Pasir Luhur Alias Baturraden | Lokasi Perjuangan Putra Prabu Siliwangi dalam Mencari Calon Permaisuri

Pasir Luhur Alias Baturraden | Lokasi Perjuangan Putra Prabu Siliwangi dalam Mencari Calon Permaisuri

“Tujuan utama dari Ijtima inipun, secara khusus telah disampaikan oleh Hadhrat Khalifatul Masih V atba dalam kesempatan Ijtima 2021. Yaitu, supaya para anggota Khudam dan Athfal dapat mengembangkan spiritual, moral dan agama. Selain itu mereka juga dapat memusatkan perhatian (fokus) pada pesan pidato, aktif berkompetisi dan aktifitas yang akan meningkatkan standar kesalehan dan kebenaran.”

PENGANTAR

Majlis Khuddamul Ahmadiyah dan Majlis Athfalul Ahmadiyah Indonesia melaksanakan Ijtima Nasional yang ke-53 dan ke-35 bertempat di Wana Wisata Baturraden, Banyumas, Jumat-Minggu: 23-25 Agustus 2024. Dipastikan akan ada ribuan anggota Khudam dan Athfal yang akan menghadiri gelaran tahunan di alam terbuka (out door) yang sejuk dan berpemandangan Indah tersebut.

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Ijtima Nasional ini tidak saja dihadiri oleh anggota di dalam Negeri tetapi juga ada beberapa perwakilan Khudam dari negara-negara Asia Tenggara. Oleh sebab itu, tidak salah juga bila ada yang menyebut Ijtima ini dengan Ijtima se-ASEAN. Spanduk selamat datang dengan berbagai bahasa di kawasan ASEAN pun terpampang mencolok di lokasi.

Tujuan utama dari Ijtima inipun, secara khusus telah disampaikan oleh Hadhrat Khalifatul Masih V atba dalam kesempatan Ijtima 2021. Yaitu, supaya para anggota Khudam dan Athfal dapat mengembangkan spiritual, moral dan agama. Selain itu mereka juga dapat memusatkan perhatian (fokus) pada pesan pidato, aktif berkompetisi dan aktifitas yang akan meningkatkan standar kesalehan dan kebenaran.

Lalu, hendaknya seperti apakah pengembangan spiritual, moral dan agama yang diperoleh dari Ijtima MKAI & MAAI 2024 ini? Apakah tiap peserta juga dapat mengenali pesan spiritual, moral dan agama dimana gelaran rutin tahunan ini dilaksanakan? Bukankah lokasi dilaksanakannya Ijtima Nasional 2024 ini, yaitu Baturraden, merupakan suatu lokasi yang bersejarah dan memiliki hubungan dengan Pajajaran?

MENGENAL BABAD BANYUMAS DALAM ANEKA MANUSKRIP KUNA

Ada sebanyak 62 naskah yang menceritakan Babad Banyumas. Dari 62 naskah itu dapat dikategorikan menjadi 15 versi. Versi tersebut adalah: Versi Jayawinata, Versi Adimulya, Versi Panenggak Widodo-Nakim, Versi Oemarmadi dan Koesnadi, Versi Kasman Soerawidjaja dan Versi Keluarga Baru (Dipadiwiryan, Dipayudan Banjarnegara, Cakrawedanan, Mertadiredjan, Gandasubratan dan Banjar-Gripit-Badakarya).

Di samping itu ada naskah Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara (PRBN) Parwa 2 Sargah 4 yang memuat teks Babad Banyumas. Teks susunan Pangeran Wangsakerta dari Kesultanan Cirebon (1680) ini memiliki perbedaan tersendiri dengan versi-versi yang lain. Namun, teks ini memiliki persamaan dengan Versi Banjarnegara dan Versi Dipayudan.

Dalam ketiga Versi tersebut, pengaruh Sunda tampak sangat kuat. Hal ini terbukti dengan adanya tiga orang tokoh Siliwangi dalam teks-teks Banyumas. Banyak Cara di dalam masyarakat Sunda dikenal sebagai salah satu naskah pantun, selain Langgalarang, Siliwangi dan Haturwangi. Sayangnya, tradisi Babad Pasir yang hidup di Taman Sari, Pasir Kidul, Pasir Kulon, Pasir Lor dan Pasir Wetan yang mendapat pengaruh Sunda itu luput oleh penggubah Babad Wirasaba Kejawar dan Serat Sejarah Banjoemas.

Dalam menyusun tulisan ini khususnya terkait Babad Banyumas, penulis menggunakan tiga buah sumber, yaitu “Babad Pasir, Volgens een Banjoemaasch Handschrift met Vertaling” oleh J. Knebel (1900), terjemahannya oleh Balai Pustaka Jakarta (1961) berjudul “Raden Kamandaka Roman Sejarah Mawi Sekar” dan “Teks Babad Pasir dalam Budaya Banyumas Tradisi Naskah Dipayudan” karya Sugeng Priyadi (1996).

AMANAT AJAR WIRANGRONG, SANG RESI TANGKUBAN PERAHU

Dikisahkan, bahwa Raja Pajajaran Galuh memiliki empat orang anak: Banyak Catra (Raden Kamandaka), Raden Banyak Ngampar, Banyak Belabur dan Putri Nay Retna Ayu Kirana. Sebagai putra tertua, Banyak Catra memang diprediksi akan menjadi Raja Pajajaran.

Menurut beberapa sumber, Banyak Catra mendapat nama samaran dari seorang Ajar atau Resi di Gunung Tangkuban Perahu, yaitu Ajar Mirangrong (ada teks yang menyebut Wirangrong). Perubahan nama –dari Banyak Catra menjadi Kamandaka– seolah telah dilegitimasi oleh seorang tokoh agama atau pertapa terkenal pada masanya. Sebagai putra tertua, Banyak Catra memang diprediksi akan menjadi Raja Pajajaran.

Menurut Ajar Mirangrong, Banyak Catra alias Kamandaka akan memperoleh calon permaisuri di Pasir Luhur. Calon permaisuri itu adalah seorang gadis yang sangat mirip seperti ibunya. Pasir Luhur sendiri adalah suatu Kadipaten di bawah Kerajaan Pajajaran Galuh yang memiliki batas wilayah dari Gunung Sindoro Sumbing hingga Sungai Citarum.

PENGEMBARAAN BANYAK CATRA ALIAS KAMANDAKA ALIAS SUTA

Setelah tidak berjodoh dengan Putri Raja di Pantai Selatan (Nay Roro Kidul), Banyak Catra kemudian melakukan pengembaraan ke Kadipaten Pasir Luhur. Banyak Catra menyamar sebagai Kamandaka, yaitu seorang penduduk desa biasa, yang ingin mencari pekerjaan di rumah Patih Reksanata. Keberuntungan berpihak kepadanya, Patih Reksanata menerimanya sebagai anak angkat dan bertanggung jawab membersihkan dan memelihara kuda.

Ternyata Kamandaka jatuh hati kepada putri bungsu Adipati Pasir Luhur Kandha Daha, yaitu Ciptarasa. Secara sembunyi-sembunyi, keduanya pun melakukan pertemuan. Pertemuan itu terjadi di taman sari (keputren) dan juga di Kedung Brenangsiyang. Namun, pertemuan itu diketahui oleh para prajurit yang kemudian melaporkannya kepada Adipati Kandha Daha. Akhirnya, Kamandaka menjadi buronan prajurit Pasir Luhur.

Saat berada di dekat Sungai Logawa, karena terpojok, Kamandaka kemudian terjun ke dalam salah satu kedung yang kini dikenal sebagai Kedung Petahunan. Kamandaka selamat karena di dalam kedung itu terdapat lorong goa yang menuju ke Surup Lawang (muara Sungai Logawa ke Sungai Serayu). Ini berkat kerjasama dengan ayah angkatnya, Patih Reksanata. Setelah itu Kamandaka kembali ke Pajajaran.

Sayangnya, saat berada di Pajajaran kembali, tahta kerajaan harus didapat dengan sayembara. Alasannya, ada dua calon yang akan menjadi Raja, yaitu Banyak Catra dan Banyak Belabur. Sayembara itu berisi syarat agar dapat membawa calon istri dan juga putri kembar sebanyak 40 orang.

PENYAMARAN BANYAK CATRA DI KADIPATEN PASIR LUHUR

Untuk kedua kalinya Banyak Catra kembali ke Kadipaten Pasir Luhur. Kali ini dia melakukan pertapaan di Gunung Agung (Batur Agung) dan Kabunan. Disana, Banyak Catra memperoleh baju sakti yang terkenal seperti legenda masyarakat Sunda, yaitu baju Lutung Kasarung. Ini sebenarnya sebagai cara Banyak Catra mendekati Putri Ciptarasa.

Ternyata, kecantikan Putri Ciptarasa terdengar oleh Raja Nusakambangan yaitu Pulebahas. Pulebahas melamar dan diterima oleh Ciptarasa atas bujukan Kamandaka. Kamandaka bersiasat dengan memberikan lima syarat yang harus dipenuhi oleh Pulebahas, yaitu: (1) Pulebahas harus menyerahkan putri kembar berjumlah 40 orang (saudara perempuan Pulebahas sendiri), (2) Ciptarasa menjemput pengantin pria diluar Kota Pasir Luhur, (3) Raja Pulebahas harus membopong Ciptarasa, (4) kain mori (lawon) 1000 kodi dan (5) prajurit Nusakambangan tidak boleh bersenjata.

Selama berada di Kadipaten Pasir Luhur, Banyak Catra yang menyamar sebagai Kamandaka telah melakukan perjalanan berkeliling lokasi Pasir Luhur dan sekitarnya: Pangebatan, Sungai Logawa, Langgongsari, Situsekar, Ajogol, Kali Apa, Kali Jengok, Kali Bodhas, Kali Banjaran, Kober, Bobosan, Karanganjing, Kali Jengok, Kali Apa, dan Watu Sinom.

Selain menyamar sebagai Kamandaka, Banyak Catra juga menyamar sebagai penyambung ayam jago dan sebagai Lutung Kasarung. Tujuannya tidak lain adalah supaya bisa mendekati Putri Ciptarasa. Bahkan, Banyak Catra juga menyamar sebagai pertapa yang dermawan. Sebab, hasil pertanian yang digarap disumbangkan secara cuma-cuma kepada penduduk yang memerlukannya.

TRAGEDI PENCARIAN CALON ISTRI DAN PENGANGKATAN SEBAGAI RAJA PASIR LUHUR

Dalam proses pernikahan Raja Pulebahas dengan Putri Ciptarasa, Kamandaka kemudian membunuh Raja Nusakambangan itu. Kamandaka kemudian menikahi Putri Ciptarasa dan membawa 40 putri kembar saudara Raja Pulebahas ke Pajajaran. Namun, Banyak Catra gagal menjadi raja Pajajaran Galuh karena ada bagian tubuhnya yang cedera/luka terkena senjata adiknya sendiri (Banyak Ngampar alias Silihwarni) saat dalam penyamaran di Pasir Luhur.

Kamandaka (Banyak Catra) dibantu adiknya Banyak Ngampar (Silihwarni), Tumenggung Gelap Nyawang, Ngabehi Kebo Gumulung dan para prajurit Pajajaran juga berhasil membunuh Jurangbahas, Parungbahas, Surajeladri dan Singalaut dari Nusakambangan yang datang ke Pasir Luhur untuk menuntut balas kematian kakaknya, Raja Pulebahas.

Atas hal ini, Adipati Kandha Daha kemudian menyerahkan posisinya kepada Banyak Catra sebagai Adipati Pasir Luhur. Padahal, sebelumnya Adipati Kandha Daha sangat berambisi ingin membunuh Kamandaka karena telah berani mengganggu putri bungsunya itu. Padahal, menantu pertama seharusnya yang lebih berhak.

Perubahan sikap ini disebabkan oleh beberapa hal. Yaitu, Adipati Kandha Daha akhirnya mengetahui bahwa Kamandaka bukanlah orang sembarangan, bahkan ia adalah putra seorang Raja Pajajaran yang wilayah kekuasaan lebih besar dari Pasir Luhur. Artinya, Kamandaka atau Banyak Catra adalah menantu yang lebih bergengsi dibandingkan dengan ke-24 menantu lainnya yang hanyalah anak-anak adipati atau ki ageng.

Para menantu itu berasal dari pesisir Selatan dan perbatasan Sunda-Jawa: Cukangakar, Bongas, Bonjok, Maresi, Lewihbuaya, Selamanik, Bocor, Pituruh, Wedhi, Ngambal (Ambal), Pertanahan, Kawisinggil, Daha, Ngayah (Ayah), Kewangsul, Losekar, Sumedang, Maruyung, Kerawang, Kuningan, Imbanegara, Limbangan, Timbanganten dan Ngukur (Ukur).

Tags: , ,

No Responses

Tinggalkan Balasan