Masroor Library – Fakfak, nama ini terdengar mirip dengan nama yang pernah ditulis oleh Ibnu Thufayl (lengkapnya: Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail al-Qaisi al-Andalusi, 1105-1185 M), seorang thabib Muslim di Kesultanan Andalusia, Spanyol yang juga ilmuwan Muslim multi-disiplin ilmu. Ibnu Thufayl adalah pengarang novel “Hayy ibn Yaqzhan” yang merupakan novel pertama dalam dunia Islam dan berisi aneka bidang keilmuan.
Dalam buku monumental berbahasa Arab tersebut, Ibnu Thufayl menyebutkan, bahwa “para leluhur kami (semoga Allah meridhai mereka) telah menyebutkan suatu tempat yang bernama Pulau al-Hind; pulau itu adalah tempat diturunkannya seorang yang tidak memiliki ayah dan ibu; lokasinya di bawah garis khatulistiwa; didekatnya ada satu pulau yang dikenal sebagai Pulau al-Waqwaq.”
Dalam beberapa literatur klasik Islam, Pulau al-Hind selalu dikaitkan dengan lokasi turunnya Nabi Adam AS. Ibnu Jarir, misalnya menyebut lokasi itu dengan Sarandib. Sulaiman al-Shirafi menyebutkan, bahwa lokasi itu bukan di India, melainkan di Sumatra. Kerom Kevoniam, secara tegas mengatakan, bahwa Sarandib itu adalah sebutan yang keliru dari bahasa Sanskrit. Seharusnya Swarnadwipa (سورن ديب) menjadi Sarandib (سرنديب). Swarna artinya “emas” dan dwipa artinya “pulau”. Jadi, Pulau al-Hind itu adalah Pulau Emas alias Sumatra (Swarnadwipa).
Petunjuk lainnya adalah, lokasinya terletak di bawah garis khatulistiwa alias equator. Hanya Nusantara yang banyak dilalu garis khatulistiwa, tercatat ada 11 tempat dari Pulau Sumatra di bagian barat hingga Tanah Papua di Raja Ampat. Artinya, hanya Nusantara yang cocok dan layak disebut sebagai Jazirat al-Hind (Pulau India). Apalagi, bagi para pedagang Arab biasanya India itu identik dengan kawasan Pakistan sekarang hingga Tanah Papua!
Petunjuk lainnya lagi adalah Pulau Waqwaq (Jazirat al-Waqwaq). Dari segi filologi dan fonetik, kata itu mirip dengan Vaqvaq dan Fakfak dan Pakpak. Ini memang sangat logis. Sebab, dalam bahasa-bahasa tertentu, bunyi huruf “W”, itu sama dengan huruf “P” atau huruf “B” atau huruf “V”. Nama Papua sendiri dipastikan asalnya dari sebutan orang Arab yaitu “Babwa” (ببوا). Jadi, al-Waqwaq itu identik dengan Vaqvaq, alias Faqfaq alias Fakfak atau Pakpak.
Kurthubi menjelaskan, bahwa nama al-Waqwaq itu karena di pulau tersebut ada sejenis tumbuhan yang bentuknya mirip sosok perempuan dan mengeluarkan bunyi “waqwaq”. Oleh sebab itu, pulau tersebut diberi nama al-Waqwaq (Vakvak). Apakah al-Waqwaq itu identik dengan Fakfak sekarang yang ada di Papua Barat? Wallahu a’lam!
Yang jelas, nama al-Hind juga pernah disebutkan dalam beberapa Hadits ketika menceritakan tentang Imam Mahdi AS. Salah satunya adalah, bahwa kelompok Imam Mahdi AS, akan berperang melawan India ( taghzuw al-hind ). Bahkan, Imam Mahdi AS dikatakan akan turun di suatu kawasan yang secara fisik tertutup salju ( walaw habwan ‘ala al-tsalji ). Puncak gunung di Tanah Papua juga terkenal karena ditutupi salju. Puncak Jayawijaya alias Puncak Carstensz alias Carstensz Toppen alias Puncak Soekarno (4.884 mdpl)!
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kemudian Tanah Papua pun diberkati dengan baiatnya orang asli Papua (OAP) ke dalam pangkuan Islam Ahmadiyah. Selain Ahmadi pendatang –dari Jawa atau Bugis dan Buton– di Tanah Papua khususnya Papua Barat juga muncul suku asli Papua yang menyatakan beriman kepada Hadhrat Masih Mau’ud AS. Salah satunya adalah Nenek Asfa, Fakfak.
Nenek Asfa, lengkapnya Asfa Sirfefa. Tahun 2011 lalu, perempuan asli Papua (OAP) itu menyatakan baiat ke dalam Jemaat Ahmadiyah melalui Mln. Hamid Sirfefa. Inilah baiat pertama yang terjadi di Fakfak, Papua Barat. Sejak saat itu, di Fakfak mulai banyak yang bergabung ke dalam Jemaat. Hingga kini, sudah ada sekitar 15 Ahmadi di Fakfak.
Selama sembilan tahun, nenek Asfa menjalani hidup sebagai Lajnah. Sudah dua mubalig yang ditempatkan di Fakfak. Nenek Asfa memperlihatkan keaktifan dan penghormatan yang tinggi terhadap mubalig. Mubalig pertama yang ditempatkan di Fakfak adalah Mln. Kalimuddin Zhygas Ahmad (2013-2017), dilanjutkan oleh Mln. Fahruddin Siddik (2018-2019). Mubalig Daerah Papua Barat pun pernah berkunjung ke Fakfak dari Manokwari. Di antaranya Mln. Hidayat Ahmad Suparja dan Mln. Basyiruddin Suhartono.
Para mubalig yang pernah menyambangi Fakfak, di antaranya Mln. Umar Falahuddin alias Mln. Umed Syahruddin. Nama asli beliau bersesuaian dengan nama salah seorang mubayiin baru di Fakfak, yaitu Syahruddin Urbun. Urbun adalah salah satu marga asli asal Desa Taroy, Distrik Aranday, Kab. Teluk Bintuni. Marga ini bagian dari Suku Kembaran yang juga bagian dari Suku Sebyar. Tiga marga lainnya adalah: Bauw (marga tertua, artinya bumi), Nabi (artinya langit) dan Solowat (artinya pengikat). Urbun sendiri artinya pengikat antara langit dan bumi.
Saat ini anggota Jemaat di Fakfak didominasi oleh Lajnah Imaillah. Adapun komposisinya adalah: Anshar (1), Khudam (1), Lajnah (5), Nashirat (4), Athfal (3) dan Banat (1). Selain marga Urbun, anggota Jemaat di Fakfak juga ada yang berasal dari marga Hindom. Marga ini –bersama tujuh marga lainnya– berasal dari Kampung Weriagar dan Mogotira, Distrik Aranday. Kedua marga asal dari suku asli Papua ini telah sejak lama memeluk agama Islam.
Seminggu menjelang Idul Fitri 1441 H, Nenek Asfa dipanggil Sang Khaliq dan kembali ke Hadhirat Tuhannya. Innalillahi wa inna ilayHi raaji’uwn! Semoga Nenek Asfa ditempatkan dalam Sorga Ridha Ilahi. Sang Ahmadi Awalin di Fakfak itupun kembali dengan tenang meninggalkan alam fana ini menuju alam keabadian. []
Disusun oleh:
Rakeeman R.A.M. Jumaan
Mubalig Daerah Papua Barat
Related Posts
Waqf-E-Nou Parents Day Sukses Digelar di Masjid Mahmudah Gondrong Tangerang
Jemaat Ahmadiyah Cibinong Adakan Kelas Waqf-E-Nou
Ansharullah Ahmadiyah Indonesia Adakan Ijtima Nasional 2024
Bekali Public Speaking dan Personal Building | Hadirkan Mentor dari Celebes Public Speaking
DPD Jemaat Ahmadiyah Bogor Hadiri FGD Setara Institute
No Responses