Proses Pernikahan Yang Islami

Proses Pernikahan Yang Islami

HAZRAT MASIH MAU‟UD a.s. telah mengeluarkan dari Ahmadiyyah seorang wanita Ahmadi yang menikah dengan bukan Ahmadi. Bagaimana mungkin dia (wanita) itu bisa menjadi anggota Lajnah atau Pengurus Lajnah.

Masroor Library – Artikel kali ini Masroor Library akan melanjutkan pembahasan yang terdahulu tentang Rishta Nata. Kali ini tema yang diambil adalah tentang Proses pernikahan yang Islami.

Dalam Islam pernikahan memang dianjurkan, sebab pernikahan akan menghasilkan keturunan yang akan meneruskan dan memelihara dunia dan seisinya. Islam sangat menyukai pernikahan, hal itu jelas tersurat dalam FirmanNya :

“Dan Allah telah menjadikan bagi kamu jodoh-jodoh dari antara kamu sendiri dan telah menjadikan bagimu dari jodoh-jodoh itu anak-anak dan cucu-cucu dan telah memberikan rejeki kepadamu segala yang baik. Apakah mereka akan beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah”. [QS An Nahl : 73]

“Dan kawinlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hambamu yang laki-laki dan yang perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Allah Amat Luas pemberianNya dan Maha Mengetahui.” [QS An Nur : 33]

Adapun tahapan-tahapan yang diajarkan Islam untuk melangkah kepada jenjang pernikahan dapat diuraikan sebagai berikut :

A. MELAMAR

Tahapan pertama yang harus dilakukan seorang pria yang sudah siap menikah hendaknya ia datang kepada orang tua wanita yang ia pilih untuk menjadi istrinya, untuk meminta persetujuan orang tua atau wali si wanita.Tentu alangkah baiknya bila terlebih dahulu antara keduanya sudah saling mengenal saling cocok dan setuju untuk melakukan pernikahan.

Adapun hal-hal yang dilakukan dalam melamar adalah :

  1. Apabila kedua belah pihak sudah ada kontak. Sebaiknya sebelum memutuskan lebih jauh lagi, kedua pasangan hendaknya melaksanakan shalat Istikharah secara dawwam. Tujuannya adalah agar diberi ketetapan hati apabila pasangan itu baik buatnya atau sebaliknya.
  2. Keluarga pihak laki-laki mendatangi keluarga wanita untuk menyampaikan maksudnya, yaitu meminang / melamar.
  3. Apabila lamaran sudah diterima, kemudian hendaknya dirundingkan kapan pelaksanaan pernikahan akan diselenggarakan.Sudah menjadi kewajiban bagi orang tua yang mempunyai anak gadis, apabila telah dewasa kemudian datang seorang pria yang diketahui baik agamanya melamar si gadis, maka orang tua itu harus mengawinkan putrinya dengan laki-laki tersebut.

Rasulullah SAW bersabda :

“Apabila ada pria yang datang kepadamu yang kamu senangi, baik agama maupun akhlaknya, maka kawinkanlah anakmu dengannya, sebab jika tidak kamu laksanakan sungguh dikhawatirkan akan menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang merata “ [HR Tirmidzi, dari Abu Hurairah r.a]

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal Melamar Calon Mempelai adalah sebagai berikut :

1.Tentang Mahar

Mahar atau Mas kawin adalah pembayaran yang wajib diberikan / dibayarkan oleh calon mempelai laki-laki kepada mempelai wanita sebagai bukti terikatnya kedua pasangan sebagai suami-istri. Pembayaran Mahar ini boleh dilakukan sebelum, ketika atau sesudah Akad Nikah. Hal ini tergantung pada kesepakatan dari kedua belah pihak.

Berkenaan dengan hal ini Allah Ta‟ala berfirman :

“Berikanlah Mas Kawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. … “ [QS An-Nisaa : 5]

Mahar dibayarkan sebagai tanda perlindungan terhadap wanita yang diperistri, yang telah menghalalkan kehormatannya. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya untuk dimiliki dan dimanfaatkan. Besarnya mahar tidak ditentukan, tergantung perminataan calon pengantin perempuan.

Tetapi Hazrat Khalifatul Masih ke-2 (Hz. Mirza Bashirudin Mahmud Ahmar r.a.) menganjurkan kepada kaum pria Ahmadi yang hendak menikah, agar sebaiknya mahar diberikan antara enam bulan sampai satu tahun penghasilan. Hal itu semata-mata sebagai penghargaan kepada mempelai wanita. Namun bagi seorang wanita yang akan menentukan maharnya, sebaiknya tidak terlalu memberatkan calon mempelai pria dengan meminta Mahar yang mahal.

Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya perkawinan yang paling besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya. Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan urusan perkawinannya, dan baik akhlaknya. Sedangkan perempuan yang celaka yaitu yang maharnya mahal, mempersulit urusan perkawinannya, dan buruk akhlaknya.” [HR Ahmad dan Nasai].

Penetapan Mahar menjadi hak calon istri, sedangkan calon suami boleh menawar ketetapan tersebut bila merasa keberatan. Namun jika penawarannya ditolak, maka mau tidak maUharus menurutinya atau mundur apabila tidak sanggup.Islam tidak menetapkan banyak atau sedikitnya mahar. Hal ini karena adanya perbedaan antara kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rizki. Ketetapan syari‟at tentang mahar tidaklah dimaksudkan lain kecuali untuk menunjukkan pentingnya mahar tersebut tanpa melihat jumlah dan bentuknya.

Tentang mahar ini disebutkan dalam beberapa Hadits sbb :

Dari Amir bin Rabi‟ah, bahwa seorang perempuan Bani Fazarah dinikahkan dengan mahar sepasang sandal. Rasulullah SAW lalu bersabda : “ apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasang sandal?” Jawabnya : “Ya,” setelah itu beliau membenarkan. [HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi]

Dari Sahal bin Sa‟ad, bahwa Nabi saw pernah didatangi oleh seorang perempuan, lalu ia berkata “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya menyerahkan diri kepada Tuan.” Ia lalu berdiri lama sekali. Tak lama kemudian berdiri seorang laki-laki dan berkata : “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengan perempuan ini seandainya Tuan tiada berhasrat kepadanya” Rasulullah SAW menjawab : “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk membayar mahar kepadanya?” Jawabnya : “Saya tidak punya apa-apa, kecuali sarung yang sedang saya pakai ini”. Rasulullah SAW bersabda: ”Jika sarungmu engkau berikan kepadanya, tentu engkau akan duduk tanpa berkain lagi. Oleh karena itu, carilah sesuatu”. Jawabnya : “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Beliau bersabda :”Carilah, sekalipun cincin dari besi”. Ia lalu mencarinya, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Nabi SAW bertanya kepadanya : “Adakah padamu suatu ayat Al Qur‟an ?”. Jawabnya : “Ada, (yaitu surat anu dan surat anu)”. Lalu Nabi SAW bersabda : “Sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar ayat Al Qur‟an yang ada padamu.” [HR Bukhari]

Rasulullah SAW bersabda : “Ajarkanlah kepadanya dua puluh ayat dan dia syah jadi istrimu.” [HR Abu Dawud dan Nasai]

Dari Anas, berkata : bahwa Abu Thalhah pernah meminang Ummu Sulaim, katanya : “Demi Allah, orang seperti Anda tidak patut ditolak (lamarannya), tetapi Anda orang kafir, sedangkan saya orang Islam. Saya tidak halal nikah dengan Anda. Jika Anda mau masuk Islam, itulah maharnya, dan saya tidak meminta kepada Anda sesuatu yang lain. Oleh karena itu jadilah keIslaman itu sebagai maharnya. [HR Nasai]

Hadits ini mengisyaratkan bahwa mahar yang diberikan tidak selalu harus berbentuk uang, tetapi bias juga berbentuk ilmu atau lainnya, karena mungkin saja bagi calon mempelai wanita justru ilmu atau lainnya itu lebih berharga ketimbang uang.

2.Shalat Istikharah

Shalat Istikharah sebaiknya dilakukan secara dawam sebelum seorang Khuddam atau Lajnah menentukan pilihan. Istikharah ini disebut sebagai Istikharah Aam. Hal ini sangat perlu karena terkadang dalam menentukan pilihan, kita sering terjebak oleh pandangan mata kita sendiri, karena calon pasangan yang ditawarkan itu terlihat tampan atau cantik, maka tanpa piker panjang langsung saja menyetujuinya tanpa mempertimbangkan factor lain yang lebih penting, yaitu ketakwaannya / agamanya. Dengan melakukan Istikharah kita berharap bahwa Allah Ta‟ala akan membimbing kita dalam memutuskan pilihan kita.

Istikharah Khas dikerjakan bila ada yang menyarankan satu nama tertentu untuk menjadi pertimbangannya. Tanda-tanda penerimaan Istikharah itu boleh jadi tampak dalam bentuk suasana lingkungan yang menyenangkan hati yang mengarahkan kita kepada keputusan yang mantap dalam menentukan pilihan.

3.Kufu Dalam Pasangan

Semua orang Islam sama derajatnya, tidak ada yang mempunyai kelebihan atas lainnya kecuali kelebihan dalam hal Taqwa. Allah Ta‟ala berfirman :

“Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling baik akhlaknya”.

Namun demikian masalah kufu dalam batas tertentu dan dalam arti keseimbangan juga perlu demi keserasian dalam menjalankan roda rumah tangga. Di dalam Jemaat masalah ini lebih utama lagi karena kerukunan dan kebahagiaan rumah tangga juga ditentukan oleh masalah Kufu / keseimbangan ini.

Seorang Khuddam yang aktif akan terganggu kegiatan kejemaatannya apabila tidak beristrikan seorang Lajnah yang aktif pula, demikian pula sebaliknya. Hal ini banyak dijumpai dikalangan warga jemaat, dimana seringkali seorang Lajnah menggerutu kesal karena suaminya ( Khuddam ) selalu sibuk di mesjid untuk urusan Jemaat, sehingga ia merasa tidak diperhatikan oleh suami. Hal ini tidak akan terjadi apabila Khuddam aktif menikah dengan Lajnah aktif, karena tentunya sang Istri akan mengerti bahkan mendorong suaminya untuk lebih aktif lagi dalam urusan Jemaat, karena ia menyadari betapa pentingnya mendekatkan diri kepada Allah melalui Jemaat demi masa depan anak-anak dan rumah tangganya. Hal inilah yang dimaksud Kufu dalam jemaat, sesuai dengan sabda Imam Mahdi a.s. sbb :

“Hendaknya harus diingat bahwa Islam tidak mengenal pembagian status sosial. Hanyalah ketakwaan dan kebajikan yang dijadikan tolak ukur (dalam perkawinan)”.(Majmuah Isytiharat, Jilid 1 hlm. 66-71)

B. MELAKSANAKAN UPACARA PERNIKAHAN

Berkenaan dengan hal ini, ada sebuah hadits sebagai berikut : Dari Aisyah, berkata :

“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda : ‘Umumkanlah pernikahan ini dan tempatkanlah dia di mesjid dan adakan keramaian rebana untuk itu’“. [ H.R. Ahmad dan Tirmidzi ]

Anjuran Rasulullah SAW agar mengumumkan pernikahan dan mengadakan upacara pernikahan di mesjid bertujuan agar tempat yang umum dan banyak dikunjungi umat Islam ini dapat menjadi saksi peristiwa sakral dan suci itu, sehingga masyarakat umum akan mengetahui tentang adanya peristiwa pernikahan. Dengan demikian mesjid bukan hanya sebagai tempat shalat, melainkan juga menjadi tempat aktifitas masyarakat Islam secara luas, tentunya yang berhubungan dengan kegiatan peribadatan, termasuk pernikahan.

Adapun acara-acara dalam proses pernikahan adalah sebagai berikut :

Khutbah Nikah

Khutbah Nikah dibacakan sebelum Akad Nikah berlangsung. Khutbah Nikah bukanlah merupakan syarat sahnya pernikahan, melainkan suatu anjuran yang lebih diutamakan.

Fungsi khutbah Nikah ini adalah untuk memberikan nasehat kepada kedua mempelai khususnya, dan mengingatkan kepada yang hadir tentang kedudukan pernikahan dalam kehidupan di dunia ini. Dengan khutbah ini diharapkan umat Islam semakin teguh keimanannya dan berkeinginan kuat untuk melaksanakan pernikahan demi memberantas pergaulan bebas serta penzinahan, sehingga masyarakat
bersih dari kerusakan akhlak.

Akad Nikah / Ijab Kabul

IJAB KABUL terdiri dari dua pengertian. Pertama IJAB yaitu pernyataan pihak mempelai perempuan kepada pihak mempelai laki-laki untuk menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki tersebut. Sedangkan KABULialah jawaban penerimaan dari pihak mempelai laki-laki atas pernikahan tersebut.

IJAB KABUL adalah bukti persetujuan kedua mempelai atas pernikahan mereka. Oleh karena itu IJAB KABUL harus dinyatakan secara lisan atau dengan cara lain yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

Dalam sebuah Hadits diriwayatkan sebagai berikut :

“Sahal bin Sa‟ad berkata : Seorang perempuan datang kepada Nabi SAW lalu berkata ‘saya serahkan diriku kepada Tuan‟. Perempuan itu berdiri lama sekali ( untuk menanti jawaban ). Sesaat kemudian datang seorang laki-laki, berdiri di dekat Rasulullah SAW lalu berkata : ‘ Wahai Rasulullah, nikahkanlah saya dengan perempuan ini apabila Tuan tidak suka kepadanya’. Lalu Rasulullah bersabda : ‘ Aku nikahkan engkau dengannya dengan maskawin ayat Al Qur‟an yang engkau hafal( untuk diajarkan kepadanya )‟“. [HR Bukhari dan Muslim]

Ucapan IJAB KABUL yang sering dan biasa digunakan di masyarakat Islam di negara kita pada umumnya adalah sebagai berikut :

“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah (nama mempelai perempuan) binti Fulan dengan maskawin ……. dibayar tunai. “

Lalu dijawab oleh pengantin laki-laki dengan kata-kata sebagai berikut :

“Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan kepada saya dengan mas kawin sebagaimana tersebut.”

IJAB biasanya dilakukan oleh ayah atau wali dari mempelai perempuan atau yang mewakilinya atau oleh penghulu yang telah dikuasakan ayah atau wali mempelai perempuan tersebut. Sedangkan untuk KABUL dilakukan secara spontan oleh mempalai laki-laki setelah wakil dari mempelai perempuan selesai mengucapkan kata-kata IJABnya.

Do’a Sesudah Akad Nikah

Setelah Akad Nikah, disunatkan membaca do‟a untuk kedua mempelai. Adapun lafadz do‟a setelah Akad Nikah, dicontohkan sebagai berikut :

“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW pada waktu orang selesai melakukan Akad Nikah, ia berdo‟a : ‘Barokallohulakum wa baaroka ‘alaikum wajama‟a bainakumaa fii khoirin.‟( semoga Allah memberikan kepadamu barokah dan menetapkan kamu dalam barokahNya dan menyatukankalian dalam kebaikan.” [HR Abu Dawud, Ibnu Majah]

Serah Terima Mempelai Wanita ( Rukhshanah )

Rukhshanah adalah upacara Serah Terima mempelai perempuan kepada keluarga mempelai laki-laki. Waktu penyelenggaraan Rukhshanah boleh dilakukan setelah Akad Nikah atau kapan saja pada saat mempelai wanita akan diboyong ke rumah suaminya. Adapun setelah dilakukan Rukhshanah hendaknya jangan terlalu lama menyelenggarakan acara Walimah. Dan batas waktu penyelenggaraan walimah dari Rukhshanah tidak boleh lebih dari dua hari.

Dalam hadits Ibnu Majah dikatakan :

Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Walimah pada hari pertama adalah suatu hal yang benar, pada hari kedua adalah suatu perkenalan, sedangkan pada hari ketiga adalah pamer dan mencari popularitas.” [HR Ibnu Majah]

Melaksanakan Walimah

Walimah adalah suatu kegiatan jamuan makan dengan tujuan mengadakan syukuran atas pernikahan yang menandakan telah bertemunya kedua mempelai sebagai suami istri.

Tujuan walimah adalah untuk mengumumkan kepada masyarakat tentang telah terjadinya pernikahan kedua mempelai (suami-istri). Walimah dilakukan apabila pasangan suami istri tersebut sudah melakukan hubungan suami-istri dalam arti yang sebenarnya (bersenggama). Biasanya dilakukan paling satu hari sesudah Rukhshanah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Masy‟ud bahwa Rasulullah saw bersabda : “Memberi makan (walimah) pada hari pertama (setelah dukhul) adalah wajib dan memberi makan pada hari kedua adalah sunnah dan memberi makan pada hari ketiga adalah untuk mencari kemasyhuran (keriaan) dan Allah akan memberi kemasyhuran (keriaan) dengan itu.” [HR Tirmizi, Buku Hadits Miskat, bab Walimah, hal. 278-279]

Tercatat dalam Hadits Ibnu Majah, Rasulullah Saw bersabda bahwa :

“ Waktunya (walimah) ialah sesudah dukhul (bertemunya suami istri dalam arti bebas, bersenggama)”.

Hazrat Masih Mau‟ud as bersabda :

“ Dalam hukum ajaran syariat kita ialah, manakala suami-istri (mempelai) satu dengan yang lain telah “bertemu” dan secara hakiki telah mengadakan hubungan, maka ada walimah. Maklum hendaknya bahwa istri telah sah menjadi pemilik dari mahar (maskawin).  [Alfazal : tgl. 17-07-1942]

Pada saat walimah, umumnya keluarga mempelai pria mengadakan jamuan makanan. Kaum miskin adalah orang-orang yang sangat jarang menikmati makanan istimewa, oleh karena itu mereka yang mengadakan walimah diperintahkan untuk mengundang orang-orang miskin agar turut menikmati kebahagiaan tersebut.

Dalam sebuah hadits diceritakan :

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : “ makanan yang paling jelek adalah makanan dari acara walimah yang tidak diundang di dalamnya orang yang mau datang kepadanya (orang miskin ), tetapi malah mengundang orang yang enggan datang kepadanya ( orang kaya ). Barangsiapa tidak memperkenankan undangan kepada orang miskin, sesungguhnya telah durhaka terhadap Allah dan Rasulnya.” [HR Muslim]

Hazrat Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Hurairah berkata : “Sejelek-jeleknya makanan ialah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya, tetapi meninggalkan orang-orang miskin. [HR Bukhari]

Oleh: Bagus Sugiarto
Sumber: Buku Rishtanata yang dipublikasikan oleh PPMAI.ID

No Responses

Tinggalkan Balasan