiwa tersebut, malaikat menyampaikan ayat dalam bentuk kata-kata yang seketika itu dihafalkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah inti seluruh persoalan.
Adapun perbedaan antara dua peristiwa itu adalah bahwa dalam peristiwa yang satu, malaikat muncul dalam bentuk manusia dan mengucapkan kata-kata dengan suara halus seperti orang yang bercakap-cakap dengan orang lain; tetapi dalam peristiwa yang lain tak diterangkan dalam bentuk apa malaikat datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam; kita hanya diberitahu bahwa kata-kata yang diucapkan itu seperti suara bunyi lonceng, yaitu suara keras dan nyaring, yang suara itu terasa berat sekali bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya. Tetapi terang sekali bahwa malaikatlah yang mengemban ayat Al-Quran itu.
Dalam dua peristiwa tersebut, seakan-akan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dipindahkan kealam lain, dan perpindahan itulah yang menyebabkan beliau mengalami pengalaman yang berat, yang membuat beliau mandi peluh, sekalipun pada hari yang keliwat dingin; tetapi pengalaman itu bertambah berat lagi, jika Malaikat yang menyampaikan ayat Al-Quran itu muncul dalam bentuk manusia, dan tak ada pertautan antara yang menyampaikan dengan yang menerima. Tetapi apakah Malaikat muncul dalam bentuk manusia atau tidak, dan apakah ayat itu disampaikan dengan suara keras atau dengan suara lemah, satu hal yang sudah pasti bahwa ayat itu disampaikan dalam bentuk kata-kata; oleh karena itu seluruh wahyu Al-Quran adalah risalah yang disampaikan dalam satu bentuk. Dan kita tak boleh lupa, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sering-sering menerima wahyu selagi beliau duduk dengan para sahabat; namun demikian, para sahabat tak pernah melihat malaikat; dan tak pernah pula mendengar wahyu yang dibacakan, sekalipun wahyu itu kadang-kadang datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti bunyi lonceng.
Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dan mendengar suaranya bukanlah dengan indra biasa melainkan dengan indra lain, dan pemberian indra lain inilah yang disebut perpindahan beliau ke alam lain.
Wahyu Al-Quran ini berisi syari’at yang sempurna, karena itu Allah ta‘ala tidak akan menurunkan wahyu syari’at lagi yang merubah atau menggantinya. Kesempurnaan syari’at Islam ini ditegaskan oleh Allah ta‘ala dalam Al-Quran itu sendiri:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu, dan telah Ku-lengkapkan nikmat-Ku atasmu dan telah Ku-sukai bagimu Islam sebagai agama (Al-Maidah, 5:4)
Sehubungan dengan agama ayat itu menggunakan akar kata “Ikmaal” (menyempurnakan) dan sehubungan dengan nikmat ayat itu menggunakan akar kata “Itmaam” (melengkapkan). Yang pertama berhubungan dengan kaifiat (kualitas) dan yang kedua berhubungan dengan kammiat (kuantitas). Kata yang pertama menunjukkan bahwa ajaran-ajaran serta perintah-perintah mengenai pencapaian kemajuan jasmani, ruhani dan akhlaq manusia telah terkandung dalam Al-Quran dalam bentuk yang paripurna, sedang yang kedua menunjukkan bahwa tak ada suatu keperluan manusia yang lepas dari perhatian (diabaikan). Lagi, kata yang pertama berhubungan dengan perintah-perintah yang bertalian dengan segi pisik atau keadaan lahiriah manusia, sedang yang kedua berhubungan dengan segi ruhaniah dan batiniahnya. Penyempurnaan dan perlengkapan agama dan nikmat Tuhan disebut berdampingan dengan hukum yang berlaku bertalian dengan makanan-makanan untuk menjelaskan bahwa penggunaan makanan yang halal dan thayyib merupakan salah satu dasar yang amat penting untuk nilai akhlaq yang baik dan pada gilirannya memberi dasar tempat-berpijak guna mencapai kemajuan ruhani. Perlu juga kita ketahui bahwa ayat ini merupakan ayat Al-Quran yang diwahyukan terakhir, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat 82 hari sesudah ayat ini turun.
Mengingat wahyu syari’at dalam Al-Quran itu sudah paripurna, maka wahyu dalam bentuk ini sudah tidak akan dimansukh atau diganti. Dalam makna inilah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dinyatakan sebagai Nabi terakhir dalam membawa syari’at. Adapun wahyu-wahyu yang tidak merubah syari’at Islam, dan membimbing kepada kemajuan iman dan ruhani manusia masih terus berlangsung, karena Allah Ta‘ala dapat dibuktikan sebagai Tuhan Yang Mahahidup dan Mahabicara hanya jika Dia bercakap-cakap dengan para hamba yang dikehendaki-Nya.
Tidak masuk akal bahwa Allah tidak lagi berbicara di waktu sekarang, padahal Dia selalu berbicara kepada hamba-hamba pilihan-Nya di masa yang lalu. Tidak ada sifat Allah yang dapat dianggap tidak lagi bekerja. Anugerah Wahyu Ilahi dapat diterima bahkan sekarang ini juga, seperti halnya telah diraih oleh umat manusia di masa yang lalu. Wahyu itu tidak selamanya harus mengandung syari’at baru. Wahyu itu dimaksudkan pula untuk memberikan kesegaran dalam kehidupan ruhani manusia dan untuk memungkinkan manusia bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Khaliqnya dan Rabbnya. [goes]
No Responses