Apa yang Membuat Orang-Orang Kristen Salah arah tentang Gagasan Perbuatan
Kristen menyatakan bahwa manusia tidak bisa mendapat keselamatan karena dia berdosa dan tidak dapat melaksanakan sepenuhnya perintah-perintah dari hukum ilahi. Mereka percaya bahwa melalaikan meski perintah yang paling kecil pun dianggap dosa dan tidak ada seorang pun yang dapat melaksanakan seluruh perintah tersebut. Sebab itu, karena tidak mungkin bagi siapa pun melakukan ini, maka dia perlu dihukum atas dosa apa pun yang telah dilakukan olehnya. Seperti halnya pemerintah menghukum seseorang karena melanggar suatu hukum, begitu pula, siapapun yang tidak taat pada perintah Tuhan tentu akan dimintai pertanggungjawaban. Jadi, mereka menegaskan bahwa ini membuktikan tidak ada yang bisa mendapat keselamatan semata-mata hanya dengan mengikuti [perintah-perintah agama].
Kenyataannya, orang-orang Kristen berada dalam kesalahpahaman yaitu keselamatan hanya dapat diraih dengan mengikuti seluruh perintah dari hukum Ilahi, namun karena mereka percaya tidak ada seorang pun yang memiliki kapasitas untuk mengikuti seluruh perintah hukum (Syariat), mereka telah menyimpulkan bahwa Tuhan tidak dapat memberi mereka keselamatan. Namun demikian, hal ini bukanlah gagasan yang dapat dijumpai dalam Islam. Malahan Islam ini mengajarkan kita bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa sepenuhnya tidak merisaukan apakah seseorang manusia itu menyembah-Nya atau tidak, karena Dia adalah Yang Maha Cukup dengan Sendirinya (al-Ghani dan ash-Shamad).
Tidak akan memberi keuntungan bagi Tuhan ketika seseorang menyembah-Nya atau mengikuti hukum-Nya. Begitu juga, Tuhan tidak akan menderita suatu kerugian pun, tidak juga Dia sakit, jika seseorang tidak menyembah-Nya atau melanggar syariat-Nya. Meskipun alam semesta memuji-Nya siang dan malam, tidak akan menambah sedikit pun kemuliaan-Nya. Demikian pula, jika seluruh dunia terjerumus dalam kekotoran dan perbuatan tidak bermoral, hal itu tidak akan mempengaruhi keagungan dan kemuliaan-Nya.
Oleh karena itu, Tuhan tidak menurunkan hukum karena itu akan menguntungkan-Nya, melainkan Dia menurunkan syariat tersebut karena manusialah yang membutuhkannya. Jika perilaku manusia sesuai dengan itu maka kemudian perilakunya akan bermanfaat bagi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, tujuan Tuhan menurunkan syariat bukanlah hanya supaya umat manusia melaksanakan setiap perintah atau hukum-Nya saja, melainkan supaya melalui itu seseorang dapat mencapai Tuhan. Dengan kata lain, tujuannya adalah melalui perilaku manusia tersebut, sebuah kemampuan akan dibangun, yang mana (kemampuan tersebut) akan menjadikan jiwa manusia suci sehingga mereka dapat menjalin hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Hal yang Salah Membandingkan Hukum Tuhan Yang Maha Kuasa Dengan Hukum Pemerintahan
(Hal tersebut) inilah mengapa kita tidak bisa membandingkan hukum Tuhan Yang Maha Kuasa dengan hukum pemerintahan. Tujuan sebuah pemerintahan adalah semata-mata untuk menjalankan aturan dalam rangka menegakkan kedamaian dan ketertiban. Jika setiap warga dalam sebuah negara melakukan pencurian, perampokan dan pencurian dengan kekerasan, integritas suatu pemerintahan tidak lagi utuh, tapi jika seluruh dunia betul-betul mengabaikan dan melanggar hukum Tuhan, Tuhan akan tetap menjadi diri-Nya sendiri dan tidak akan kemuliaan-Nya dan kesucian-Nya sedikit pun terhinakan.
Oleh karena itu, salah untuk membandingkan hukum Tuhan Yang Maha Kuasa dengan hukum pemerintahan. Pemerintahan memerlukan orang-orang untuk mematuhi peraturan dan regulasi. Tapi, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak membutuhkan orang-orang untuk mengikuti hukum-Nya. Sebenarnya, Tuhan menurunkan peraturan hukum dari karunia dan kasih-Nya supaya jika Anda sekalian mengikutinya maka Anda dapat menjalin erat hubungan dengan-Nya.
Hukum Samawi sejalan dengan pembelajaran di sebuah universitas
Hukum Samawi dapat disamakan dengan contoh mata kuliah di sebuah universitas. Contohnya, di sebuah universitas seorang penulis buku sejarah mengajarkan bahwa tujuan ia mengajarkan buku itu bukanlah untuk mengajarkan sejarah sebagaimana yang telah ditulis oleh si penulis. Tapi untuk menanamkan kepada mereka, sampai tingkatan yang tertentu, bagaimana tertanam dalam diri mereka sebuah kemampuan memahami sejarah. Inilah mengapa kurikulum-kurikulum sering diubah dan apapun yang dianggap lebih bermanfaat dan sesuai saja yang diajarkan. Kemudian, universitas menyeleksi (memilih) soal-soal untuk ujian, tapi tidak ada seorang siswa pun yang mampu menjawab soal dengan sempurna dari setiap soal tersebut. Tapi, setiap tahun ribuan pelajar lulus dalam ujian mereka, walaupun masing-masing dari mereka telah melakukan beberapa kesalahan. Alasan mereka lulus adalah karena tujuan universitas bukan meminta setiap siswa untuk menjawab semua soal dengan benar, melainkan untuk mengembangkan dalam diri mereka sebuah kemampuan dan kompetensi. Setelah mereka mengembangkan kemampuan ini, mereka siap untuk lulus.
Hukum Tuhan berlaku dengan cara yang sama. Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberikan hukum-hukum tertentu supaya dengan melalui itu seseorang mampu membangun kemampuan untuk menjalin hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Perintah shalat tidak diturunkan supaya kita dengan mudah melakukan gerakan fisik dari shalat tersebut, tapi supaya kita memperoleh kesucian. Perintah untuk berpuasa tidak diberikan supaya kita menahan lapar, tapi supaya kita meraih ketakwaan. Untuk perintah-perintah yang lain pun sama. Ketika seseorang memenuhi semua aturan tersebut pada intinya mereka telah mengembangkan kemempuan ini, mereka kemudian lulus. Sebagaimana dalam sebuah universitas dimana 40%, 60% atau 80% ditetapkan sebagai nilai minimum kelulusan dan yang memperoleh minimal ini pun lulus. Sama halnya kemampuan seseorang sehubungan dengan perintah-perintah Ilahi dinilai dengan cara yang sama.
Orang-orang Kristen bertanya, ini bukan kejadian pada perintah-perintah yang dikirim oleh Tuhan yang mana seseorang gagal melaksanakannya? Namun, mereka gagal bertanya, bukankah pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh mahasiswa juga diberikan oleh universitas? Yang benar adalah sama seperti universitas menilai kapasitas mahasiswa dan meluluskan mereka meskipun mereka tidak dapat menjawab semua pertanyaan dengan benar, seseorang dapat mencapai keselamatan dengan mengembangkan kapasitas mereka sampai batas tertentu melalui mengikuti perintah-perintah Ilahi, bahkan jika dia tidak dapat memenuhi semua dari perintah Ilahi tersebut. Tentu saja, sama seperti orang yang mencapai nilai yang lebih tinggi akan lulus dengan perbedaan yang lebih besar, orang yang mengembangkan lebih baik lagi kemampuan ini dengan memenuhi perintah Hukum akan mencapai peringkat yang lebih tinggi.
Jika Keselamatan Tidak Ada Hubungannya dengan Hukum Ilahi, Mengapa dalam berbagai Tingkatan yang Berbeda Orang-orang Kristen Mempercayainya?
Karena itu, inilah alasan mengapa ada tingkatan yang berbeda di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang Kristen juga menerima tingkatan ini. Itulah sebabnya mereka membuat perbedaan dalam tingkatan-tingkatan para Nabi. Mereka tidak memberikan status yang dimiliki Abraham (as) kepada Nabi lain mana pun. Namun demikian, jika keselamatan tidak memiliki hubungan dengan perbuatan seseorang, seharusnya tidak ada perbedaan dalam peringkat. Islam telah menyatakan tingkatan yang berbeda sesuai dengan tindakan seseorang. Demikianlah, hal itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَّقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِيْنُهُ فَاُلَئِكَ هُمُ الْمُفُلِحُوْنَ. وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهُ فَاُلَئِكَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْا اَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوْا بِاَيَتِنَا يَظْلِمُوْنَ.
‘Dan, timbangan pada Hari itu benar. Maka, siapa berat timbangannya, merekalah orang-orang yang berhasil. Dan, siapa ringan timbangannya, maka merekalah yang merugikan diri mereka sendiri disebabkan mereka telah berbuat aniaya terhadap Tanda-tanda Kami.’[3]
Dengan kata lain, pada hari kiamat, perbuatan setiap orang akan ditimbang. Jika perbuatan seseorang cukup baginya untuk mengembangkan kapasitas untuk menjalin hubungan dengan Tuhan YangMaha Esa, maka kelemahan-kelemahan kecilnya akan dimaafkan. Sama seperti universitas yang mengizinkan mahasiswanya untuk lulus, terlepas dari apakah mereka mampu menjawab semua pertanyaan atau tidak, demikian pula, telah ditunjukkan bahwa jika seseorang tidak dapat sepenuhnya bertindak atas semua perintah ilahi, meskipun telah mencoba yang terbaik, dia masih bisa mencapai keselamatan.
Kami Tidak Setuju Seseorang Tidak Dapat mengikuti Semua Aspek Hukum Ilahi
Kami tidak menerima pandangan bahwa seseorang tidak dapat bertindak berdasarkan Hukum secara keseluruhan. Apakah orang Kristen tidak bertindak berdasarkan hukum pidana India? Tentu saja mereka laksanakan. Mereka pergi kesana-kemari dengan bebas adalah bukti fakta ini. Jika mereka tidak mengikuti hukum, mereka akan dihukum. Namun, Al-Qur’an jauh lebih pendek daripada [hukum pidana], jadi mengapa sulit untuk mengikuti semua perintahnya? Oleh karena itu, salah untuk mengatakan semua perintah dalam Hukum tidak dapat dipraktekkan.
Orang Kristen mengarahkan secara salah terhadap orang-orang dengan bertanya, ‘Apakah kamu orang yang baik?’
Dengan kesederhanaan dan kerendahan hati, orang tersebut akan menjawab, ‘Tidak, saya orang berdosa.’
Terhadap hal ini, orang-orang Kristen kemudian menjawab, ‘Lihat, dia sendiri mengakui bahwa dia adalah orang berdosa; ini membuktikan tidak ada yang bisa bebas dari dosa.’ Tidakkah mereka tahu bahwa ketika Yesus (as) ditanya, ‘Guru yang Baik, apa yang harus saya lakukan untuk mewarisi kehidupan kekal?’
Yesus (as) menjawab, ‘Mengapa kamu menyebut saya baik? Tidak ada yang baik, tapi hanya Tuhan.’[4]
Ini sebenarnya benar, karena tidak ada wujud selain Tuhan Yang Maha Esa yang benar-benar suci, bebas dari segala kecacatan dan kejahatan. Tetapi setiap orang memiliki beberapa kekurangan – misalnya, tidak memiliki pengetahuan akan yang gaib dan sebagainya. Oleh karena itu, hanya Tuhan Yang Maha Esa yang dapat dianggap sebagai sumber segala kebajikan. Namun, dari sini hendaknya tidak disimpulkan bahwa orang bertakwa tidak pernah ada di masa lalu dan tidak akan pernah ada di masa mendatang.
Pada kenyataannya, orang benar menyangkal bahwa mereka baik, karena kerendahan hati dan karena mereka takut dikuasai oleh kebanggaan dan kesombongan yang dapat menyebabkan kehancuran mereka. Pernyataan ini dibuat untuk melindungi seseorang dari dosa dan kejahatan, dan bukan karena mereka telah berbuat dosa. Pada kenyataannya, terdapat ribuan Nabi yang menyatakan terbebas dari segala jenis dosa dan kejahatan.
Poin kedua yaitu seseorang yang mengakui dosa-dosa mereka ialah dalam kerangka dibandingkan dengan Tuhan. Contoh dari ini adalah seperti sebuah lampu, yang mana memancarkan cahaya tapi cahayanya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan matahari. Prinsip yang sama juga benar dan berlaku bagi umat manusia. Dulu ada banyak orang di masa lalu yang bertindak secara sempurna sesuai dengan Hukum dan masih ada juga saat ini. Ini membuktikan bahwa seseorang dapat bertindak atas perintah Hukum.
Pada kenyatannya, tidak ada perintah samawi yang tidak bisa dilaksanakan. Apakah perzinahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari? Apakah dosa-dosa pencurian, perampokan, penipuan, pembunuhan, pengkhianatan dan sebagainya mustahil untuk dihindari? Tentu tidak! Jika seseorang takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa di dalam hati mereka, maka mereka tentu dapat menghindari hal-hal itu.
Orang-orang Kristen hanya memiliki kerendahan hati seseorang saja sebagai bukti bahwa tidak ada yang dapat melepaskan diri dari dosa, tapi argumen ini cacat. Bandingkan, jika seseorang mengatakan kepada orang lain, ‘Anda benar-benar terbebas dari dosa’, lalu karena kerendahan hati mereka akan menjawab, ‘Tidak, saya adalah seorang yang penuh dosa.’ Sebaliknya, jika mereka ditanya, ‘Apakah Anda bertindak sepenuhnya sesuai dengan Hukum Pidana India?’ Dia akan menjawab, ‘Tentu saya lakukan,’ dan tidak akan pernah mengatakan bahwa mereka pernah melanggarnya.
Kenapa kasus ini terjadi? Ini karena seseorang tidak malu untuk mengakui ini karena ia tahu hukum-hukum dari undang-undang pidana dibuat oleh manusia, yang bagaimana pun juga adalah makhluk hidup yang tidak kekal dan karena itu seseorang tidak kaget dalam jawaban mereka kepada mereka yang bertanya. Namun, berkenaan dengan perintah-perintah hukum [agama], karena seseorang memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa dalam akal pikirannya, jadi dia menjawab dengan kerendahan hati dan kelembutan.
Salah Untuk Menyatakan Orang-Orang Dapat Mewarisi Dosa
Sekarang kita kembali pada persoalan tentang manusia yang mewarisi dosa dan juga mustahil bagi siapa pun untuk bebas dari dosa. Hal ini pun adalah pemikiran yang salah. Jika manusia mewarisi dosa, lalu dari mana Adam (as) mewarisinya? Jika dia menanggungnya atas dirinya sendiri, mengapa kita tidak bisa menerima umat manusia lainnya juga menanggungnya atas diri mereka sendiri.
Tidak Adil Untuk Menghukum Seseorang Karena Dosa Waris
Sebab, jika manusia mewarisi dosa, seseorang tidak bisa bertanggungjawab atas itu. Misalnya, seseorang dari kelahiran yang tidak sah. Apakah mereka akan dilemparkan ke neraka karena kelahiran mereka adalah hasil perzinaan ibunya? Tentu tidak! Karena dia tidak bersalah, (tapi) ibunya-lah yang bersalah.
Oleh karena itu, tidak seorang pun patut menerima hukuman karena apa yang telah mereka warisi dari orang tua mereka, dan jika tidak seorang pun patut menerima hukuman karena ini, maka tiap orang memiliki potensi untuk memperoleh keselamatan, karena mereka tidak bersalah. Mereka [orang-orang Kristen] menyatakan bahwa dosa itu diwariskan, karena itu tidak ada yang bisa mendapat keselamatan. Namun, jika percaya dosa tidak diwariskan, tapi timbul atas dirinya sendiri [dengan tindakannya sendiri], (maka) doktrin Kristen ini demikian akan terbukti sepenuhnya tidak berdasar.
Pengamatan Menyangkal Dosa Waris Dapat Diampuni Melalui Penebusan Dosa
Ketika kita mengatakan kepada orang-orang Kristen bahwa dia sendiri melakukan dosa, mereka menjawab dengan mengatakan bahwa dosa-dosa yang dilakukan seseorang itu dapat dihindari. Tapi dosa yang diwariskan tidak dapat diampuni kecuali melalui keyakinan penebusan dosa. Namun, kita melihat bahwa ini juga sepenuhnya salah.
Dosa yang dimiliki untuk diwariskan adalah dilakukan oleh Adam (as), dan hukuman yang diusulkan untuk ini adalah sebagai berikut: “Lalu berfirmanlah Tuhan Allah kepada ular itu: ‘Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah akan kau makan seumur hidupmu. Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.’ Firman-Nya kepada perempuan itu: ‘Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi pada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu.’
Lalu firmannya pada manusia itu : ‘Karena engkau mendengarkan perkataan istrimu dan memakan dari buah pohon yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu; semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu dan tumbuh tumbuhan di padang yang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu …’”[5]
Gambaran lebih lanjut atas hal ini adalah jika hukuman-hukuman telah diampuni melalui keyakinan terhadap penebusan dosa, maka gagasan penebusan dosa akan menjadi benar. Sebaliknya, tidak ada bukti untuk menunjukkan dosa waris diampuni melalui keimanan terhadap penebusan dosa. Sebagaimana sebuah akibat dosa (asal) ini, seekor ular diberikan hukuman, “dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah yang akan kau makan seumur hidupmu. Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya. Keturunannya akan meremukkan kepalamu dan engkau akan meremukkan tumitnya.”
Karena, tidak mungkin bagi orang-orang Kristen untuk menjelaskan bagaimana ular dapat percaya terhadap penebusan dosa, sementara hukuman terhadapnya tidak dapat dihindari. Ulat itu pun meninggalkan (membiarkan) laki-laki dan perempuan.
Hukuman yang diberikan kepada perempuan ialah sebagai berikut: “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi pada suamimu, dan ia akan berkuasa atasmu.”
Apabila, begitu mereka percaya terhadap penebusan dosa, perempuan-perempuan akan diringankan dari hukuman-hukuman ini, maka kami mempercayai agama [Kristen] ini benar. Tapi hingga saat ini tidak ada perempuan-perempuan Kristen bisa lepas dari rasa sakit ini (proses kelahiran yang susah payah dan penuh kesakitan), jadi siapa yang dapat menerima gagasan penebusan dosa ini dapat dipercaya? Demikian pula, hukuman yang menimpa kepada kaum laki-laki ternyata tidak dapat diampuni melalui sebuah kepercayaan terhadap penebusan dosa, lantas bagaimana mereka dapat diampuni di akhirat?[6] Menurut keyakinan Kekristenan, hal-hal ini adalah tanda seseorang dapat meraih keselamatan, tapi tidak ada seorang Kristen pun yang dapat menunjukkan ini melalui praktek mereka [apa yang mereka alami]. Jadi, penebusan dosa telah terbukti palsu, dan ketika penebusan dosa telah terbukti palsu, hasilnya adalah, keselamatan melalui itu pun terbukti palsu.
Catatan: 3. Alquran, 7:9-10 4. Alkitab, Lukas 18:18-19 5. Alkitab, Kejadian 3:14-19. 6. Seseorang yang telah meyakini penebusan dosa, – sama halnya dengan umat lainnya - tetap mengalami hal-hal berikut ini: “dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu; semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu dan tumbuh tumbuhan di padang yang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu..”
Sumber:
The Review of Religions: EDISI JUNI 202
Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Nooruddeen Jahangeer Khan untuk tim penerjemah The Review of Religions
Penerjemah: Ghalib Ahmad, Muhammad Murbayuddin Qoyyum dan Sulthonul Qalam, JAMAI Darjah Tsalitsah Studi Muwazanah Madzahib (Perbandingan Agama) tahun ajaran 2020-2021.
Editor dan Pengajar: Mln. Dildaar Ahmad Dartono.
No Responses