Masroor Library – Menelusuri Perkebunan Kapas Jepang di Ransiki sebagai Kamuflase Sarana Militer Jepang dalam Perang Dunia II di Tanah Papua
“During the time, many Japanese soldiers was already roaming around in the land of Papua under the pretext of working in a Japanese cotton farm named Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha (NKKK) in Ransiki Manokwari, Nabire, Wandamen Peninsula, Roon Islands, Rumberpon and the surrounding areas.”
Arti Penting Nederland Nieum Guinea bagi Belanda
Surat Kabar berbahasa Melayu, Pemberita Makassar terbitan Kamis, 3 April 1924 menurunkan suatu ulasan mengenai pentingnya Hindia (Nederland East India) bagi Belanda. Dengan gaya bahasa yang lugas, dewan redaksi yang merupakan wartawan Belanda mengungkapkan suatu kesimpulan, bahwa banyak hal yang akan terjadi bila Indonesia lepas dari Belanda atau direbut oleh bangsa lain.
Ulasan ini seolah menjadi sebuah analisa akan dikuasainya Hindia-Belanda oleh bangsa asing lainnya. Sebab, 18 tahun kemudian, analisa ini menjadi tergenapi ketika Jepang kemudian menguasai Indonesia. Banyak kerugian, yang telah disebutkan dalam analisa itu, yang kemudian terjadi. Di antaranya menjadi berkurangnya pelayaran dan masalah perkebunan kapas.
Ulasan itu juga menyebutkan satu fakta lain yang akan terjadi bila Hindia Belanda termasuk Dutch Nieuw Guinea dikuasai oleh bangsa lain. Fakta itu adalah, bahwa sebenarnya Belanda hanyalah sebuah negeri kecil saja tanpa Hindia Belanda (Indonesia). Secara politik dan ekonomi, tidak memiliki kekuatan apa-apa bila daerah-daerah yang dikuasainya telah terlepas.
“Kailangan dari Hindia boekan sadja nanti toeroenken deradjatnja Holland mendjadi satoe negri ketjil jang tida penting ditepinja laoetan Noordzee dan laloeken kita poenja bendera dari satoe bagian besar dari laoetan, tapi hal ini djoega nanti terbitkan satoe crisis jang begitoe loeas, hingga kita tida bisa bilang dari sekarang apa bakal mendjadi boentoet dari ini hal.”
Secara khusus, analisa itu menyebutkan bahwa pemasukan dari kapas akan berkurang. Ini membuktikan, bahwa kapas pada saat itu menjadi salah satu primadona pasar internasional. Begitu juga Nederland East Indie khususnya Dutch Nieuw Guinea (Papua Barat) menjadi sentra kapas yang cukup dominan bagi Belanda. Ada perusahaan Jepang yang juga ikut andil dalam penanaman kapas di Dutch Nieuw Guinea.
“Kaloe Holland kailangan Hindia, pelajaran Blanda bakal mendjadi koerang banjak, hal mana nanti mengoesoetken pada perdagangan dan peroesahan, menjebabkan satoe malaise oemoem dan bikin banjak orang tida poenja kerdjaan. Djoega kaloe Hindia direboet oleh laen negri, peroesahan katoen dan machine-machine di Twente bakal mendapat karoegian besar. Lebih djaoeh peti negri poen bakal merasaken apa artinja kailangan dari Hindia bagi Nederland.”
Perkebunan Kapas Jepang di Manokwari Selatan
Marthen Indey, pejuang Papua pro integrasi yang pernah menjadi intelijen Belanda dan ditempatkan sebagai pejabat intelijen di Manokwari menyebutkan, bahwa sebelum Perang Pasifik pecah atau sebelum Papua dikuasai oleh Jepang, di beberapa lokasi di Manokwari telah ada tentara Jepang. Mereka menyamar sebagai nelayan atau karyawan perkebunan kapas.
Saat itu, Jepang telah memiliki sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi gula pasir dan kapas. Nama perusahaan itu adalah Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha (NKKK). Ini adalah perusahaan multinasional Jepang yang membuka cabang di berbagai negara, termasuk di Hindia Belanda. Salah satu perkebunan kapas ini ada di Kampung Dembek, Manokwari Selatan sekarang.
“During the time, many Japanese soldiers was already roaming around in the land of Papua under the pretext of working in a Japanese cotton farm named Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha (NKKK) in Ransiki Manokwari, Nabire, Wandamen Peninsula, Room islands, Rumberpon and the surrounding areas.”
Selain kapas, Jepang juga mengembangkan tanaman jute. Tanaman ini selain untuk keperluan serat juga sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi. Serat jute dapat dibuat sebagai kain atau isolator untuk listrik. Sedangkan daun jute dibuat makanan yang bergizi. Sejarah jute sebagai bahan makan berprotein tinggi telah dikenal sejak masa kuno di Mesir.
Landasan Pacu Jepang di Moemi dan Waren
Dengan alasan untuk memudahkan pengangkutan hasil produksi kapas dan jute dari lokasi perkebunan di Ransiki, Pulau Roon, Pulau Rumberpon, Teluk Wasior dan lokasi di sekitarnya, Jepang juga membangun beberapa landasan pacu (airfield/airdrome). Landasan pacu itu biasanya dibangun di tengah-tengah perkebunan kapas sehingga tidak mencurigakan pemerintah Belanda.
Di Ransiki, tepatnya di Kampung Dembek (Waren) dan Kampung Moemi telah dibangun landasan pacu. Tiga landasan pacu itu disebut sebagai Waren Airfield, Moemi Airfield dan Waromer Airfield. Sementara Waren Airfield berlokasi di kawasan dekat pegunungan, dua landasan pacu lainnya dibangun di sekitar pantai, yaitu Moemi Airfield dan Waromer Airfield.
Di Wasior, Jepang juga membangun dua landasan pacu (airfield), yaitu di Manggurai dan di Wondamawi. Moemi II Airfield berlokasi di Manggurai, sedangkan Sagan II Airfield terletak di Wondamawi. Penamaan kedua landasan pacu Jepang itu sama dengan yang ada di Ransiki dan di Fak Fak. Ini tidak mengherankan, karena lokasi itu masih terdapat dalam satu kawasan.
Meskipun landasan pacu itu telihat sederhana, namun telah dapat dipakai oleh Jepang untuk kepentingan pesawat tempurnya. Berbagai jenis pesawat tempur Jepang kemudian ditempatkan disana, dan bukannya pesawat komersil untuk mengangkut hasil perkebunan kapas atau jute. Meskipun tampak aneh, tetapi saat itu Jepang berhasil menempatkan pesawat tempurnya di lokasi perkebunan itu.
Di lokasi perkebunan kapas itu juga, Jepang banyak membangun pillbox dan goa pertahanan. Pembangkit listrik dengan kekuatan besar pada masa itu juga dibangun, termasuk saluran air yang tertata dengan baik. Hingga kini, peninggalan Jepang itu masih bisa disaksikan di kawasan Kampung Dembek dan sekitarnya. Kondisinya masih terbilang lumayan utuh, kecuali landasan pacu yang mengalami kerusakan parah akibat bombardir pesawat Sekutu.
Pesawat Kamikaze Jepang dalam Perang Dunia II
Ada dua pesawat tempur Jepang yang cukup menggentarkan Sekutu. Kedua pesawat itu pada masa Perang Pasifik berseliweran di sekitar Ransiki (Moemi, Waren), Pulau Rouw dan Pulau Rumberpon, Semenanjung Wondama (Wandamenbaai) hingga Nabire. Keduanya adalah jenis Mitsubishi A6M2 Zero dan Mitsubishi G4M2 Kamikaze.
Desainer Jiro Horikoshi memaksimalkan kinerja pesawat Mitsubishi A6M Zero dengan mengurangi bobot badan pesawat hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Horikoshi memotong perlindungan besi dan menggunakan paduan duralumin ekstra super. Dikombinasikan dengan mesin radial 840 tenaga kuda Sakae 12, A6M2 Type Zero dapat mencapai kecepatan 346 mil per jam, dan memiliki kemampuan manuver luar biasa.
Untuk persenjataan, Zero dipasang dua meriam Tipe 99 20 milimeter yang kuat di sayap –meskipun hanya dengan enam puluh amunisi– dan dua senapan mesin kaliber.
Badan pesawat yang elegan berbobot 1,85 ton, membuat Zero memiliki jangkauan yang luar biasa 1.600 mil, berguna untuk mengintai kapal musuh dan meluncurkan serangan jarak jauh.
Sebagai perbandingan, petarung Bf 109 kontemporer Jerman hanya dapat terbang sejauh 500 mil, mengurangi efektivitasnya dalam pertempuran Inggris. Zero memulai debutnya secara fantastis dalam pertempuran pada Juli 1940, dengan tiga belas A6M2 Zero yang berbasis di darat menembak jatuh dua kali lipat jumlah pesawat tempur Rusia I-16 dan I-153 dalam tiga menit.
Sedangkan Mitsubishi G4M2 merupakan pesawat bomber kecepatan tinggi. Selama Perang Dunia II, pesawat digunakan angkatan laut Jepang. Dalam sistem kode sekutu, pesawat ini memiliki sebutan “Betty”.
Pesawat ini menggabungkan kecepatan tinggi, jarak jauh, dan bentuk aerodinamis yang sangat baik. Karena kualitasnya, itu menjadi simbol penerbangan laut Jepang. Basis pesawat adalah skema monoplane dengan sayap yang dipasang di tengah dan badan pesawat besar.
Badan besar dari bagian oval memungkinkan mengakomodasi muatan besar dan menciptakan kondisi kerja yang nyaman bagi para kru. Sayap pesawat memiliki bentuk trapesium, dan posisi rata-rata sayap memungkinkan bahkan pada beban tinggi untuk menjaga pusat pesawat.
Pada G4M2, bukan drive hidrolik, tetapi drive listrik digunakan. Mereka tampak lebih andal dalam kondisi suhu rendah dan ketinggian tinggi. Desainnya semua logam dengan dua spar dan roda pendarat yang bisa ditarik. Pesawat ini juga hadir dengan dua pembangkit listrik, mesin Kasey 11 yang didinginkan udara dua-baris 14-silinder.
Tenaga maksimum mesin adalah sekitar 1530 hp alias tenaga kuda (take-off). Mesin-mesin itu juga dilengkapi supercharger satu tahap. Kecepatan maksimumnya sekitar 428 km/ jam. G4M juga dilengkapi sekrup dengan tiga bilah dan diameter 3,4 meter.
Peralatan bahan bakar termasuk delapan tangki bahan bakar dengan total kapasitas 4.780 liter. Tangki terletak di antara spar sayap, pompa bensin listrik, dan saluran bahan bakar. Jarak tempuh maksimum adalah 6034 km, dan ketinggian 9.220 m.
Senjata kecil dipasang empat buah ukuran 7.69mm Type 92 senapan mesin dan satu meriam 20mm. Senapan mesin ditempatkan di kokpit navigator. Tipe 92 Machinegun adalah salinan senapan mesin Vickers Inggris.
Saat Perang Dunia II, G4M2 membom wilayah Cina dan Filipina, Port Moresby di Papua New Guinea dan Darwin di Australia. Pada 10 Desember 1941, di dekat pantai Malaysia, torpedo dari pesawat G4M menghancurkan kapal perang Inggris Prince of Wales dan Battlecruiser Repulse.
Pada Januari 1942, 17 pembom (termasuk pesawat pembom G4M2) lepas landas dari pangkalan militer Jepang di Rabaul (Papua Nieuw Guinea) dan berusaha menyerang kapal induk AS Lexington. Namun, pesawat tempur “Wildcat” AS menghancurkan 15 pembom Jepang. Beberapa di antaranya jatuh di Pulau Rouw dan Selat Namamura, Kampung Aisandami, Distrik Roon, Kab. Teluk Wondama.
Jejak Landasan Pacu Jepang di Momi dan Waren
Sebagaimana landasan pacu Jepang lainnya yang dihancurkan pesawat pembom Sekutu pada Perang Pasifik, begitu juga landasan pacu Moemi, Waren dan Waremor di Ransiki, Manokwari Selatan. Ketiganya dibombardir oleh pesawat Sekutu sehingga tidak bisa dipergunakan lagi sebagai sarana pertahanan dan kekuatan perang Jepang.
Pesawat tempur Sekutu yang didominasi oleh pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat ke-5 atau 5th Air Force (AF) dan pasukan Far East Air Force (FEAF) memulai serangan udara sejak 1 Mei 1943 hingga 29 Oktober 1944. Selama 18 bulan itu, puluhan pesawat tempur Sekutu silih berganti menyerang target di Manokwari, Ransiki, Momi dan Waren. Tercatat, 66 serangan udara di Manokwari, 23 kali di Ransiki, 28 kali di Momi dan 8 kali di Waren.
Jenis pesawat tempur yang dipergunakan Sekutu di antaranya adalah A-20, A-26, B-24, B-25, P-38, P-39, P-40 dan P-47. Pesawat itu biasanya disebut sebagai Black Widow atau Kittyhawk. Tercatat, jenis pesawat yang paling banyak melakukan serangan adalah jenis A-20 dan P-40 yang terdiri dari beberapa nomor seri. Ada Black Widow SN 42-40967, ada Kittyhawk SN A29-824, A29-641 dan A29-821.
Sasaran yang ditargetkan oleh Sekutu adalah melumpuhkan pelabuhan, lapangan terbang, perahu, bagang, lepas pantai, sungai, kota dan pemukiman serta barak tentara Jepang. Terkadang, pesawat tempur Sekutu juga hanya melakukan pengintaian atau pematangan target serangan melalui foto udara untuk database serangan berikutnya. Jadi, saat itu tidak langsung melakukan serangan.
Setelah melakukan 125 kali serangan ke target strategis Jepang yang menghancurkan banyak fasilitas pertahanan Jepang itu, akhirnya pasukan Sekutu dapat menguasai kembali Manokwari dan Manokwari Selatan. Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Bukan hanya di Manokwari dan Manokwari Selatan, tetapi juga di Wondama, Sarmi, Biak, Tambrauw dan lokasi lainnya. Pergantian pemerintahan kembali dipegang oleh Sekutu khususnya Belanda.
Bila melihat interval serangan udara oleh Sekutu kepada Jepang di Manokwari dan Manokwari Selatan, maka target itu dapat diselesaikan secara berjenjang. Awalnya Sekutu fokus pada pertahanan Jepang di Manokwari, tetapi kemudian beralih ke pusat pertahanan Jepang di Ransiki, Momi dan Waren, Babo, Wasior dan Nabire. Serangan itu dilakukan oleh Sekutu khususnya 5th Air Force dan Far East Air Force bergantian.
Sekutu menyerang dan membombardir Manokwari sejak 1 Mei 1943 hingga 24 Oktober 1994. Selama 66 kali serangan udara di Manokwari, pesawat itu juga sekaligus menyerang Ransiki, Momi dan Waren. Selama empat bulan Ransiki dibombardir sebanyak 23 kali oleh pesawat-pesawat Sekutu, sejak 31 Mei 1944 hingga 29 Oktober 1944. Momi juga mendapat serangan udara sebanyak 28 kali sejak 13 Mei 1944 hingga 24 Oktober 1944. Terakhir, Waren mendapat bombardir sebanyak 8 kali sejak 7 Juni 1944 hingga 27 September 1944.
Itu artinya, Sekutu rata-rata melakukan serangan udara terhadap Jepang di Manokwari sebanyak 4 kali tiap bulan. Sedangkan Ransiki diserang sebanyak 4 kali juga tiap bulan selama enam bulan berturut-turut. Momi mendapat 6 kali serangan udara tiap bulan selama enam bulan dan Waren juga hanya mendapat serangan udara sebanyak 2 kali tiap bulan selama empat bulan.
Bisa dibayangkan, betapa mencekamnya situasi di Manokwari, Ransiki, Momi dan Waren saat serangan udara itu terjadi. Apalagi, serangan itu kadang bukan saja menyasar pertahanan Jepang melainkan juga lokasi semisal sungai dan pemukiman. Bahkan, untuk di Ransiki dan Momi, sepanjang aliran sungai dibombardir karena ditengarai menjadi lokasi persembunyian Jepang.
Kondisi Waren Airfield, Moemi Airfield dan Waromer Airfield di Manokwari Selatan mengalami kerusakan parah. Disana sini muncul sumur atau kolam akibat bom pesawat (aircraft bomb) pesawat Sekutu. Lubang sumur itu berukuran besar dan kini terisi air mirip sumur atau kolam. Ini wajar, sebab pesawat Sekutu kadang membombardir kawasan itu dengan bom seberat 100 kg. Bisa dibayangkan seperti apa kerusakan yang akan ditimbulkannya. []
Catatan,
Selesai ditulis pada Minggu, 30 Oktober 2022 pukul 08:08 WIT di RDM “Jang-e-Muqaddas” Arfai, Manokwari, Papua Barat.
Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial Enterpreneur dan Kemanusiaan, juga Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAAI) dan Penggiat Literasi. Tinggal di Manokwari, Papua Barat.
Tags:Related Posts
Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara
Gotrasawala Panitia Pangeran Wangsakerta | Belajar dari Lembaga Penulisan, Penyalinan dan Penerjemah Naskah/ Manuskrip pada Masa Kasultanan Cirebon
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar
Pakuan Pajajaran dan Pajajaran Anyar | Menelisik Jejak Pakuan Pajajaran dan Toponimi Lokasi di Sekitar Kampus Mubarak
Mengenal Sosok IPDA La Udin | 19 Tahun NIkmati Tugas di Pedalaman Lembah Moskona
No Responses