Coosje Ayal berperan sebagai juru masak bagi kelompoknya. Ia juga terkadang merawat yang luka-luka dan menjahitkan pakaian mereka yang berlubang. Terkadang, karena tidak ada makanan, mereka menyantap buaya, ular dan kura-kura. Dengan berbagai cara, mereka bertahan hidup di belantara Raya Papua yang dikenal ganas dan berbahaya.
Ketika pasukan Sekutu atau ABDA mendarat dan menguasai Jayapura pada akhir April 1944, mereka mendengar ada kelompok kecil milisi yang tetap bergerilya melawan Jepang di hutan-hutan Manokwari. Akhirnya Sekutu meminta Belanda mencari kelompok ini. Lima bulan kemudian, barulah posisi kelompok Coosje Ayal bisa diketahui. Awal Oktober 1944, mereka pun dibebaskan. Ternyata hanya tinggal 17 orang saja dari sebelumnya 62 orang.
Setelah dua bulan dirawat di rumah sakit di Jayapura, Coosje Ayal pun kemudian diterbangkan ke Australia. Disana, perempuan asal Nusalaut itu mengambil pelatihan keperawatan sebagai seorang prajurit infantri KNIL dan dipromosikan menjadi kopral. Di Brisbane, Ayal juga berjumpa Ayal Henry Evers, seorang prajurit Curacao dan menikah pada 1947.
Selama beberapa waktu lamanya, Coosje Syal dan sang suami kembali ke Nusalaut dan membuka klinik Palang Merah sebelum akhirnya pindah ke Tangerang dan memiliki dua orang anak. Tujuh belas tahun kemudian, keluarga itu pindah ke Belanda. Henry mengirim surat kepada Pangeran Bernhard dengan salinan surat penghargaan istrinya.
Menteri Klompe kemudian menerima kedatangan keluarga Coosje Ayal dan mengupayakan sebuah rumah tinggal di Ridderkerk, Rotterdam. Untuk menghidupi keluarga, Coosje Ayal juga membuka usaha pengepakan, berjualan nasi goreng, mie dan lumpia kepada teman-temannya dan sukses membuka usaha katering sendiri.
Akhir Hidup Coocje Ayal di Belanda
Setelah tinggal di Belanda selama 51 tahun, pada 25 Maret 2015, gerilyawan wanita satu-satunya dalam Perang Dunia II di Manokwari asal Titawai, Nusalaut, Maluku itupun menghembuskan nafas terakhirnya genap dalam usia 89 tahun. Jenazahnya disemayamkan di pemakaman pahlawan setelah dilaksanakan upacara secara militer di Laurenskerk, Rotterdam pada 4 April 2015.
Nama Coosje Ayal dan 16 milisi lainnya diabadikan di bendera Belanda dengan cara disulam beberapa saat setelah mereka selamat dan dibebaskan oleh Sekutu. Bendera dengan sulaman nama-nama mereka kemudian diberikan kepada Ratu Wilhelmina. Sejak 2012, bendera tersebut menjadi salah satu obyek pameran Kerajaan Belanda. Artinya, nama itu akan abadi dan dikenang sepanjang masa.
Pemerintah Kerajaan Belanda melalui Koninklijk Besluit No. 22 menganugerahkan penghargaan untuk Coosje Ayal, dengan kata-kata sebagai berikut dalam Kruis.van Verdienste:
“Moedig en zeer verdienstelijk optreden getoond gedurende vele maanden van guerillastrijd tegen de Japanners in het Vogelkop-gebied van Nieuw-Guinea, en daarbij alle gevaren en ontberingen van de Guerilla-strijders gedeeld.”
Kini, tujuh tahun berlalu setelah kewafatan Coosje Ayal itu, nama dan kenangan terhadapnya kembali muncul setelah Timnas Indonesia berlaga dengan Tim Curacao. Nama Curacao sebagai asal suami Coosje Nuhuway mengingatkan kembali akan gerilyawan wanita satu-satunya dalam Perang Dunia II di Manokwari itu. []
Catatan:
Selesai ditulis di RDM Jang-e-Muqaddas, Arfai, Manokwari pada Minggu, 25 September 2022 pkl. 09:24 WIT.
Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
Direktur & Pendiri
Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi
(Centre for the Study of the Islamic Manuscript and Philology)
Manokwari, Papua Barat
Related Posts
Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar
Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara
Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar | Menelisik Jejak Pakuan Pajajaran dan Toponimi Lokasi di Sekitar Kampus Mubarak
No Responses