Jadi, inilah tema sentral yang dijelaskan dalam bahasan وَالْأَقْرَبُونَ. Mereka juga akan menerima bagian warisan dari aqrabun atau kerabat mereka karena begitu mereka berada di bawah perwalian maka mereka menjadi pewaris satu sama lain. Saat meninggal dunia, anak-anak tersebut akan menerima warisan dari walinya meskipun mereka bukan ayah atau ibu mereka. Jadi, aqrabun mengacu pada kerabat yang bertindak sebagai wali bagi anak tetapi bukan orang tua mereka. Dan dalam kasus seperti itu di mana anak-anak ini juga akan menerima bagian warisan dari aqrabun mereka sesuai kondisi yang telah saya sebutkan. Alquran akan menyebutkan kategori-kategori yang berbeda tersebut dan menjelaskannya untuk menjelaskannya dengan sangat rinci aqrabun tersebut dirujuk di sini. Prinsip yang sama berlaku untuk orang-orang yang menerima bagian warisan dari aqrabun mereka. Laki-laki akan menerima dua bagian dari warisan dan wanita akan menerima satu bagian dari warisan. Itulah prinsip yang mendasari seluruh ajaran waris dan di mana pun ada pengecualian, ada alasan untuk pengecualian itu dan Alquran juga menjelaskan mengapa pengecualian semacam itu dibuat.
قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ. Mengapa hal ini disebutkan? Cukup untuk mengatakan bahwa warisan sebanyak ini akan diberikan apakah itu lebih sedikit atau lebih. Jelas bahwa setiap orang akan mewarisi bagian dari apa pun yang dimiliki orang tua mereka atau kerabat mereka. Jika mereka berkekurangan, warisan juga akan sesuai dengan kondisinya dan jika mereka kaya maka warisan itu akan terdiri dari berbagai kekayaan. Jelaslah bagian dari ayat yang menyatakan قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ini tidak berhubungan dengan subjek tertentu. Kalau tidak, tidak perlu menyebutkan ini. Karena aspek ini begitu penting sehingga saat orang-orang mengabaikannya, mereka telah menghancurkan masyarakat Islam kita dalam masalah waris.
Jika ada barang-barang rumah tangga kecil yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak memiliki arti penting seperti itu, wanita dapat mengambil barang-barang itu dan laki-laki dapat mengambil barang-barang itu tetapi tidak ada yang mengganggunya. Tetapi ketika harta properti muncul dan ketika ada banyak kekayaan (yang perlu dibagikan sebagai bagian dari warisan), saat itulah setiap orang menjadi pelit atau berpikiran sempit dalam memberikan apa pun kepada anak-anak perempuan dengan pikiran mereka yang akan mengambil kekayaan dari satu rumah ke rumah lain di mana akan ada pewaris baru dari kekayaan ini yang sebenarnya bukan anggota keluarganya.
Ketakutan atau kekhawatiran ini praktis telah menciptakan masalah dan kesengsaraan besar di banyak negara di dunia Muslim, atau setidaknya ini terjadi di India dan Pakistan jika tidak di seluruh dunia Muslim di mana sebagai akibat dari mengabaikan aspek warisan ini. Seluruh sistem wasiat telah dihancurkan. Pemilik properti atau tanah bertindak tidak adil dengan anak perempuan dalam dua cara.
Pertama, ketika warisan dibagikan, laki-laki mengambil semua bagian dari warisan dan perempuan tidak memiliki keberanian untuk berbicara untuk hak mereka dan bahkan ketika mereka berusaha, mereka ditekan dengan berbagai cara dan kadang-kadang mengarah pada perseteruan yang serius di mana para laki-laki berkata kepada para wanita, “Siapa sih kalian itu, properti atau kekayaan ini akan tetap bersama kami.” Mereka tidak dapat menanggung kenyataan bahwa seseorang di luar keluarga dekat mereka di mana anak perempuan keluarga tersebut telah menikah akan ikut campur dan mengambil bagian dari harta benda mereka. Ini adalah sesuatu yang sifatnya tidak bisa ditolerir.
Jadi, ketika Al-Qur’an menyatakan مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ketahuilah ini adalah peringatan yang sangat penting. Waspadalah, jangan kaget jika lebih dari itu; ini adalah instruksi atau perintah نَصِيبًا مَفْرُوضًا itu adalah bagian yang telah ditentukan dan diwajibkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada semua orang. Anda seharusnya tidak memiliki keberanian untuk berpaling dari ini. Sungguh memalukan dibanyak tempat, bahkan para Ahmadi pun terlibat dalam hal-hal semacam ini.
Pada suatu kesempatan, Hadhrat Khalifatul Masih III RA mengumumkan,“Saya menyatakan perang—sepertinya beliau berbicara terhadap orang-orang itu, dengan kata lain saya dengan keras menegur orang-orang itu. Sebelumnya saya biasa menasehati orang-orang seperti itu tetapi jika hal-hal ini terus berlanjut maka orang-orang tersebut akan dikeluarkan dari Jemaat yang telah merampas hak-hak saudara perempuan mereka. Dan ada banyak saudara perempuan yang tidak berani menyampaikan keberatannya sedemikian rupa sehingga dianggap bahwa mereka menyetujui hal ini. Tetapi kenyataannya adalah bahwa mereka tidak berbicara karena rasa takut.”
Setelah khotbah Hadhrat Khalifatul Masih III RA ini, banyak tuntutan yang mulai masuk. Bahkan ada banyak yang saya terima sampai sekarang ini. Ada saudara perempuan yang mengatakan, “Kami tidak memiliki kekuatan, tidak ada yang berbicara atas nama kami, jika kami berbicara, kami akan terlihat buruk di dalam rumah dan kami akan dianiaya dengan kejam.Dan jika tidak ada yang lain, kami akan diperlakukan seperti itu; dibuang seperti sesuatu yang tidak penting; dan karena itu kami tidak memiliki keberanian (untuk berbicara).”
Jadi saya katakan kepada mereka bahwa Tuhan telah memberikan Anda hak ini, Anda harus mengambil apa yang menjadi hak Anda dengan keberanian karena jika kebisuan dan kelemahan Anda memperkuat tangan penindas maka Anda juga akan mendapatkan bagian dari dosa mereka karena mereka akan terusmenjadi lebih berani untuk terus melakukan apa yang mereka lakukan.
Setiap wanita Ahmadi harus muncul dan membicarakan dalam masalah ini. Siapapun yang haknya telah dirampas, ketahuilah bahwa Tuhan telah menentukan bagian untuk mereka dan karena itu dia harus menghadap kepada dewan Qadha dan dia tidak boleh khawatir tentang komentar yang mungkin pihak lain katakan. Dan jika Anda melakukan ini, orang-orang demikian akan ditegur sebagaimana mestinya dan akan menjadikan semacam rasa takut di masa depan sebagaimanamaksud dari ayatفَإِمَّا تَثْقَفَنَّهُمْ فِى ٱلْحَرْبِ فَشَرِّدْ بِهِم مَّنْ خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ, artinya, “Bersikap keraslah terhadap orang-orang yang berbuat salah sejak awal sehingga orang-orang yang di kemudian hari akan takut dan tidak memiliki keberanian untuk melakukan kesalahan serupa.” (Surah al-Anfal, 8:58)
Sekarang karena kesalahan orang-orang tidak diperhatikan, ada banyak keluarga yang memiliki kekayaan yang sejauh saya tahu tidak peduli (dan melanjutkan kesalahan mereka) terhadap aturan ini. Maka dari itu, tindakan mereka telah diambil sebagai contoh untuk diikuti oleh orang lain yang datang setelahnya. Jemaat harus melakukan Jihad melawan hal ini dengancaraapapun dan mereka harus memberikan wanita نَصِيبًا مَفْرُوضًا atau bagian yang mereka tentukan. Dan dalam hal ini bahkan jika Jemaat harus mengeluarkan beberapa keluarga yang telah lama berada di Jemaat, mereka tidak perlu khawatir sedikit pun. Bagi orang-orang seperti itu, dikeluarkan dari Jemaat akan terbukti menjadi sarana berkah karena ini dilakukan demi mendukung perintah Allah dan menegakkan perintah Allah itu. Allah Ta’ala akan memenuhi kekurangan mereka Anda tidak pernah khawatir tentang ini.
Jika seorang saudara perempuan ingin meninggalkan bagiannya atau tidak mengambil bagiannya, prinsip atau putusan yang sama dari Hadhrat Khalifatul Masih I RA harus diikuti di mana beliau RHA memberi tahu seorang laki-laki yang mengatakan kepada beliau bahwa istrinya telah memaafkannya [jadi tidak perlu] membayar hak maharnya. Kasus ini terjadi pada Tuan Hakeem Fazl DeenBhairwi, ya?
PS Sahib: Ya
Hudhur: Jadi prinsipnya adalah pertama Anda harus lebih dulu memberikan bagiannya atau uang mas kawinnya dan kemudian jika dia mengembalikannya, dia sangat diperbolehkan. Tapi saya akan beri tahu Anda sekarang, ada risiko besar, sangat jarang ada seorang saudari yang mengatakan, “Baik, Anda boleh mengambil ini kembali sekarang.”
Sekarang ada masalah lain yang muncul di sini yang harus kita diskusikan di sini. Apa pun yang diterima seseorang sebagai warisan, dia juga telah melakukan wasiyat, dan dia memberikan bagian dari warisannya kepada ahli waris lainnya —dan kalaupun mengatakan bahwa dia tidak membutuhkannya— sekarang ketika dia meninggal, bagaimana dengan wasiyatnya?
Ada kasus yang dikemukakan di hadapan saya dan saya mengedepankan asas mendasar bahwa mulai sekarang tidak dapat diterima seseorang untuk mengatakan bahwa saya memberikan bagian warisan saya kepada orang lain. Anda telah menyerahkan hak Anda sendiri dalam apa pun yang Anda berikan kepada orang lain, tetapi sebelumnya Anda telah berjanji kepada Tuhan bahwa saya akan mengorbankan 1/10 dari seluruh kekayaan saya di jalan Allah. Anda tidak berhak mengingkari janji kepada Tuhan karena warisan seharusnya dibagikan setelah Wasiyyat dilunasi. Apapun wasiyat atau iuran yang tersisa untuk dibayarkan maka setelah pembayaran itulah sisa warisan dibagikan. Dan bagian ini (yakni Wasiyyat yang belum tertunaikan) seperti hutang yang belum dibayar. Anda tidak dapat menarik kembali apapun yang telah Anda berikan di jalan Allah. Jadi, Musi seperti itu tidak akan diterima sampai ahli waris almarhum melunasi sepenuhnya wasiyat orang yang meninggal itu sesuai bagian yang diwajibkan kepadanya untuk dibayarkan iurannya jika ia (ahli waris tersebut) akan mengambil bagiannya.
Kejadian serupa telah terjadi di Inggris dan di tempat lain juga. Saya tidak memiliki kasus tertentu di depan saya namun demikian ada banyak kasus sebelum saya dan prinsip fundamental ini telah diikuti dalam kasus tersebut. Jadi, menyerahkan warisan Anda adalah satu hal tetapi berpaling dari pemenuhan kewajiban Anda adalah hal lain. Anda diperbolehkan untuk menyerahkan bagian Anda selama tidak menghalangi pemenuhan kewajiban Anda. Biaya tersebut harus dibayar dengan biaya berapa pun.
Aspek lain hal ini berkaitan dengan jenis pernikahan yang berdampak sangat negatif bagi masyarakat. Ada banyak perempuan atau anak perempuan yang berasal dari keluarga pemilik tanah dan yang tidak menikah hanya dengan alasan mereka memiliki tanah. Keluarga mereka memiliki tanah. Jika orang tua mereka meninggal, anak perempuannya mendapat banyak tanah pertanian dalam bentuk warisan. Jika mereka menikah dengan keluarga lain, jika perkawinan dilakukan tidak semata-mata atas dasar keluarga dan garis keturunan tetapi dilakukan atas dasar kesalehan, sangat mungkin bagi para perempuan tersebut untuk menikah dengan orang-orang yang sangat miskin yang oleh pemilik tanah disebut sebagai Kameen(baca: kamin). Dengan kata lain, Kameen adalah orang-orang yang tidak memiliki tanah apapun dan mencari nafkah melalui kerja keras mereka sendiri. Ini adalah kata kejam yang digunakan untuk menyebut mereka. Tidak ada pembenaran sama sekali secara Syar’i untuk menyebut mereka Kameen.
Mereka yang memiliki kebanggaan, “Kami adalah pemilik tanah dan kami mendapatkan mata pencaharian kami melalui tanah yang kami miliki sedangkan mereka mendapatkan mata pencaharian melalui kerja keras mereka sendiri”. Sekarang, pemilik tanah yang sama itu datang ke sini (pindah ke Inggris atau Eropa) dan mengemudikan taksi [menjadi supir Taksi] tetapi tidak merasa malu karenanya. Dengan cara ini, mereka [yaitu keluarga pemilik tanah] menjadi salah satu orang yang mulai mencari nafkah dengan kerja keras sendiri. Faktanya mencari nafkah dengan kerja keras dan kerja keras Anda sendiri lebih terhormat dan bermartabat.
Jika Anda memanfaatkan kekayaan yang Anda terima dalam warisan, itu bagus tetapi pendapatan atau penghasilan yang benar-benar diberkati adalah yang diperoleh melalui kerja keras seseorang, keringat dan darahnya sendiri. Merendahkan orang-orang yang bekerja seperti itu sembari menghormati mereka yang menerima warisan tidak hanya salah, tetapi Alquran juga menyatakan kebencian yang besar untuk ini. Di mana ejekan disebutkan, disebutkan juga orang-orang kejam ini mengejek dan mencibir orang-orang miskin yang tidak memiliki apa-apa selain apa yang mereka peroleh melalui kerja keras dan usaha mereka sendiri. Suatu ketika seseorang mengirimi saya Hadis tentang ejekan yang menjelaskan hal ini. Saya tidak membacanya di sini pada saat itu. Ini tidak hanya menjelaskan satu jenis ejekan, tetapi juga menjelaskan semua jenis ejekan.
Kelompok masyarakat (tuan tanah) seperti itu juga merupakan masyarakat yang sangat bangga dengan tradisi khusus mereka. Mereka dulu memandang rendah dan menghina orang-orang yang mencari nafkah melalui kerja keras dan usaha mereka sendiri. Bahkan jika orang-orang miskin memberikan sedikit Candah (iuran keuangan), mereka mungkin masih akan mengejek mereka. “Cuma empat potongan kayu yang dia bawa dari seluruh tumpukan kayu, apakah ini Candahnya? Apakah ini pengorbanan hartanya?”. Mereka mungkin mengejek orang-orang tadi dengan kata-kata seperti ini. Kemudian sehubungan dengan orang-orang yang memungut Candah, mereka mungkin diejek dengan cara di mana orang-orang menyatakan, “Dia pasti telah mengambil sebagian dari Candah untuk dirinya sendiri.Atau, dia kan orang yang miskin, tapi kitalihat pakaiannya bersih, pasti dia memilikinya dengan mengambil sebagian Candah kita untuk dirinya sendiri.”
Jadi dugaan ucapan semacam ini membuka pintu terjadinya potensi ketidaknyamanan lebih lanjut dari orang-orang yang difitnah dan diejek seperti ini. Alquran telah mengungkapkan ketidaksenangan yang besar terhadap kebiasaan buruk mengejek dan mencibir orang-orang miskin dan khususnya para buruh (pekerja). Bahkan buruh yang juga disebut sebagai tenaga profesional dibidangnya yang mencari nafkah dengan kerja keras sendiri dan melalui keahlian profesinya.
Ada suatu masa di mana bahkan di sini, di Inggris, ada prasangka besar terhadap para buruh. Bangsawan atau tuantanahdianggap sebagai orang-orang yang memiliki kemungkinan besar untuk menerima tanah sebagai warisan. Apakah mereka benar-benar menerima tanah itu sebagai warisan atau tidak, mereka dianggap sebagai orang yang terhormat. Mayoritas orang tidak benar-benar menerima tanah seperti itu karena yang biasa terjadi dengan tuan tanah adalah dari semua saudara kandung, anak laki-laki tertua (putra sulung)biasanya menguasai semua aset (harta). Dia akan mengambil gelar itu, dia akan menjadi pemilik semua aset dan dia akan menjadi satu-satunya pewaris. Adik laki-laki dan adik perempuan akan kehilangan haknya tetapi reputasi ego putra sulung akan tetap utuh. Keutuhan keluarga akan tercerabut tetapi putra tertua menjunjung egonya. Dengan meninggalnya orang tua, aset mereka akan habis namun, mereka akan menjunjung tinggi kehormatan mereka bahwa kami adalah yang lebih tua (putra sulung).
Sekarang karena mereka memiliki keuntungan tertentu dalam hidup, mereka secara alami akan dapat memperoleh uang dan mendapatkan aset mereka sendiri. Ini adalah sesuatu yang dulu lazim di Inggris hingga saat ini. Oleh karena itu, ini adalah ‘kutukan’ di mana-mana di seluruh dunia bahwa sesuatu yang diperoleh melalui kerja keras sendiri dianggap rendah atau tidak berkelas sementara kekayaan yang diterima dalam warisan dianggap baik atau terhormat.
Dalam قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ Allah Ta’ala juga menghindari fakta bahwa tidak ada kehormatan untuk memiliki lebih sedikit atau banyak, apapun warisan yang Anda terima, Anda memiliki hak untuk menerimanya. Tetapi yang sebenarnya adalah jika seseorang memperhatikan kelimpahan kekayaan dalam warisannya dan kemudian melakukan perubahan selama pembagian warisannya dan melanggar hukum Tuhan, maka orang-orang seperti itu akan dicela dan ditolak di hadapan Tuhan. Warisan akan dibagikan dalam bagian yang ditentukan dan Anda harus mengikuti perintah Allah.
Sehubungan dengan ayat ini, satu hal yang dihindari tetapi hal kedua yang dihindari ayat ini adalah hak-hak perempuan yang sedang saya bicarakan. Terkadang para gadis berpikir bahwa jika kita menikah dengan seseorang yang tidak memiliki tanah kemana kita akan pergi. Kekayaan kita akan menjadi milik Mauchis, Sunaris dan orang lain. Padahal sebenarnya, Mauchi dan Sunyyari sebenarnya bukan kedudukan seperti itu. Ada banyak pangeran/anak raja yang merupakan Sunyare (mereka yang membuat perhiasan emas) karena mereka dulu bekerja dengan perhiasan emas. Maka secara bertahap orang-orang mulai menyebut mereka sebagai Sunyara. Demikian pula ada banyak Barhaiyye yang sebelumnya adalah Pathan. Mereka dulu melakukan pekerjaan Barhaiyyes namun mereka Khan dan sekarang mereka menjadi Tar-Khan. Jadi ini semua adalah penghormatan semu, buatan manusia dan palsu yang diadopsi masyarakat. Namun sayangnya hal ini terjadi.
Tiga hari yang lalu, saya menerima berita menyedihkan yang serupa bahwa ada seorang gadis yang sangat mulia, yang memiliki moral yang patut diteladani dan berusia 30 tahun, itu adalah permintaan untuk membantunya mencarikan pasangan yang memiliki tanah. Mengapa saya harus mencari orang yang memiliki tanah?
Mereka akan sering mengatakan bahwa orang lain tidak akan menyetujuinya. Mereka mengatakan kepada saya, “Jika Anda tidak menemukan pasangan yang memiliki tanah dan yang setara dengan putri kami dalam status atau pangkat di mana kami akan merasa seolah-olah pernikahan telah terjadi di dalam kelas orang mereka sendiri, maka orang lain tidak akan menerimanya.” Mereka juga mengatakan bahwa jika seorang anak laki-laki ditemukan dari status, pangkat atau golongan yang sama, maka itu lebih baik karena menurut mereka, dengan demikian kekayaan mereka akan tetap berada dalam keluarga. Dan karena alasan ini, mereka tidak menikahinya. Mereka mengatakan bahwa kami telah menerima lamaran yang sangat bagus tetapi mereka ditolak.
Jadi ini adalah contoh kejadian di mana Jemaat harus menggunakan ketetapan yang sah untuk membantu. Ketika Khalifah Waqt memiliki otoritas ini, maka untuk maksud inilah otoritasnya tersebut. Satu sosok yang diberikan otoritas penuh sehingga dapat menjaga hak-hak orang lain dan melindungi kepentingan mereka dan untuk mencegah kasus-kasus di mana kewenangan akan dilakukan secara salah atau mencegah di mana keputusan dibuat bertentangan dengan esensi Alquran. Ketika kewenangan digunakan dalam kasus-kasus yang sangat berlawanan dengan ini. Artinya, ketika digunakan untuk menindas hak-hak orang lain dan untuk membuat keputusan yang bertentangan dengan kepentingan orang lain ketika digunakan dengan cara yang mengancam atau mengintimidasi, maka kewenangan seperti itu gugur. Kewenangan-kewenangan seperti itu tidak lagi berlaku. Dan kewenangan kemudian akan dikembalikan kepada Nizam Jemaat. Dalam arti inilah seorang Khalifah menjadi seorang “Wali”. Tuhan telah memberinya kekuatan hukum bahwa setiap kali Khalifah menyadari penggunaan kewenangan yang salah yang akan menyebabkan kerugian bagi anak perempuan dan orang lain, maka dia dapat campur tangan dan membuat keputusannya sendiri yang benar. Dengan demikian semua hal tersebut harus dikirim ke Pusat sebelum dikirim kepada Dewan Qadha.
Lebih baik membentuk komite yang terdiri dari anggota dari Islah-o-Irshad, Umur Ammah, seorang Anjuman seperti perwakilan dari Nizarat dan satu atau dua ulama non pengurus. Jika ada pengacara di antara mereka, itu lebih baik. Semua gadis yang menjadi korban perlakuan buruk harus melaporkan kasus mereka ke komite ini. Maka menjadi tanggung jawab komite ini untuk menjelaskan secara moral kepada pihak terkait, membantu mereka dengan masalah mereka dengan cara apa pun yang memungkinkan dan menyelamatkan mereka dari kehancuran. Jika rekonsiliasi tidak memungkinkan, mereka harus mendukung gadis-gadis tersebut, mereka harus menyediakan advokat (penasehat hukum) sehingga mereka dapat membawa masalah mereka kepada Dewan Qadha. Kemudian jika salah satu pihak menolak keputusan akhir yang dibuat oleh Dewan Qadha, terlepas dari apa posisi mereka di dalam Jemaat, mereka akan dikeluarkan dari Jemaat. Orang-orang seperti itu tidak dapat tetap menjadi bagian dari sistem Jemaat atau sistem Khilafat jika mereka secara terbuka menentang atau bahkan menunjukkan pembangkangan terhadap prinsip fundamental ini.
Darsul Quran 167 – 04.02.1996
Hadhrat Khalifatul Masih IV, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad RHA
Pengalih bahasa: Dodi Kurniawan;
Editor: Mln. Dildaar A.D.
No Responses