Demikian tulis I.F.M Salim dalam bukunya, “Vijftien jaar Boven Digoel Concentratiekamp in Nieuw-Guinea” Dan, dengan pelengkap judul yang lain “Bakermat van de Indonesische onafhankelijkheid.” I.F.M. Salim sendiri adalah adik dari Haji Agoes Salim, seorang tokoh Sarekat Islam yang juga pernah menjadi diplomat serta menguasai 8 bahasa asing, aktif lisan-tulisan.
Untuk pembanding, dapat juga dibaca pada ElseviersWeekblaad tanggal 2 Maret 1968 (hal. 26). Dimana disitu disebutkan bahwa “Soekarno huilde en vroeg om vergiffenis. Dat gebeurde toen hij door het Ned-Indische gouvernement naar Boven Digoel zou worden verbanne.” (Sukarno menangis dan meminta maaf. Ini terjadi ketika ia akan diasingkan ke Boven Digoel oleh pemerintah India Belanda.)
Gugatan terhadap sejarah yang sudah terbilang mapan ini tentu saja bagi beberapa kalangan seperti “petir di siang bolong”. Tentu saja, banyak orang yang akan terkaget-kaget. Meski demikian, dalam Ilmu Sejarah, ini dianggap biasa-biasa saja. Sepanjang ada fakta yang bisa dipertanggungjawabkan, maka sah-sah saja mengungkapkan teori atau hipotesa.
Pentingnya Keris dan Gunung Nabi, Papua Barat
Keris telah diakui oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya non-bendawi melalui penetapan Direktur Jenderal Koichiro Matsuura pada 25 Nopember 2005 di Paris, Perancis. Disebutkan, bahwa Keris Indonesia adalah Karya Agung Warisan Kemanusiaan Lisan dan Takbenda ( the Indonesian Kris is a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity ).
Bagi bangsa Indonesia, keris memiliki kedudukan dan falsafah yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Dari bentuk dan rupa yang dihasilkan para empu Tosan Aji, keris mengandung pralambang kehidupan serta keseimbangan hidup mikrokosmos dan makrokosmos. Terkadang, suatu keris juga memiliki keseimbangan yang tinggi sehingga bisa berdiri (didirikan).
Keris terdiri dari bagian-bagian utama: Pesi, Wilah dan Warangka. Tiap bagian itu juga mengandung filosofi yang tinggi. Pada pesi alias gagang keris terdapat patra yang melambangkan hubungan antara makhluk dengan Sang Khalik. Begitu juga pada wilah dan penetes-nya: ada yang disebut ganja, gandhik, greneng, gulu meled, lambe gajah, blambangan, kembang kacang, sogokan, janur, landhep, wedidang, sraweyan dan ada-ada. Sedangkan pada warangka terdapat angkup, pipi, janggut, gandar, pendhok, pindakan, awak-awak, ri cangkring, ada-ada dan godongan.
Sebagai orang yang masih memiliki trah keturunan dari Singosari dan Majapahit, Bung Karno tentu saja lekat dengan benda pusaka berupa keris ini. Fungsi keris yang memancarkan kewibawaan dan kharisma, sangat cocok bagi Bung Karno. Masyarakat Jawa tentu saja akan sangat menghormatinya. Ikatan emosional akan semakin kuat antara Bung Karno dengan masyarakat Jawa. Bahkan, bagi sebagian kalangan, Bung Karno telah dianggap sebagai Raja Indonesia yang hingga sekarang masih hidup!
Hal ini sama seperti kedudukan Gunung Nabi bagi sebagian masyarakat suku adat di Tanah Papua. Dikatakan, bahwa dari Gunung Nabi semua leluhur manusia berasal. Di Gunung Nabi juga perahu Nabi Nuh as dikatakan telah terdampar. Begitu juga Nabi Adam as diturunkan Tuhan dari Sorga di Gunung Nabi. Begitu sangat sakral dan pentingnya Gunung Nabi, sehingga Bung Karno juga harus (pernah) berada disana, lengkap dengan peristiwa penyerahan keris.
Keris juga identik dengan Kerajaan Singosari dan Majapahit. Pada masa Majapahit, pengaruh kebudayaan termasuk keris menjangkau ke daerah-daerah yang menjadi mitreka-satata. Sebagai salah satu daerah yang pernah mendapat pengaruh Majapahit, Semenanjung Wanin/Onin di Tanah Papua tentu saja sedikit-banyaknya memiliki budaya penggunaan keris.
Sayangnya, seperti di tempat lainnya di daerah Timur –Hutan Kandali (Pulau Buru), Ambwan (Ambon), Gurun (Gorom), Seran (Seram), Muar (Kei)– tidak pernah ditemukan keris peninggalan Majapahit. Begitu juga di Tanah Papua, sulit sekali mendapatkan sebilah keris.
Apalagi, senjata khas Tanah Papua adalah pisau belati, bukan keris. Kalau pada umumnya senjata terbuat dari logam, pisau belati Papua justru terbuat dari tulang kaki burung kasuari (Casuarius unappendiculatus), yaitu burung endemik Papua. Tulang kaki burung kasuari dipilih karena mudah dibentuk dan ditajamkan tapi tetap memiliki struktur yang kuat.
Pegangan senjata tradisional Papua ini biasanya juga dilengkapi dengan hiasan bulu burung kasuari atau serat alam. Suku-suku tradisional Papua biasanya menggunakan senjata ini untuk berburu, perang/menjaga diri dan mengambil hasil hutan.
Oleh sebab itu, menghubungkan kisah hidup Bung Karno dengan Keris, Boven Digoel dan Gunung Nabi di Papua Barat memang adalah sesuatu yang sangat membangkitkan emosi. Keterkaitan ketiga hal tersebut dengan Bung Karno akan mendongkrak kharisma dan hubungan emosional dengan Tanah Papua. Hubungan itu sekuat dengan filosofi warna Merah-Putih (Dwi Warna) yang juga banyak diyakini di Papua sebagai warna pria-wanita. Juga, nama Indonesia sendiri yang menjadi pemersatu bagi suku disana.
Selamat mengambil teladan dari kehadiran “Putra Sang Fajar”!
Disusun oleh:
Mln. Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
• Mubalig JAI Daerah Papua Barat
• Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAA-I) Manokwari, Papua Barat
Related Posts
Gaungkan Tema Shalat di Ciater | Jejak Lokasi yang Dilewati Bujangga Manik Sang Resi Petualang
Bakda Riyadi: Tradisi Keramaian Kerajaan Majapahit yang Menjadi Lebaran
Telusuri Jejak Tarumanegara, Tuan Tanah Jonathan Rigg dan Makam Kuno Islam Garisul
Meneliti Manuskrip Kuno Al Quran Daun Lontar
Kunjungi Ciaruteun Ilir dan Pasir Muara Telisik Prasasti Tinggalan Kerajaan Tarumanegara
No Responses