“Maulana, jangan takut tablig dimana pun. Sebab, Allah beserta kita. Kita tablig sekarang, mati. Tidak tablig pun, mati. Kalau orang sudah tahu bahwa kita Ahmadi, kita tidak akan dituntut lagi oleh Allah Ta’ala.“
SOSOK JENAKA TETAPI PEMBERANI
Nama lengkapnya adalah Ghulam Wahyudin. Orang-orang sering memanggil dan menyebut beliau dengan nama, “Pak Ghulam”. Terkadang, meski tidak umum, beberapa orang menyebut nama belakang beliau, “Pak Wahyudin”. Beberapa orang lagi lebih senang menyebut dengan nama lengkapnya, “Pak Ghulam Wahyudin”. Lucunya, sesekali beliau sendiri memplesetkan dengan nama “Ghulam Yahudi”.
Penulis mengenal sosok jenaka tetapi pemberani ini sejak puluhan tahun lalu. Ada alasan mengapa bisa mengenalnya secara dekat meskipun tidak terlalu akrab. Pertemanan dengan beliau dilambari oleh beberapa hal. Penulis pernah satu kantor dengan salah seorang keluarga beliau, dan juga putra beliau. Itu semua berkat ditugaskan di Jamiah Ahmadiyah Indonesia, sejak 2005 hingga sekarang.
Pada tahun 2005, ketika baru pertama kali ditarik ke Jamiah lagi sebagai Staf Pengajar, Penulis biasa berada di Jalan Manunggal, Kota Bogor. Beberapa kali Penulis bertemu dengan beliau. Staf Tata Usaha (TU) Jamiah Ahmadiyah Indonesia saat itu, yaitu Mln. Masykurullah Ahmadi, adalah kerabat beliau. Pada masanya, selain sebagai dosen, Penulis juga pernah merangkap menjadi TU menggantikannya.
Begitu juga, Penulis pernah satu kantor di Jamiah Ahmadiyah Indonesia dengan putra beliau, Syuja’at Ahmad. Saat itu, Penulis, selain sebagai dosen, juga merangkap sebagai TU, sedangkan Syuja’at sebagai Bendahara. Hampir dua tahun bersama di kantor yang sama. Sedangkan Mln. Ghulam juga tinggal di dalam kompleks Kampus Mubarak.
Penulis mengenal sosok Mln. Ghulam Wahyudin sebagai sosok yang jenaka dan sederhana. Tetapi di balik kejenakaannya, tersembunyi suatu kekuatan yang jarang dimiliki oleh anggota bahkan mubalig sekalipun. Kekuatan tersebut adalah semangat rabtah dan tablig yang tak kenal lelah, kapanpun dan dimanapun. Penulis telah membuktikan, baik di dalam maupun di luar negeri. Baik dalam kesempatan tablig maupun dalam suasana biasa.
TABLIG MENDADAK DI BANDARA MALAYSIA
Pada Desember 2013, Penulis berkesempatan menghadiri Jalsah Salanah Qadian ke-123. Ternyata, saat itu bertemu rombongan yang jumlahnya hampir berjumlah 40 orang. Salah satunya adalah Mln. Ghulam Wahyudin. Penulis pun akhirnya selalu berdua dengan beliau, yang juga menjadi Amir Perjalanan.
Saat transit di Bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA) Malaysia dan menunggu pesawat yang ke India terjadi peristiwa yang menunjukkan bahwa beliau sosok pemberani dan gemar bertablig. Ketika ada beberapa orang India berpakaian jubah ala Jamaah Tablig, Mln. Ghulam Wahyudin langsung berbicara dengan mereka. Ternyata, mereka memang anggota Jamaah Tablig asal India.
Mln. Ghulam menanyakan, apakah mereka sudah tahu Ahmadiyah atau belum? Tampak para anggota Jamaah Tablig itu seolah kebingungan. Mln. Ghulam kemudian mengatakan, “Kalau ingin tahu Ahmadiyah, disini ada Mubalig Ahmadiyah. Silakan bisa menanyakannya kepada Mln. Rakeeman ini,” kata beliau sambil menunjuk ke arah Penulis.
Akhirnya terjadi pembicaraan antara Penulis dan rombongan Jamaah Tablig itu dalam bahasa Urdu. Tetapi itu tidak berlangsung lama karena mereka kelihatannya ada urusan tersendiri dan saling berbicara sesama mereka. Namun, Penulis dapat melihat dari kejadian ini, bahwa Mln. Ghulam sangat berani mengungkapkan identitas keahmadiannya meskipun di ruang publik!
PENGALAMAN UNIK BERSAMA BELIAU DI QADIAN
Sebelum dilaksanakan Jalsah Salanah Qadian 2013, Penulis dan rombongan sudah tiba di Qadian beberapa hari sebelumnya. Penulis bahkan sudah mengunjungi Hosyiarpur dan Ludhiana. Selama di Qadian, kami tinggal di rumah “Baitul Wahid” milik Dr. Abdul Qoyyum Tjandranegara, agak jauh dari Darul Masih.
Usai sarapan pagi itu, sebenarnya Penulis ingin ke Amritsar untuk mengunjungi Golden Temple yang terkenal milik Sikh. Tapi entah mengapa, Mln. Ghulam melarang Penulis ikut pergi kesana. Sebagai Dosen Perbandingan Agama di Jamiah, Penulis ingin ada dokumentasi foto sebagai bukti pernah mengunjungi salah satu tempat bersejarah agama Sikh tersebut. Tetapi, akhirnya Penulis urungkan dan tidak jadi pergi.
“Nanti Tuhan akan ganti dengan karunia lainnya,” kata Mln. Ghulam dengan tanpa beban. Kebetulan, ada beberapa anggota yang juga tidak jadi ikut ke Amritsar, termasuk mantan Sadr LI, Ibu Khadijah asal Jemaat Kebayoran, Jakarta Selatan. Akhirnya kami berbincang di depan rumah tempat menginap itu membicarakan banyak hal. Temanya beraneka ragam.
Mendadak, ada beberapa orang datang. Tampaknya, yang datang itu adalah sosok penting sebab semua Ahmadi Qadian memberi hormat dengan takzim. Ternyata, sosok itu memang adalah seorang khandan (keluarga Hadhrat Masih Mau’ud a.s.). Sebelumnya beliau tinggal di Amerika dan terkait dengan Gedung Putih yang kemudian ditarik ke London untuk kepentingan Jemaat. Ternyata, Ibu Khadijah sangat mengenal sosok itu. Keduanya tampak sangat akrab.
Akhirnya, Penulis pun diperkenalkan kepada khandan tersebut. Setelah berbincang agak lama, sosok khandan itupun berpamitan pulang. Penulis lalu ingat, apakah ini yang dimaksud “karunia” yang disebut oleh Mln. Ghulam. Lantas, Mln. Ghulam sendiri menyebutkan, “Kalau Maulana tadi jadi berangkat ke Amritsar, tentu tidak akan bisa jumpa dengan khandan. Ini adalah berkat bagi kita khususnya Maulana, kita telah berjumpa dengan keturunan seorang Nabi!”
PENGALAMAN LUCU DI PEMERIKSAAN BANDARA INDIA
Ketika kembali ke Indonesia dari India, di Bandara Indira Ghandi International Airport tiba-tiba listrik padam. Padahal, kami sedang dalam pemeriksaan imigrasi dan tiket. Akhirnya pemeriksaan berjalan secara manual. Mln. Ghulam telah berjalan jauh di depan melewati pemeriksaan oleh Polisi India yang terlihat sangar lengkap dengan senjata laras panjang, sedangkan Penulis masih tertinggal di belakang.
Ketika diperiksa, Polisi itu mendapati benda yang mungkin mencurigakan baginya, di saku celana kanan dan kiri. Ternyata, Penulis masih menyimpan dua butir telor rebus saat sarapan pagi di Qadian. Ketika ditanya, “Yeh kiya hei?” oleh petugas keamanan itu, Penulis reflek menjawab, “Yeh ande hei!” Ketika dikeluarkan, para petugas keamanan itu langsung tertawa keras. “Apakah di Indonesia tidak ada telor?” kata petugas yang lebih tua.
Mln. Ghulam yang telah jauh di depan, kemudian balik lagi. Dan, setelah melihat Penulis masih diperiksa sambil memegangi telor dan melihat petugas keamanan itu tertawa, langsung datang mendekat dan mengatakan bahwa Penulis adalah temannya. Para petugas keamanan itu langsung mempersilakan Penulis lewat. Setelah itu, Mln. Ghulam memanggil Penulis dengan sebutan “Mr. Ande” alias “Ande Sahib” (Bapak Telor).
Berkat telor rebus inipula, akhirnya rombongan yang masih tertahan di pemeriksaan dapat segera lewat. Adalah Mln. Dadan Saepudin yang saat itu sedang diperiksa dan lama tidak bisa lewat. Setelah Penulis mendatangi pemeriksaan dan menyebutkan bahwa rombongan itu adalah teman-teman Penulis, akhirnya semuanya dipersilakan lewat. Bahkan beberapa anggota Ahmadi lewat tanpa diperiksa barang-barangnya. Karena teman Mr. Ande, kata petugas.
Dari kejadian ini, Penulis juga memahami bahwa dengan kemampuan Mln. Ghulam berkomunikasi dengan para petugas keamanan Bandara itu, semua urusan menjadi dipermudah.
GEMPA DI GARUT SELATAN 2015
Usai pertemuan membahas pertabligan di Kampung Sumber Alam (KSA) Garut, Penulis –yang saat itu Asisten Sekr. Tablig PB JAI– kemudian diajak oleh Pak Rahmat Syukur Maskawan mengunjungi lokasi korban gempa di Garut Selatan. Di dalam rombongan itu juga ada Mln. Ghulam.
Jalanan menuju Garut Selatan ternyata sangat menantang adrenalin. Meski demikian, Mln. Ghulam dapat mengatasi suasana itu dengan kocak dan jenakanya. Cerita jenaka dan kocak Mln. Ghulam seolah tidak pernah habis. Semua yang ada di mobil seolah-olah melupakan kondisi jalanan yang tidak bersahabat. Mereka semua seolah justru diguncang “suatu gempa yang lain”.
Begitu juga saat tiba di lokasi yang parah terdampak gempa, Mln. Ghulam terlihat sangat santai dan tidak ada kekhawatiran sama sekali. Padahal peserta rombongan lainnya khawatir dan was-was akan terjadi gempa susulan atau bahkan tsunami. Melihat Mln. Ghulam yang selalu jenaka, kekhawatiran itu seolah hilang sirna.
PANGGILAN AKRAB TERHADAP PENULIS DAN ISTILAH REJEKI
Mln. Ghulam Wahyuddin juga memiliki panggilan khas terhadap Penulis. Karena merasa kesulitan menyebut nama Penulis, biasanya Mln. Ghulam memanggil dengan sebutan berbeda-beda. Misalnya, beliau menyebut dengan sebutan “Maulana Rohimin” atau “Maulana Rokimen” atau “Maulana Rokimin”.
Saat berada di Pos Security, Penulis biasanya menawari membonceng Mln. Ghulam pulang ke rumahnya. Dari sinilah kemudian muncul ungkapan beliau, “dapat rejeki”. Dari sini Penulis memahami, bahwa bagi Mln. Ghulam, rejeki ternyata bukan hanya uang melainkan semua yang mempermudah atau kemudahan itu juga bisa disebut sebagai rejeki.
Selamat jalan, Sang Mujahid Islam! Selamat berjumpa dengan Sang Kekasih dan Sang Khaliq. Saya menyaksikan, bahwa engkau adalah sosok yang baik dan gemar bertablig. Kembalilah dengan keridaan Tuhan dan menjadi hamba-Nya yang diridai. []
—o0o—
Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
CATATAN:
*) Ditulis sebagai Dzikr Khair untuk mengenang kebaikan dan pengalaman bersama almarhum Mln. Ghulam Wahyuddin, Sh.Aj.
**) Penulis adalah Mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia (2003-sekarang) yang saat ini diberi amanat sebagai Dosen Ilmu Perbandingan Agama (2005-2018, 2023-sekarang) dan Naib Principal Bidang Akademik di Jamiah Ahmadiyah Indonesia (2014-2018, 2023-sekarang). Penulis juga adalah Pendiri dan Pengulik pada Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku, selain menjadi Pembina Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAA-I), 2017-2025).
No Responses