“Bagi Mubalig Daerah Papua Barat ini merupakan kunjungan perdana ke Saporkren. Tetapi bagi Mubalig Lokal Kota Sorong dan khudam Waisai, sudah beberapa kali kesini. Sebagai salah satu lokasi target, di Kampung Saporkren akan dijadikan sebagai homebase kegiatan Jemaat terkait rabtah dan pertabligan.”
Masroor Library – Waisai, Raja Ampat – WARTA “JANG-E-MUQADDAS” JAI DAERAH PAPUA BARAT [22/10]. Setelah isi BBM di Pom Bensin sebelah Tugu Selamat Datang Kota Waisai, kedua kendaraan roda empat itu kemudian beriringan menuju keluar kota. Tujuannya tidak lain adalah Kampung Saporkren di Distrik Waigeo Selatan. Perjalanan akan ditempuh sekitar satu jam lamanya, menyusuri pesisir Pulau Waigeo yang berbukit dan naik turun, Sabtu (22/10) pagi itu.
Motor pertama dikemudikan oleh Rapik Ahmad, khudam JAI Kota Sorong yang membonceng istri dan putranya yang berusia baru beberapa bulan. Rapik atau nama branding di Waisai Kang Opik, selain mengajar di suatu sekolah swasta kejuruan, juga sambil berwirausaha membuka warung Roti Bakar. Dua siswanya kini yang berjualan roti bakar itu di kawasan simpang empat Waisai, hanya beberapa ratus meter saja dari rumah pribadi Bupati.
Sedangkan motor kedua dikemudikan oleh Mubalig Lokal JAI Kota Sorong, Mubalig Daerah Papua Barat ikut membonceng. Karena Jumat kemarin sudah pernah melalui jalur itu, perjalanan itu pun terasa dekat saja. Saat di tikungan arah Bandara Marinda, Mubalig Daerah Papua Barat pun diteriaki pengendara motor yang melintas dari arah depan. Motor pun berhenti untuk menunggu, sedangkan yang pengemudi motor yang berteriak tadi kemudian putar balik mengejar.
Ternyata, pengemudi motor itu adalah Idzer Maray, seorang pemuda asli Papua yang sebelumnya pernah berjumpa Mubalig Daerah Papua Barat di atas KM Sinabung dalam perjalanan kembali dari kunjungan di Biak, akhir Mei 2022 lalu. Menurutnya, dia tinggal di Kampung Saporkren. “Kalau disana, mampir saja ke rumah Bapak saya, seorang kepala sekolah SD YPK Saporkren,” kata Idzer Maray yang lulusan kampus STIMIK Bandung itu.
Perjalanan pun dilanjutkan kembali. Setelah dari Bandara Marinda, jalanan menuju ke arah Saileo Beach hingga tembus ke pintu masuk Kampung Saporkren. Motor tidak bisa masuk kesana dan harus parkir di pintu masuk ke Kampung Saporkren. Sebuah jembatan papan setinggi sekitar 2 meter menghubungkan daratan dengan kawasan Kampung Saporkren. Gapura bertuliskan “Welcome to Saporkren Forest Park” menyambut setiap tamu yang datang.
Setelah melewati jembatan kayu pertama dan naik ke jalan setapak di atas pesisir pantai, rombongan pun tiba di lokasi yang biasa dijadikan sebagai tempat berenang. Beberapa anak kampung tampak sedang bermain pasir pantai. Akhirnya mereka diminta mengantar ke rumah kepala sekolah. “Rumah Pak Nikodemus Maray berada tepat di belakang sekolah,” kata salah seorang anak perempuan bermarga Mambraku itu.
Setelah melewati jembatan papan kedua, akhirnya rombongan pun memasuki kawasan Kampung Wisata Saporkren. Tampak rumah-rumah yang dijadikan sebagai homestay berjejer rapi. Lingkungan yang bersih seolah kita sedang tidak berada di suatu perkampungan suku-suku Papua asli. Setelah foto bersama di depan SD YPK Getsemani Saporkren, rombongan pun menuju rumah dinas kepala sekolah.
Ternyata Nikodemus Maray dan istri sedang ada di depan teras. Mereka berdua menyambut rombongan dan mempersilakan duduk di teras. Mubalig Daerah Papua Barat memperkenalkan diri sebagai kenalan Idzer Maray. “Oh ya, dulu Idzer pernah cerita sepulang dari Jayapura, pernah berjumpa dengan Bapak saat di kapal laut dari Biak ke Manokwari,” kata ayah enam orang anak tersebut.
Sementara Mubalig Daerah asik berbincang dengan Nikodemus Maray, yang lainnya kemudian melihat pengambilan buah kelapa di depan rumah. Kebetulan salah seorang siswa SMK dimana Pak Rapik mengajar berasal dari kampung ini. Siswa itulah yang diminta memanjat pohon kelapa yang berbuah lebat itu. “Disini ada tiga orang siswa, salah satunya ini yang terpandai.”
Nikodemus Maray kemudian menceritakan sejarah Kampung Saporkren. Menurutnya, dulu pada tahun 1960-an, disini hanya ada 27 rumah saja. Kini, setelah puluhan tahun kemudian, ada sekitar 400 jiwa dengan sekitar 100 rumah. Bahkan, Kampung Saporkren telah mengalami pemekaran. “Dari gereja besar Getsemani kesana, itu sudah menjadi satu kampung baru lagi,” papar ayah dari Idzer, Ido, Ichtus, Immanuel, Elsyebet dan Yohana tersebut.
“Kami disini menggunakan bahasa lokal yang berbeda dari bahasa Biak atau Raja Ampat. Disebut sebagai bahasa Beteuw karena telah mengalami perubahan bunyi. Kami orang-orang tua masih bisa bahasa tanah disini, tetapi anak-anak kecil sekarang sudah menggunakan bahasa Indonesia saja. Meski di rumah tetap menggunakan bahasa Betew ini,” kata Nikodemus menambahkan.
Menurut Kepala Sekolah SD YPK Getsemani Saporkren itu, dulu di Kabare, Jepang pernah menangkap seekor ular raksasa yang disebut sebagai korben. Setelah dipotong-potong kemudian dimasak. Tetapi, tentara Jepang itu kemudian banyak yang tewas karena keracunan. Kuburan masal mereka ada di Kabare, ditumpuk dalam satu lobang.
Menurut Nikodemus lagi, di kawasan perbukitan di sekitar kampung ini terdapat burung Cenderawasih, burung betet, ular phyton hijau dan hewan langka lainnya. Untuk melihatnya, setiap pengunjung dikenakan tarif sekitar Rp 200-300 ribu rupiah untuk jasa pemandu yang akan mengantarkan ke lokasi hewan-hewan tersebut. “Biasanya, burung itu turun ke pemukiman untuk mencari makan,” kata dia lagi.
Setelah hampir dua jam berbincang, akhirnya rombongan pun pamit kembali ke Kota Waisai lagi. Setelah membayar bea parkir Rp 10.000,- tiap motor kepada pihak terkait, rombongan pun kemudian meninggalkan kawasan Kampung Saporkren. Perjalanan sekitar satu jam di bawah terik panas itu tidak dihiraukan. Pemandangan Indah sepanjang perjalanan seolah mengusir cuaca panas dan gerah itu.
Bagi Mubalig Daerah Papua Barat ini merupakan kunjungan perdana ke Saporkren. Tetapi bagi Mubalig Lokal Kota Sorong dan khudam Waisai, sudah beberapa kali kesini. Sebagai salah satu lokasi target, di Kampung Saporkren akan dijadikan sebagai homebase kegiatan Jemaat terkait rabtah dan pertabligan. Salah satu sarana sudah dibicarakan dengan istri Nikodemus tersebut, yaitu ruang perpustakaan. []
Disusun oleh:
Mln. Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
Mubalig Daerah Papua Barat
Related Posts
Waqf-E-Nou Parents Day Sukses Digelar di Masjid Mahmudah Gondrong Tangerang
Jemaat Ahmadiyah Cibinong Adakan Kelas Waqf-E-Nou
Ansharullah Ahmadiyah Indonesia Adakan Ijtima Nasional 2024
Bekali Public Speaking dan Personal Building | Hadirkan Mentor dari Celebes Public Speaking
DPD Jemaat Ahmadiyah Bogor Hadiri FGD Setara Institute
No Responses