Masroor Library – Manokwari, Papua Barat [15/7]. Namanya Jimmy, tetapi orang-orang memanggilnya dengan nama Jimmy Chibi. Sosoknya tinggi besar dan tidak menampakkan bahwa dirinya adalah orang China, apalagi orang Papua. Tetapi sebutan “Chibi” (China Biak) sangat melekat dengan dirinya. Beberapa orang lainnya menyebut dengan nama “Perancis” alias Peranakan China Serui. Memang, di Papua –terutama di Serui dan Biak– populer istilah itu.
Jimmy sendiri lahir di Serui, tetapi kemudian besar di Biak. Oleh sebab itu, dia dikenal dengan sebutan Perancis atau Chibi. Di Manokwari, sebagaimana orang China pada umumnya, Jimmy memiliki beberapa jenis usaha. Bersama adiknya, dia membuka warung kopi mewah yang diberi nama Bakaro Coffee dan Abon Gulung merk PAWAI. Nama Bakaro juga Pawai ada hubungan dengan Papua.
Mubalig Daerah Papua Barat bersama Ketua Dewan Adat Papua (DAP) wilayah III Doberay Mananwir Paul Finsen Mayor, S.I.P. dan dua orang peneliti dari Makassar sedang berada di Bakaro Coffee, Wosi, Jumat (15/7) malam itu. Pertemuan itu membahas mengenai kerukunan antar umat beragama (KUB) di Provinsi Papua Barat khususnya di Kota Manokwari.
“Tahun 2019 lalu saya pertama menginjakkan kaki di Manokwari. Saat itu, saya tinggal di Hotel Metro Sanggeng. Kini, saya tahu, ternyata Sanggeng merupakan Texas-nya Manokwari. Oleh sebab itu, dalam kunjungan sekarang saya lebih memilih Hotel Valdos di Wosi,” kata peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) PR Khazanah Keagamaan dan Peradaban itu.
Bersama temannya dari peneliti Kemenag Makassar, Syamsuddin, S.Ag., Dr. © Abu Muslim, S.H., M.H., akan berada di Manokwari selama lima hari. Tanpa sengaja, Mubalig Daerah Papua Barat melihat keberadaan keduanya lewat status WhatsApp (WA) Peneliti BRIN itu saat baru mendarat di Bandara Rendani, Manokwari. Setelah dihubungi, ternyata, Abu Muslim memang sedang berada di Kota Injil ini.
Mubalig Daerah Papua Barat mengenal Abu Muslim saat menjadi pembicara Webinar Zoom yang diselenggarakan di IAIN Ambon dan IAIN Sorong. Kebetulan, sebelumnya Abu Muslim adalah peneliti Manuskrip Kuno di Balitbang Kemenag Makassar (BLAM). Persahabatan itu berdasarkan disiplin keilmuan yang sama itu terjalin meski hanya melalui daring (online) atau pesan instan.
Setelah perbincangan selama satu jam, akhirnya kedua peneliti BRIN dan Kemenag Makassar itu ingin mengetahui tanggapan KUB langsung dari orang asli Papua. Mubalig Daerah Papua Barat pum langsung menghubungi Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah IIJ Doberay, Mananwir Paul Finsen Mayor, S.I.P. Meski tampak keheranan, kedua peneliti itu akhirnya mengakui, bahwa hanya dengan ditelpon, akhirnya Ketua DAP itu datang.
Sebuah mobil bertuliskan “Kendaraan Operasional Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberay Bantuan dari Pemerintah Provinsi Papua Barat” itu pun parkir di halaman Bakaro Coffee. Sesosok orang asli Papua dengan rambut kribo turun dan langsung masuk ke dalam. Mubalig Daerah Papua Barat menyambut di depan pintu masuk.
Setelah kedua pihak diperkenalkan oleh Mubalig Daerah Papua Barat, perbincangan mengenai KUB di Papua Barat pun mengalir kembali. “Tahun 2020, Papua Barat pernah menempati posisi pertama KUB di Indonesia dengan capaian skor indeks toleransi tertinggi 85. Saat itu, Kaimana, Fak Fak dan Kota Sorong yang menjadi lokus penelitian kami,” kata Abu Muslim yang juga mahasiswa doktoral Jurusan Sejarah di UIN Alauddin Makassar (UINAM) tersebut.
Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberay kemudian menerangkan secara filosofi dan sejarah mengapa di Papua Barat khususnya di Manokwari indeks toleransi itu bisa tinggi. Menurutnya, hal itu karena faktor adat. Karena memang orang Papua tidak bisa dilepaskan dari adat. Sejak lahir hingga mati, prosesi adat itu akan melekat.
“Kalau dibilang ‘tak tahu adat’, maka itu sangat menyakitkan bagi orang Papua,” kata Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Departemen Politik, Pemerintahan dan Hubungan Luar Negeri itu. “Oleh sebab itu, secara adat, Tanah Besar Papua bisa dipersatukan menjadi tujuh wilayah adat. Khususnya di Papua Barat, kekuatan terbesarnya adalah dari Suku Biak dan Serui yang ada disini, selain Suku Arfak dan Moi serta Ayamaru.”
“Di Manokwari, peran DAP terhadap KUB sangat signifikan. Sewaktu Ketua MUI mendiskreditkan Ahmadiyah, saya langsung telpon dan menyampaikan dengan keras bahwa tidak boleh ada yang mengintimidasi pihak lainnya. Apakah kamu pernah melihat Tuhan, sehingga berhak mengklaim kebenaran?” kata mantan Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Raja Ampat saat berusia 23 tahun tersebut.
Setelah hampir empat jam berbincang, pertemuan itu pun diakhiri. Sesi dokumentasi pun dilakukan. Mubalig Daerah Papua Barat kembali ke Arfai II, sedangkan Ketua DAP Wilayah IIII Doberay pun meluncur ke kantornya yang berjarak hanya sekitar 200 meter saja dari lokasi pertemuan. Begitu juga kedua peneliti itu pun kembali ke Hotel Valdos yang berjarak sekitar seratus meter saja dari Bakaro Coffee. []
Disusun oleh:
Mln. Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan
Mubalig Daerah Papua Barat
Related Posts
Waqf-E-Nou Parents Day Sukses Digelar di Masjid Mahmudah Gondrong Tangerang
Jemaat Ahmadiyah Cibinong Adakan Kelas Waqf-E-Nou
Ansharullah Ahmadiyah Indonesia Adakan Ijtima Nasional 2024
Bekali Public Speaking dan Personal Building | Hadirkan Mentor dari Celebes Public Speaking
DPD Jemaat Ahmadiyah Bogor Hadiri FGD Setara Institute
No Responses