Dars Alquran Hadhrat Khalifatul Masih IV RAH | Part 1

Dars Alquran Hadhrat Khalifatul Masih IV RAH | Part 1

Anda telah hadir hari ini juga, Masya Allah. Apakah Anda merasa lebih baik sekarang? Padahal Anda bahkan tidak bisa bangun.

Assalaumu Alaikum Warahmatullah.

Seharusnya kita mulai dari Surah Al-Nisa ayat 8 kan? Hari ini, kita akan menyediakan setengah jam terakhir Dars terbuka untuk pertanyaan dan jawaban. Saya yakin Anda juga memiliki satu atau dua pertanyaan untuk ditanyakan.Dan tentu saja, jika ada orang yang datang dari luar atau jika ada seseorang di sini yang ingin mengajukan pertanyaan, mereka boleh melakukannya. Jadi, ingatkan saya jika waktu tinggal 5 menit lagi sebelum setengah jam terakhir nanti.

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا

Bagi laki-laki نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ mendapat bagian dari apa yang ditinggalkan oleh orang tua dan kerabat dekat; وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ dan bagi wanita mendapat bagian dari apa yang orang tua dan kerabat dekat tinggalkan; مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ apakah itu sedikit atau banyak; نَصِيبًا مَّفْرُوضًا itu adalah bagian yang wajib diberikan kepada mereka, itu adalah hak mereka. Jadi ini bukan masalah sedikit atau lebih, hukum yang berkaitan dengan warisan adalah salah satu yang wajib diikuti oleh semua orang. Ini adalah ayat ke-8 Surat Al-Nisa.

Ayat yang sebelum ini tolong baca itu. Ayat itu adalah

:وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم
مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُوا ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا

Di sini pembahasan bergeser dari mengenai anak yatim piatu menjadi tentang orang-orang dalam masyarakat yang orang tua atau kerabat dekatnya telah meninggal. Nah, karena orang-orang tersebut usianya sudah lebih tua maka mereka tidak lagi termasuk dalam kategori yatama (yatim piatu) tetapi pokok pembahasannya tetap sama. Jadi, karena alasan ini, ayat sebelumnya memiliki hubungan yang dalam dengan ayat yang muncul setelahnya.

Tuhan menyatakan bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapatkan bagian dari warisan orang tuanya dan bagian dari warisan ini telah ditetapkan oleh-Nya. Mereka juga akan mendapatkan bagian dari warisan kerabat dekat mereka juga.

Mengapa warisan orang tua dan kerabat dekat disebutkan secara terpisah di sini, saya akan membicarakannya nanti. Saat ini, sesuai dengan arti dari kamus bahasa Arab dan penjelasan Al-Qur’an, saya akan menjelaskan arti dari نَصِيبًا (nashīb) dan apa sebenarnya itu.

Pertama, menaikkan sesuatu adalah salah satu maknanya, seperti yang kita katakan bahwa kita menaikkan bendera. Beginilah kata nashaba digunakan dalam bahasa Arab juga; untuk menaikkan dan meninggikan sesuatu untuk menunjukkan dengan terang dan jelas kepada dunia bahwa ini adalah tempat dan posisi tertentu yang dirujuk.

نَصَبَ لِفُلَانٍ اَعْدَاہٌ

Ini berarti dia mengukirkan kebencian terhadap seseorang di dalam hatinya. Ketika seseorang menanamkan sesuatu ke dalam hatinya; Ini adalah arti yang sama dari kata Arab nashaba yang kita gunakan dalam bahasa Urdu juga.

نَصَّبَ الشَّیْ ءَ

Artinya meletakkan sesuatu. Ini bukan nashaba melainkan, dalam wazn (pola)nashshaba artinya bukan lagi dia meninggikansesuatu, melainkan berarti dia meletakkan sesuatu. اَنْصَبَہُ جَعَلَہُ نَصِیْبًاanshaba berarti ia telah menetapkan bagian untuknya. Jadi kata nashīb terkait dengan ini. Allah SWT menetapkan saham (bagian) dan setiap saham disebut sebagai nashīb. تَنَاصَبَ الشَّیْءَ تَقَاسَمُوْہُ Artinya mereka telah mendistribusikan (membagi-bagikan) sesuatu. Jadi, dalam latar belakang ini; karena pewarisan adalah sesuatu yang didistribusikan itulah mengapa kata nashīb paling tepat digunakan disini.
النُّصْبُ mengacu pada sesuatu yang telah ditanam ke dalam tanah dan النِّصْبُ mengacu pada rejeki dan nasib.

النَّصِیبُ حِصَّۃُ مِنَ الشَّیْءِ berarti bagian dari sesuatu, اَلْحَظُّ berarti porsi; jadi sebagian atau sebagian dari sesuatu yang mungkin menjadi nasib/takdir seseorang. Dikatakan ہٰذَا نَصِیْبِیْ dalam pengertian ini dikatakan bahwa inilah yang ditakdirkan untuk saya dapatkan. Kata nashīb digunakan dalam arti yang persis sama dalam bahasa Urdu dan Punjabi. Jadi, ini adalah kata yang umum digunakan dalam bahasa kitaseperti yang digunakan dalam bahasa Arab. Dinyatakan dalam KitabTafsir Bahrul Muhīt bahwa kata ini mengacu pada kerja (menjadi pekerja atau buruh).

Orang-orang Yunani akan memberikan semua kekayaan kepada anak perempuan karena laki-laki tidak mungkin tidak mampu bekerja untuk mendapatkan uang sedangkan wanita mungkin saja. Tetapi mereka tidak akan memberikan apapun kepada gadis Arab. Pernyataan ini adalah sebuah diskusi akademis tapitidak ada hubungannya dengan wahyu ayat ini tentunya saja; seperti yang biasa dilakukan atau tidak dilakukan orang Yunani, ini adalah diskusi yang tidak relevan.

Ajaran waris yang telah diberikan kepada kita dalam Alquran adalah ajaran yang sangat proporsional dan seimbang seperti yang telah dijelaskan dalam catatan Hadhrat Muslih Mau’udRA. Tidak ada agama lain di dunia atau hukum atau kebiasaan di dunia di mana ajaran tentang warisan sedalam dan seproporsional seperti yang kita temukan dalam Alquran yang mencakup semua aspek berbeda dari warisan.

Berbagai negara memiliki kebiasaan dan praktik yang berbeda dalam hal ini, tetapi kami menemukan aspek ketidakadilan dalam setiap hukum adat. Adat Yunani memberikan segalanya untuk anak perempuan dan tidak memberikan apapun kepada anak laki-laki. Di beberapa agama lain, mereka akan memberikan segalanya kepada anak laki-laki dan tidak memberikan apapun kepada anak perempuan. Ajaran orang Yahudi muncul kemudian, yang juga menunjukkan bahwa anak perempuan hanya mendapat bagian ketika tidak ada anak laki-laki; sebaliknya, bagian mereka terus dirampas. Jadi dengancaraini, kita menemukan ajaran waris dalam setiap agama tetapi tidak lengkap dan sepihak dan dalam beberapa kejadian, tidak disebutkan tentang warisan apapun dalam ajaran mereka, itu hanya diserahkan pada kebiasaan pada waktu itu.

Di dalam Kitab Tafsir al-Qasimi disebutkan tentang alasan mengapa ayat ini diturunkan, hal ini diturunkan dalam latar belakang apa yang menjadi kebiasaan dalam budaya Arab. Orang-orang Arab tidak memberi bagian warisan kepada kaum perempuan dan anak-anak dan mereka biasa berkata, “Yang akan menjadi pewaris kami adalah mereka yang berperang dengan tombak, yang melindungi hartanya dan yang memperoleh rampasan perang.” Jadi, di Arab kala itu wanita bukan satu-satunya yang dirampas warisannya tetapi anak-anak juga dirampas warisannya. Salah satu pernyataan Hadhrat Ibnu Abbasdalam bab Nuzul (bahasan mengenai turunnya Surah)telah disebutkan dan Imam Razi juga menyebutkannya dalam tafsirnya. Menurut pernyataan Hadhrat Ibnu Abbas, pada waktu Aus bin Sabit RA meninggal dunia, ia meninggalkan seorang istri yang menjadi janda dan 4 putrinya. Jika peristiwa kematiannya ini terjadi pada perang Badr maka kata Syahid seharusnya ditulis.Kata bahasa Urdu ‘Faut’ atau kematian berarti dia meninggal di era ketika Surah ini diturunkan.

Orang-orang yang menjadi ahli warisnya; kata dalam bahasa Urdu yaitu Washi mengacu pada orang-orang yang menerima kekayaannya setelah kematiannya sesuai dengan kebiasaan pada saat itu; jadi, kekayaannya diberikan kepada dua orang laki-laki bernama Suwaid dan Arfajah. Mereka datang dan memiliki semua kekayaan almarhum dan tidak meninggalkan apapun untuk janda atau putri-putri Almarhum. Atas hal ini, janda itu pergi menemui Nabi SAW dan berkata bahwa kejadian ini telah terjadi pada kita, apakah tidak ada apa-apa untuk kita?

Menanggapi hal ini, Nabi SAًW bersabda kepadanya, “Pulanglah, tunggu dan lihat apa yang dikehendaki Allah SWT untuk Anda, tunggu keputusan-Nya, pulang dan lihat apa yang terjadi.”Kemudian ayat ini diturunkan atas Nabi Suci SAW

Riwayat ini telah membatasi pewahyuan (atau tentang turunnya) ayat ini dan menurut saya, komentar yang dibuat Rodwell (seorang orientalis Barat) tentang hal ini tampaknya lebih logis dan masuk akal. Dalam pembahasan kali ini, Rodwell mengajukan pertanyaan dan mengatakan bahwa riwayat yang pernah disinggung tentang perempuan itu, ada riwayat serupa yang menyebutkan nama 6 orang yang berbeda. Dengan kata lain, nama ayah yang meninggal telah dinamai sesuatu di satu riwayat dan sesuatu yang lain di riwayat lain dan seterusnya dan dengan cara yang sama, nama-nama wanita yang berbeda telah dicatat juga. Dia mengatakan kita hanya dapat memperoleh dua hasil dari ini dan itu adalahriwayat-riwayat ini tidak dapat dipercaya dan dapat diterima karena ada begitu banyak perbedaan mendasar di antara semuanya. Namun, ada satu penjelasan untuk ini yang merupakan penjelasan rasional. Dia mengatakan pada masa itu ketika ada perang, ada banyak orang lain juga yang kehilangan ayah mereka. Namun, sangat mungkin hukum ini dan yang serupa yang berkaitan warisan diberikan pada saat banyak kepala keluarga tewas di Uhud dalam pertempuran. Jadi, ini adalah hal yang sangat rasional untuk dikatakan.

Rodwell sering menyajikan pandangan yang logis. Dia mengatakan bahwa tidak benar untuk membatasi ini pada satu riwayat itu, jika tidak, riwayat secara umum tidak akan lagi dapat dipercaya. Besar kemungkinan banyak kejadian seperti itu telah terjadi; ayat ini diturunkan pada saat perang Uhud ketika banyak Muslim menjadi martir (syahid). Kemungkinan besar banyak dari para Syuhada itu hanya memiliki anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki. Jadi, ayat ini diturunkan pada waktu yang tepat dan untuk penegakan hak-hak banyak orang yang dirampas. Dan kemudian ini akan menjadi prinsip pedoman bagi seluruh umat sampai akhir zaman.

Pandangan Rodwell ini jauh lebih besar daripada pandangan yang dianut oleh komentator lain yang juga rasional dan di dalamnya terkandung bukti juga. Ibnu Katsir juga menyebutkan riwayat yang sama dengan yang saya bicarakan sebelumnya dan ini sejalan dengan diskusi yang ditulis Rodwell bahwa riwayat ini tidak diriwayatkan dalam satu cara atau bentuk tetapi telah diriwayatkan dengan 6 nama berbeda dan sebagainya. Hal ini pasti menghindari kenyataan bahwa kejadian-kejadian ini adalah kejadian serupa yang berhubungan dengan lebih dari satu orang dan Tuhan Yang Maha Kuasa menurunkan ayat ini untuk semuanya. Tidak benar untuk mengatakan bahwa seorang wanita pergi kepada Nabi (saw) yang kemudian menyuruhnya menunggu keputusan Tuhan, ada keadaan tertentu yang lazim diperlukan untuk ayat seperti itu diturunkan dan itu adalah keadaan yang dengannya ayat ini diturunkan.

HadhratMuslihMau’ud (ra) telah menyebutkan tentang pentingnya ayat ini bahwa ayat ini berkaitan dengan ahli waris (pewaris). Apakah seseorang menyebutnya Wasiyyat (keinginan) atau Tarikah (warisan); dalam kedua kasus ayat ini menyatakan siapa pun yang meninggalkan sedikit harta atau banyak harta, putra dan putri mereka adalah pewaris kekayaan itu. Tidak disebutkan dalam ayat Al-Qur’an ini tentang berapa banyak kekayaan yang harus diberikan untuk Wasiat supaya diberikan kepada mereka yang ditinggalkan di dunia ini. Apa yang disebutkan di sini adalah apa pun yang ditinggalkan orang yang meninggal, itu harus diberikan kepada ahli warisnya terlepas dari apakah itu kurang (sedikit) atau banyak. Diskusi tentang ‘kurang’ atau ‘banyak’ ini adalah diskusi yang sangat penting dan saya akan segera kembali ke sana.

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ()

Bagilaki-laki terdapat bagian dari apa yang orang tua tinggalkan; وَالْأَقْرَبُونَ dan juga untukkerabat dekat yang ditinggalkan. Sekarang, jika orang tua meninggalkan sesuatu, putra dan putri keduanya akan menjadi pewaris mereka.

Lantas, bagaimana bagian itu diberikan kepada kerabat? Pertanyaan yang muncul adalah jika seorang ibu dan ayah meninggal, sesuai dengan perintah yang jelas dan kategoris ini, apapun yang mereka tinggalkan akan diberikan kepada putra dan putri mereka sebagai ahli waris yang sah.Lantas, bagaimana kerabat lain akan menjadi ahli waris jika orang tuanya meninggal, jika kita mengetahui semua kerabat akan mendapat bagian warisan dari kata aqrabun (kerabat)? Karena jika ada lebih dari satu anak laki-laki atau perempuan, berapa pun jumlah warisannya, Al-Qur’an memerintahkan agar semuanya dibagikan secara merata dalam satu atau dua bagian; dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan. Dan bagi kerabat almarhum lainnya, sepertinya masih ada bagian yang tersisa untuk mereka. Oleh karena itu, maknaوَالْأَقْرَبُونَ yang saya pahami yang dimaksud dalam ayat ini adalah sebenarnya inilah pokok bahasan utama yang berkaitan dengan pewarisan, itu adalah pedoman prinsip hukum waris Islam yang disajikan dalam ayat ini.

Tuhan menyatakan, لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ. Anak-anak adalah yang paling berhak atas warisan orang tua mereka. Mengapa demikian?Alasannya adalah karena orang tua bertanggung jawab dalam mengasuh, membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Tuhan telah menganugerahkan tanggung jawab pemenuhan hak anak kepada orang tua. Dengan demikian, hak yang dipenuhi orang tua untuk anak-anaknya selama masa pengasuhannya mencerminkan siapa yang berhak atas warisannya. Jadi, ada kewajiban orang tua untuk memenuhi hak anaknya. Merupakan tanggung jawab orang tua untuk mengasuh dan membesarkananak-anaknya sehingga anak-anak adalah pemilik pertama yang berhak atas warisan mereka. Sebagaimana orang tua secara alami meninggal sebelum putra dan putri mereka, anak-anak dari orang tua yang meninggal telah disebutkan terlebih dahulu. Jika anak-anak meninggal dan orang tua tetap hidup, maka berdasarkan prinsip ini, Al-Qur’an telah menjelaskan bagaimana orang tua akan menerima bagian dari warisan anak-anak mereka dalam ayat-ayat selanjutnya.Dengan demikian, pemilik sah pertama yang menerima bagian dari warisan adalah baik putra dan putri atau ayah dan ibu.

Seseorang dapat memahami hubungan antara orang tua dan anak-anaknya. Ketika ada tanggung jawab pada orang tua, saat ia meninggal maka tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab anak. Ketika orang tua masih hidup, bagi orang tua untuk kerabat lainnya tidak ada kewajiban memelihara. Semata-mata karena simpati kepada kerabat lainnya, Al-Qur’an menekankan agar seseorang menjaga kerabatnya. Dari sudut pandang moral, orang tua; jika ada sepasang suami istri yang memiliki anak, mereka tidak diwajibkan untuk memberikan hartanya kepada kerabatnya secara hukum. Jika mereka terikat untuk menafkahi siapa pun, itu adalah anak-anak mereka, mereka bertanggung jawab atas anak-anak mereka. Dan prinsip yang sama akan diikuti dalam masalah warisan juga. Dan jika ayat-ayat lain dari Al-Qur’an dibaca berdasarkan prinsip ini, maka tidak akan ada kebingungan. Kapanpun prinsip ini dilupakan, para ahli Fiqh muncul dengan pandangan sia-sia berdasarkan prinsip mereka sendiri dan kemudian ada ideologi aneh yang muncul dari yang menciptakan dilema; dilema yang belum dapat diatasi oleh para ahli dalam masalah warisan.

Kadang-kadang mungkin terjadi bahwa orang tua mungkin meninggalkan anak perempuan atau laki-laki, tetapi terutama dalam kasus mereka meninggalkan anak perempuan; kadang-kadang terjadi bahwa kerabat lainnya mendapatkan bagian warisan yang lebih besar daripada sang anak perempuan karena ketika orang melupakan prinsip Al-Qur’an dan menganggap hukum buatan manusia tentang warisan sebagai hukum warisan yang sebenarnya; sekalipun hukum tersebut berasal dari suatu tempat dan tidak sepenuhnya dibuat sendiri namun dengan menghadirkan hukum atau pandangan yang bersumber dari informasi yang juga bersumber dari hal lain telah menjauhkan manusia dari kenyataanbahasan dan prinsip mendasar ini. Artinya, filosofi warisan adalah ketika Anda meninggal dunia, orang-orang yang menjadi tanggung jawab Anda untuk Anda rawat dan asuh dalam hidup ini, mereka akan tetap memiliki hak penuh atas kekayaan yang biasa mereka gunakan selama hidup Anda. Ini adalah akibat yang wajar dan logis. Dan mereka yang telah menafkahi Anda, jika Anda (sebagai anak-anak) meninggal, maka kekayaan yang telah Anda gunakan, yakni kekayaan yang digunakan untuk memelihara dan membesarkan Anda akan diterima pertama kali oleh mereka (orang tua). Kemudian, mulai berpindah ke arah ibu dan bapak.

Ketika menggali jauh ke dalam rincian rumit dari warisan, inilah ruh yang harus dijadikan sebagai panduan menuju cahaya Tuhan. Jika Anda memiliki lampu, jika ayat ini sebagai penerang yang Anda miliki, Anda akantetap terhindar dari tersesat ke jalan yang salah. Jika Anda memulai perjalanantanpa cahaya lampu ini, Anda akanmenemukan banyak rintangandi jalan yang akan menjebak diri Anda dalam pandangan yang berbeda-beda sehingga seolah-olah Anda terjebak ke dalam pasir hisapyang tidak mungkin keluar darinya.Berdasarkan prinsip ini, fiqih Jemaat Muslim Ahmadiyah tentang masalah waris perlu ditinjau kembali dan diteliti ulang. Karena ada banyak aspek yang orang-orang menjadi perhatian saya, dan berbagai aspek yang saya renungkan ketika saya melihatnya; saya percaya bahwa para ahli fiqih (ahli hukum Islam) telah diikuti secara membabi-buta. Para ahli fiqih menjadi begitu terobsesi dengan istilah seperti Dzul-Faraidh (yang berhak dapat warisan), Dzul-Arham (yang memiliki hubungan keluarga) dan seterusnya sehingga mereka semua menjadi benar-benar terjerat olehnya.Karena para ahli hukum terus mengikuti istilah ini, mengikuti ahli hukum lain, mereka telah melantur dari kenyataan yang sebenarnya dan mereka gagal untuk memahami ajaran sebenarnya dari Al-Qur’an, mandeg begitu saja dan hanyadiskusi logis yang berkelanjutan.Jadi, abaikan apa yang mereka katakan dan coba jadikan semangat sejati Al-Qur’an yang persis sama dengan sifat manusia sebagai pedoman bagi diri Anda sendiri.

Dan kemudian jika ada ketidakjelasan dalam ayat-ayat Al-Qur’an mana pun, maka ayat-ayat tersebut termasuk di antara kategoriMutasyabbihat dan menerjemahkan ayat-ayatMutshabihat itu harus sejalan dengan penjelasan dari ayat-ayat yangMuhkamat. Jadi, inilah ayat muhkamah pertama yang berkaitan dengan perihal ini yang seperti ayat utama tentang warisلِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ.

Jadi, bagaimana aqrabun (kerabat)akanmendapatkan bagian warisan mereka? Mengapa aqrabun disebut ketika orang tua meninggal, putra dan putri mereka menjadi ahli waris mereka. Lantas, bagaimana dengan kerabatnya? Ini sekarang berhubungan dengan yatama (yatim piatu). Ini secara langsung berkaitan dengan bahasan yang sebelumnya. Ayat ini juga berlaku untuk itu. Kadang-kadang terjadi ketika seseorang meninggal, bahkan jika dia meninggalkan beberapa harta atau kekayaan untuk anak-anaknya, itu sangatlah sedikit. Tidaklah cukup untuk mencukupi kebutuhan mereka. Jika ada seorang buruh yang bekerja untuk menghidupi anak-anaknya; ketika ia meninggal dunia, maka upaya atau langkah untuk menafkahi anak-anaknya juga berhenti dan inilah kenyataan yang dihadapi bagaimana mereka memperoleh penghidupan. Ketika orang yang dulunya tulang punggung keluarga telah meninggal dunia, bagaimana mungkin harta benda atau kekayaan yang ditinggalkan oleh orang miskin itu seperti pakaian atau barang-barang rumah tangga yang jumlahnya kecil tersebut dapat mencukupi kebutuhan mereka?

Dalam kasus seperti itu, kerabat yang paling dekat di antara aqraba; dan di sini aqraba mengacu pada kerabat yang tidak memiliki anak atau orang tua dan yang menerima bagian warisan. Mereka yang berpotensi menjadi pewaris seseorang, orang-orang itulah yang mungkin bertanggung jawab dan menjadi pemilik sah dari warisan orang yang meninggal jika tidak ada ahli waris lain. Dengan demikian, prinsip Al-Qur’an ini agar masalah diselesaikan secara setara bagi kedua belah pihak. Kebaikan harus diperlakukan dengan kebaikan sebagai balasannya. Jika dalam kehidupan sehari-hari, kerabat tertentu mengambil tanggung jawab untuk menjaga anak-anak miskin dalam keluarga mereka, yang seringkali adalah saudara laki-laki dari orang yang meninggal atau jika bukan saudara laki-laki, itu mungkin paman dalam keluarga, mereka juga harus menerima bagian dari warisan setelah kematian mereka.

Darsul Quran 167 – 04.02.1996
Hadhrat Khalifatul Masih IV, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad (rha)
Pengalih bahasa: Dodi Kurniawan;
Editor: Mln. Dildaar A.D.

No Responses

Tinggalkan Balasan