Hikmah Sumpah Allah Ta’ala Dengan Berbagai Benda

Hikmah Sumpah Allah Ta’ala Dengan Berbagai Benda

Masroor Library – Disini pun hendaknya diingat bahwa sumpah Tuhan dengan matahari, bulan dan lain-lain mengandung rahasia yang dalam sekali sehingga kebanyakan para penentang kami, disebabkan ketidak-tahuan mereka, mengecam: apa perlunya Tuhan bersumpah dan mengapa Dia bersumpah dengan makhluk? Akan tetapi karena pemahaman mereka bersifat ardhi (bumi) dan bukan bersifat samawi (langit), maka mereka tidak dapat memahami hikmah yang bertalian dengan rahasia-rahasia kebenaran. Jadi, hendaknya jelas bahwa tujuan sebenarnya dari persumpahan itu ialah, orang yang bersumpah biasanya ingin mengemukakan kesaksian bagi pernyataannya. Sebab, andaikata bagi suatu pernyataan tidak terdapat kesaksian lain, maka sebagai gantinya manusia akan bersumpah atas nama Allah Ta’ala. Sebab Allah adalah ‘alimul ghaib (mengetahui hal-hal yang gaib) dan merupakan saksi pertama dalam setiap perkara. Seakan-akan orang itu mengemukakan kesaksian Tuhan sedemikian rupa sehingga jika Allah Ta’ala tetap saja diam sesudah sumpah itu dan tidak menurunkan azab atas dirinya, maka berarti Allah telah memberi cap restu terhadap keterangan orang tersebut, seperti halnya para saksi. Oleh karena itu makhluk hendaknya jangan bersumpah dengan nama makhluk lain. Sebab, makhluk bukanlah ‘alimul ghaib dan tidak pula dia berkuasa untuk memberi hukuman atas sumpah palsu. Akan tetapi sumpah Allah di dalam ayat-ayat ini tidak dapat diartikan sama dengan bersumpahnya makhluk. Melainkan ini merupakan sunnatullah (kebiasaan Allah). Yakni, ada dua macam pekerjaan Allah. Pertama, pekerjaan nyata yang dapat dipahami oleh semua orang dan tidak ada seorang pun yang berselisih pendapat mengenainya. Sedangkan yang kedua adalah pekerjaan tidak nyata, yang dunia sering salah paham serta berselisih satu sama lain mengenainya. Jadi, Allah Ta’ala ingin membuktikan pekerjaan-pekerjaan tidak nyata itu di hadapan orang-orang melalui kesaksian dari pekerjaan-pekerjaan nyata.

Jadi sudah jelas bahwa di dalam matahari, bulan, siang-malam, langit dan bumi terdapat khasiat khasiat seperti telah kami uraikan. Akan tetapi khasiat khasiat semacam itu yang terdapat di dalam jiwa manusia yang memiliki kekuatan berbicara, tidak setiap orang mengenalinya. Maka Allah telah mengemukakan pekerjaan pekerjaan¬ nyata-Nya sebagai saksi untuk menjelaskan pekerjaan-pekerjaan tidak nyata. Seakan-akan Dia berfirman bahwa jika kamu ragu terhadap khasiat-khasiat yang terdapat di dalam jiwa manusia yang memiliki kekuatan berbicara itu, maka kajilah oleh kamu matahari, bulan dan sebagainya, karena khasiat-khasiat tersebut secara nyata terda¬pat di dalam benda-benda itu. Dan kamu mengetahui bahwa manusia merupakan suatu alam kecil (mikro kosmos), yang di dalam jiwanya tertera gambaran seluruh alam secara ringkas. Lalu apabila sudah terbukti bahwa benda-benda besar alam raya (makro kosmos) mengandung khasiat khasiat tersebut, dan dengan demikian benda-benda itu memberi faedah kepada makhluk-makhluk, maka manusia yang disebut paling besar dari semua itu dan yang telah diciptakan dengan derajat tinggi, bagaimana mungkin manusia hampa dan luput dari khasiat-khasiat tersebut? Tidak! Bahkan di dalam manusia pun, seperti halnya matahari, terdapat suatu cahaya ilmu dan akal yang dengan perantaraan itu dia dapat menyinari seluruh dunia. Dan bagaikan bulan, dia menerima cahaya kasyaf, ilham dan wahyu dari Wujud Yang Maha Agung, lalu dia memantulkan cahaya tersebut kepada orang orang lain yang belum mencapai kesempurnaan manusiawi. Lalu bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa kenabian adalah suatu kebatilan dan seluruh kerasulan, syariat dan kitab-kitab merupa¬kan tipu daya serta egoisme manusia. Kamu juga menyaksikan bahwa apa dengan terangnya siang seluruh jalan menjadi nampak dan segala lembah serta tebing menjadi kelihatan. Jadi, insan kamil merupakan siang yang memancarkan cahaya rohani. Dengan semakin siang maka setiap jalan menjadi jelas. Ia menunjukkan di mana dan ke mana arah jalan yang benar, sebab dialah cahaya siang bagi hak dan kebenaran. Demikian pula kita menyaksikan bagaimana malam memberi tempat bagi orang-orang letih dan penat. Semua buruh yang sepanjang hari tenaga mereka dikuras habis, dapat tidur dengan lelap di dalam kemurahan hati sang malam dan memperoleh ketenangan setelah bekerja keras. Dan malam pun merupakan tabir penyelubung bagi setiap orang. Demikian pula hamba-hamba kamil Tuhan datang ke dunia untuk memberikan ketenteraman. Orang orang yang menerima wahyu dan ilham dari Tuhan, dengan kerja keras memberikan ketenteraman kepada segenap orang bijak. Berkat mereka, rahasia-rahasia besar menjadi terpecahkan dengan mudah. Demikian pula wahyu Ilahi menyelubungi akal manusia, sebagaimana malam menyelubungi. Kekhilafan-kekhilafan kotor manusia tidak akan dibiarkannya zahir kepada dunia. Sebab, orang-orang bijak melakukan perbaikan dari dalam terhadap kekhilafan-kekhilafan mereka setelah memperoleh cahaya wahyu. Dan berkat ilham suci Allah, mereka berhasil menye¬lamatkan diri mereka dari terbukanya aib itu. Inilah sebabnya, berbeda dengan Plato, tidak ada seorang filsuf Islam pun yang mempersembahkan ayam sebagai tumbal bagi berhala. Dikarenakan Plato tidak memperoleh cahaya ilham, maka ia telah berbuat kekeliruan dan telah melakukan suatu sikap yang tercela dan bodoh, padahal ia dinamakan filsuf. Akan tetapi berkat mengikuti junjungan kita Rasulullah saw., para cendekiawan Islam telah terpe¬lihara dari perbuatan perbuatan tercela dan bodoh seperti itu. Kini lihatlah bagaimana telah terbukti, bahwa ilham seperti malam, menyelubungi orang-orang bijak. Ini pun anda sekalian ketahui bahwa hamba hamba kamil Allah — seperti langit — menarik setiap orang yang menderita ke dalam naungan mereka. Lebih istimewa lagi para nabi dari Dzat Yang Maha Suci itu serta para penerima ilham, pada umumnya seperti halnya langit, mereka mencurahkan hujan berkat. Demikian pula mereka juga memiliki khasiat-khasiat bumi. Dari jiwa mereka yang suci tumbuh pohon-pohon berbagai ilmu yang tinggi, yang dari naungan dan buah serta bunganya, orang-orang memperoleh manfaat. Jadi, hukum kodrat yang terbuka nyata ini yang ada di hadapan mata kita, merupakan suatu saksi bagi hukum yang terselubung itu. Kesaksiannya telah dipaparkan oleh Allah Ta’ala di dalam ayat-ayat tersebut dalam dua bentuk persumpahan. Jadi, lihatlah betapa kalam yang terkan¬dung dalam Alquran Suci ini penuh dengan hikmah. Kalam itu keluar dari mulut seorang ummi (yang buta huruf) penghuni gurun pasir. Seandainya ini bukan Kalam Ilahi, maka orang orang awam maupun mereka yang disebut terpelajar, sesudah gagal mendalami rahasia ma’rifatnya, pasti tidak akan mencelanya. Sudah merupakan ketentuan bahwa jika seseorang de¬ngan pemikirannya yang ringan tidak dapat memahami suatu hal, dari segi apa pun, maka barulah dia menjadikan suatu perkara hikmah sebagai bahan celaan. Dan celaannya itu merupakan saksi bahwa rahasia hikmah tersebut jauh lebih baik dan lebih tinggi dari pemikiran-pemikiran awam. Itulah sebabnya orang-orang yang bijak walaupun dijuluki sebagai orang bijak, tetap saja mencela hal itu. Namun, sekali rahasia ini terbuka, maka setelah itu tidak ada seorang bijak pun yang akan mencelanya, bahkan ia akan mengambil kelezatan dari itu.

Hendaknya diingat bahwa untuk memaparkan kesaksian dari hukum kodrat tentang tradisi wahyu dan ilham yang sudah berlaku semenjak awal, Alquran Suci pada tempat lain pun telah mengambil sumpah semacam itu. Yakni:

Yakni, demi langit yang darinya turun hujan, dan demi bumi yang menumbuhkan bermacam macam tumbuhan dari hujan itu, Alquran Suci ini adalah kalam Ilahi dan wahyu Nya, yang memutuskan antara hak dan batil, dan bukan merupakan hal yang sia-sia serta percuma. Yakni datang tepat pada waktu¬nya. Datang seperti hujan yang turun pada musimnya (86:12 15).

Kini, Allah Ta’ala telah memaparkan suatu hukum kodrat nyata dalam bentuk sumpah sebagai bukti bagi Alquran Suci yang merupakan wahyu-Nya. Yakni, di dalam hukum kodrat selalu kita lihat dan saksikan bahwa hujan turun dari langit, pada waktu sangat diperlukan. Kehijauan bumi bergantung sepenuhnya pada hujan dari langit. Sekiranya hujan tidak turun dari langit maka lambat-laun sumur sumur pun menjadi kering. Jadi, pada hakikat-nya air di bumi pun bergantung pada hujan dari langit. Itulah sebabnya bila saja air mengucur dari langit, maka air sumur-sumur di bumi pun jadi naik. Mengapa jadi naik? Sebabnya adalah, air langit menarik air bumi naik ke atas. Hubungan ini jugalah yang terdapat antara wahyu Ilahi dan akal. Wahyu Ilahi, yakni ilham Ilahi, merupakan air samawi. Sedangkan akal merupakan air bumi. Dan air ini senantiasa memperoleh tarbiyat (tuntunan dan bimbingan tahap demi tahap) dari air samawi, yaitu ilham. Dan seandainya air samawi yakni wahyu berhenti turun, maka air bumi pun lambat laun menjadi kering. Tidakkah untuk itu dalil ini sudah mencukupi bahwa apabila suatu kurun masa yang panjang telah berlalu dan di bumi tidak lahir seorang penerima ilham, maka akal pikiran orang-orang bijak menjadi sangat kotor dan rusak, seperti halnya air bumi yang kering dan busuk. Untuk memahami hal itu, cukup dengan menelaah zaman sebelum kedatangan Nabi kita saw., yang menampakkan warnanya ke seluruh dunia. Dikarenakan pada waktu itu zaman Nabi Isa a.s. telah berlalu enam ratus tahun dan selama jangka waktu itu tidak ada seorang penerima ilham pun yang lahir, maka seluruh dunia telah merusak kondisinya sendiri. Sejarah tiap tiap negeri memberi kesaksian bahwa pada zaman Rasulullah saw., yakni sebelum pendakwaan beliau, pikiran-pikiran buruk telah tersebar di seluruh dunia. Kenapa telah terjadi demikian dan apa sebabnya? Sebabnya adalah, rangkaian ilham telah lama terputus. Kera¬jaan Langit pada waktu itu dikuasai hanya oleh akal. Jadi, betapa akal yang tidak sempurna itu telah menjerumuskan orang-orang ke dalam berbagai kerusakan. Apakah ada juga yang tidak mengetahui hal itu? Lihatlah, apabila air ilham telah lama tidak mengucur, maka air seluruh akal menjadi sangat kering.

Jadi, di dalam sumpah sumpah itu Allah Ta’ala mengemukakan hukum alam yang demikian, dan Dia berfirman, “Perhatikan-lah oleh kamu, bukankah ini merupakan hukum kodrat Ilahi yang kokoh dan abadi, bahwa kehijauan bumi seluruhnya bergantung pada air langit.” Jadi hukum kodrat yang nyata ini, merupakan saksi bagi hukum kodrat yang terselubung itu, yakni rangkaian ilham Ilahi. Maka ambillah faedah dari saksi tersebut. Dan jangan jadikan akal itu semata sebagai penunjuk jalan, sebab akal bukan suatu air yang dapat bertahan tanpa air samawi. Sebagaimana keistimewaan air langit, dengan khasiat alaminya ia meninggikan air semua sumur, tidak perduli apakah airnya jatuh masuk ke dalam suatu sumur atau tidak, demikian pulalah tatkala seorang penerima ilham Ilahi tampil di dunia — tidak perduli apakah ada orang bijak yang mengikutinya atau tidak — maka pada zaman penerima ilham tersebut akal-akal manusia sendiri sedemikian rupa bercahaya dan bersihnya sehingga belum pernah tampil demikian sebelum itu. Orang orang dengan sendirinya mulai mencari kebenaran, dan di dalam daya pikir mereka timbul suatu gerakan secara gaib. Jadi, segenap kemajuan akal dan gejolak hati ini timbul akibat langkah beberkat si penerima ilham tersebut, serta dengan khasiatnya dia mengangkat naik air-air bumi.

Apabila kalian menyaksikan bahwa setiap orang bangkit mencari agama agama, dan air bumi pun mulai bergejolak naik, maka bangunlah, waspadalah dan pahamilah dengan seyakin-yakinnya bahwa dari langit hujan deras telah turun dan telah terjadi hujan ilham atas kalbu seseorang.

(Sumber: Filsafat Ajaran Islam)

No Responses

Tinggalkan Balasan