Masroor Library – Perlu dipahami dengan baik bahwa Takdir adalah suatu ukuran atau parameter sebagaimana dinyatakan Allah s.w.t.:
Dia telah menciptakan segala sesuatu dan telah menetapkan ukurannya yang tepat’ (S. 25 Al-Furqan:3).
Ayat ini tidak menunjukkan kalau manusia tidak mempunyai hak untuk memilih apa yang akan dikerjakannya. Sesungguhnya memilih itu sendiri merupakan bagian dari ukuran. Allah s.w.t. setelah mengukur fitrat dan kapasitan manusia, lalu menetapkannya sebagai Takdir dan dalam ruang lingkup tersebut Dia menentukan sejauh mana manusia mempunyai pilihan dalam segala tindakannya. Keliru jika menganggap Takdir sebagai pengertian bahwa manusia dipaksa untuk tidak memanfaatkan segala fitrat yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Keadaan ini bisa digambarkan dengan melihat mekanisme sebuah jam yang tidak bisa bekerja melampaui parameter yang telah ditentukan pembuatnya. Begitu pula dengan manusia yang tidak akan bisa mencapai tujuan yang berada di luar kemampuan fitrat yang dimilikinya, dan juga ia tidak bisa hidup melampaui batas umur yang telah ditetapkan baginya.
Takdir Ilahi Dan Nasib
Perlu diperhatikan bahwa segala hal telah ditentukan oleh takdir Ilahi, dan hal ini tidak juga mengecualikan ilmu pengetahuan karena sebagaimana dimaklumi, adanya penggunaan obat yang tepat, berkat rahmat dan kasih Allah s.w.t., nyatanya bermanfaat bagi sang pasien. Sejalan dengan itu, setiap orang yang dikaruniai dengan pemahaman Ilahi berdasar pengalaman akan mengakui bahwa doa berkaitan langsung dengan pengabulannya. Hal ini merupakan misteri yang telah dialami berjuta-juta orang-orang yang muttaqi. Pengalaman kita sendiri menunjukkan adanya realitas tersembunyi yang menarik kepada kita rahmat dan kasih Allah s.w.t. meskipun kita mungkin tidak bisa meyakinkan orang lain tentang kebenaran ini melalui pemikiran logika. (Ayyamus Sulh, Qadian, Ziaul Islam Press, 1899; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 14, hal. 240-241, London, 1984).
Dalam suatu percakapan umum ketika beberapa orang mengemukakan bahwa musibah bisa dihindari dengan cara bersedekah dan memberikan infaq, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menyatakan:
“Memang benar demikian. Tetapi, ada pula manusia yang mempertanyakan mengapa takdir Ilahi terdiri dari dua bagian. Jawabannya adalah dengan melihat pengalaman kita sendiri yang menjadi saksi atas suatu kenyataan bahwa: Ketika seseorang menghadapi situasi yang amat mengancam dirinya, jika ia menggiatkan doa atau salat, sedekah dan infaq, ternyata situasi demikian kemudian bisa dihindari.
“Karena itu sepatutnya kita meyakini takdir Ilahi yang dikenal sebagai mu’allaq atau ‘qada yang tertunda’ nyatanya memang ada. Kalau bukan takdir jenis ini dan yang ada ialah ‘takdir yang tidak bisa diubah’ atau ‘mubram’, maka doa, salat dan sedekah tidak akan membawa pengaruh.
“Lalu mengapa suatu situasi yang amat berbahaya bisa dihindari melalui doa dan sedekah? Yang perlu disadari ialah, ada beberapa kehendak Ilahiah yang sifatnya hanya bertujuan menanamkan rasa takut kepada Tuhan serta mengingatkan manusia kepada kemanjuran doa.
“Melalui doa, sedekah dan amal saleh, banyak sekali ketakutan dan mara bahaya yang bisa dihindarkan. Masalah kemakbulan doa mirip dengan hubungan antara wanita dan pria dimana akan terjadi hubungan jika dilakukan pada saat dan kondisi relatif yang tepat serta tidak ada kekurangan yang mengganggu. Hanya saja, jika qadar Ilahiah itu dari jenis yang tidak bisa dihindari, maka jenis yang demikian disebut Mubram dimana doa juga tidak akan berhasil.
“Bisa saja seseorang ingin berdoa tetapi tidak bisa mengkonsentrasikan pikirannya. Sedangkan hatinya tidak meresapi sepenuhnya emosi kepedihan dan kesedihan yang mestinya melambari suatu permohonan doa. Kekurangan konsentrasi ini juga terjadi dalam salat yang bersangkutan. Semua ini, lalu mengisyaratkan bahwa hasil akhir dari situasi yang dihadapi tidak akan baik jadinya. Inilah qadar yang disebut sebagai Mubram yaitu takdir yang tidak bisa dielakkan.
Saat itu seseorang memberi komentar bahwa pada saat putra dari Nawab Muhammad Ali Khan sedang sakit berat, beliau (Hadhrat Masih Mau’ud a.s.) menerima wahyu yang menyatakan bahwa itu adalah takdir Mubram dimana kematian sudah ditakdirkan. Namun dengan syafaat doa Huzur maka takdir itu nyatanya bisa dihindari. Hazrat Masih Maud.a.s. menyatakan:
“Hadhrat Sayid Abdul Qadir Al-JaIlani r.h. (rahmatu’l-Lâh ‘alaih) pernahmenulis bahwa terkadang takdir mubram pun bisa dielakkan melalui kekuatan doa. Berkenaan dengan hal ini, seorang ulama terkenal yaitu Syeikh Abdul Haque Muhaddits Dehli mempermasalahkan kalau takdir mubram tidak bisa dielakkan. Lalu apa yang dimaksud oleh Al-Jaelani? Akhirnya ia sendiri juga yang memberikan jawaban bahwa takdir mubram juga terdiri dari dua jenis yaitu yang ‘benar-benar’ mubram sedangkan yang satunya ‘mirip’ mubram tetapi bukan.
“Mubram ‘yang sesungguhnya’ tidak bisa dihindari dalam keadaan apa pun seperti contohnya bahwa manusia pada akhirnya akan mengalami kematian. Qadar ini tidak bisa dielakkan meski yang bersangkutan berkeinginan hidup abadi. Jenis qadar yang mirip Mubram (tetapi bukan), contohnya seperti suatu situasi berbahaya yang amat gawat dimana orang sepertinya tidak akan mungkin melepaskan diri. Keadaan demikian disebut takdir ‘seperti’ Mubram (yang sebenarnya lebih tepat disebut Muallaq yang bisa dielakkan melalui doa dan sedekah). Adapun qadar Mubram yang sesungguhnya tidak akan bisa dielakkan meski misalnya semua Nabi-nabi mendoakannya.” (Malfûzhât Vol. VII, hal. 87-88)
“Kitab Alquran telah menetapkan beberapa hal sebagai pengukuhan prinsip agung; bahwa, Allah yang Maha Kuasa-lah yang Maha Esa dan sumber serta tujuan segala hal. Tetapi, hal ini ditafsirkan beberapa kritikus bodoh sebagai akidah pemaksaan.
“Allah adalah Wujud kausal utama dari segala hal dan Pemelihara semuanya. Ini juga yang mendasari mengapa Allah Yang Maha Kuasa dalam Alquran menyebut Diri-Nya sebagai Kausa dari segala kausa tanpa ada apa pun yang menjadi sarana antara. Namun, Alquran ada juga mengungkapkan terdapatnya media antara yang harus diperhatikan manusia.
“Selain itu, Alquran juga mengemukakan penghukuman atas kejahatan dan menetapkan hukumannya. Kalau sistem qada dan qadar Ilahi sama sekali tidak bisa diubah, dimana manusia harus mengikuti paksaan nasib yang bersifat absolut. Lalu, apa gunanya penetapan adanya ganjaran dan hukuman?
“Yang patut diingat ialah Alquran tidak membatasi segalanya dalam cakupan sistem kausal fisik, tetapi lebih pada menuntun umat manusia kepada ketauhidan Ilahi yang hakiki. Kebanyakan orang tidak memahami fitrat doa dan juga tidak mengerti makna pertalian antara doa dengan takdir Ilahi.
“Allah swt. selalu membuka jalan bagi doa dan tidak akan menolak permohonan mereka. Baik bagi doa mau pun takdir Ilahi, Allah swt. telah menetapkan kapan saatnya yang tepat. Melalui doa, salah satu fitrat Maha Pemelihara telah dianugrahkan Allah swt. kepada mereka yang menyembah-Nya sebagaimana dinyatakan dalam Alquran:
…أدعونىۤ أستجب لكم…
‘…Ud’ûnî astajib lakum…—Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkan doamu…’ (QS Al-Mumin, 40:61)
“Karena itu, saya selalu menyatakan bahwa Tuhan umat Islam selalu mendengar permohonan mereka. Sedangkan tuhan yang tidak pernah mencipta senoktah apa pun atau dikatakan telah mati karena aniaya bangsa Yahudi, bagaimana mungkin ia bisa mengabulkan?
“Tidaklah bijak mencari kesepakatan di antara kondisi pilihan bebas dengan paksaan hanya berdasarkan logika atau nalar semata. Sia-sia saja Anda mencoba memahami rahasia Ilahi. Lagi pula tidak patut rasanya sebagaimana juga dinyatakan oleh Hadhrat Rasulullah saw. ‘Perilaku seorang pencari kebenaran adalah penghormatan semata.’
“Qada dan qadar Ilahi memiliki kedekatan yang sangat dengan doa. Doa bisa mengelakkan berlakunya takdir yang bersifat sementara atau takdir mu’allaq. Doa adalah sarana paling efektif guna menghindari bahaya dan kesulitan. Mereka yang meragukan keunggulan doa sesungguhnya keliru.
Alquran mengemukakan dua aspek daripada doa. Aspek pertama, Allah swt. akan memaksakan kehendak-Nya. Sedangkan pada aspek yang lain, Dia mengabulkan doa seorang hamba. Dalam ayat:
و لنبلونكم بشيء من الخوف والجوع
‘Wa lanabluwannakum bisyai’im-mina’l-khaufi wal-jû’[i]—…akan Kami beri kamu cobaan dengan sedikit ketakutan dan kelaparan…’ (QS Al-Baqarah, 2:156)
“Allah swt. meminta kepatuhan atas kehendak-Nya. Maksudnya, tanggapan manusia terhadap takdir Ilahi yang bersifat mutlak ialah:
إنا لله و إنا إليه رٰجعون
‘…Innâ li’l-Lâhi wa innâ ilaihi râji’ûn[a]—Sesungguhnya, kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali…’ (QS 2:157)
“Adapun saat kapan tiba gelombang rahmat dan berkat dari Allah swt., diindikasikan dalam Alquran: ‘Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkan doamu.’ (QS 40:61)
“Seorang mukminin haruslah memahami kedua aspek tersebut. Kaum Sufi menyatakan bahwa ketergantungan seseorang kepada Tuhan-nya belum akan sempurna sampai yang bersangkutan mampu membedakan saat dan tempat yang sesuai dalam mengajukan permohonan doa.
“Dikatakan bahwa seorang Sufi tidak akan berdoa sampai ia tahu telah tiba saat yang tepat untuk berdoa.
“Hadhrat Sayid Abdul Qadir Al-Jailani r.h. menyatakan bahwa doa bisa menjadikan seorang yang kasar hatinya menjadi seorang yang lembut. Beliau r.h. bahkan menyatakan kalau marabahaya gawat yang sepertinya merupakan takdir mutlak, nyatanya dapat dihindari.
“Singkat kata, yang harus selalu diingat berkenaan dengan doa ialah terkadang Allah swt. mengharuskan kepatuhan hamba kepada kehendak-Nya. Dan pada saat lain, Dia mengabulkan permohonan hamba-Nya. Dengan kata lain, Dia memperlakukan hamba-Nya layaknya seorang sahabat.
“Doa-doa Hadhrat Rasulullah saw. dikabulkan dalam skala besar. Karena itu, beliau menduduki posisi tertinggi dalam ketakwaan kepada kehendak Allah swt. serta menerimanya dengan hati gembira. (Malfûzhât Vol. III, hal. 224-226)”
Semoga sedikit banyaknya akan memberikan pemahaman kepada kita berkenaan dengan apa itu TAKDIR Ilahi.(Mr Risky)
No Responses