Agama Penyembah Matahari | Mengenal Agama Kuno 1

Agama Penyembah Matahari | Mengenal Agama Kuno 1

Seluruh agama yang ada di dunia ini diturunkan oleh Allah Ta’ala untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa Bahkan agama tradisional dan mitologi dalam asal-usulnya memperlihatkan praktek menyembah Tuhan Yang Esa. Namun kita juga dapat mengamati tradisi politeistik yang tampaknya telah berevolusi dari tradisi monoteisme yang tererosi. Kodrat manusia masih merindukan perlunya Sang Pencipta Yang Maha Perkasa dan berharap menemukan pelipur lara dalam Dewa yang tercipta dalam pikirannya sendiri.

Ketika manusia mengamati gerhana, komet, meteoroid dan fenomena lainnya dia kadang-kadang menghubungkan objek yang besar ini, unsur yang lebih hebat sebagai pengganti Dewa atau sembahan. Beberapa orang sebelum zaman Ibrahim AS telah memulai menyembah matahari dan bintang-bintang sebagai kekuatan besar.

Spiritualitas Kuno dan Matahari

Banyak tradisi spiritual kuno muncul dan berkembang yang menggabungkan banyak pemahaman yang berbeda antara pencipta dan benda langit. Objek Seperti Bintang planet bulan matahari komet dan meteorit membangkitkan kekaguman dan takjub. Demikian pula peristiwa peristiwa alam lainnya seperti gerhana dan Aurora Borealis (Aurora adalah fenomena alam yang menyerupai pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer dari sebuah planet sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetik yang dimiliki planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh matahari [angin Surya]. Di bumi Aurora terjadi di daerah di sekitar kutub utara dan kutub selatan magnetiknya. Aurora yang terjadi di daerah sebelah utara dikenal dengan nama Aurora Borealis) yang dengan mudah akan menyebabkan rasa kagum terhadap kekuatan alam itu.

Semua benda-benda tersebut masih menjadi sesuatu yang dihormati atau dikultuskan ketika mereka berada di zaman kuno, namun ketika kemajuan besar dalam ilmu tercapai kita terus-menerus menemukan penemuan baru mengenai benda-benda angkasa. Kita tidak lagi terkejut ketika mendengar sebuah bintang baru atau galaksi telah ditemukan, sedangkan manusia kuno akan melihat langit dan merasa bingung terhadap benda-benda yang ia tidak bisa mencapai atau memahaminya.

Pakar arkeologi telah menggali banyak struktur kuno dengan sederetan benda-benda angkasa dan kuat dugaan bahwa orang-orang itu menyembah bintang, matahari dan bulan. Salah satu contohnya yaitu Stonehenge di Inggris, yang merupakan lingkaran batu kuno dengan sejarah spiritual, dan piramida-piramida yang ada di Mesir dan Meksiko.

Stongehenge di Inggris(gambar: wikipedia)

Baru-batu di Stonehenge menunjukkan keselarasan antara kemunculan matahari di cakrawala pada musim panas dan peralihan musim dingin ketika dilihat dari pusat situs tersebut saat ujung batu Heel dengan tepat berada di puncak cakrawala. Pada saat itu sekitar 5000-6000 tahun yang lalu pengetahuan tentang siklus matahari dan kalender telah digunakan oleh para pemimpin sosial sebagai sumber kekuasaan dan kekayaan terutama jika mereka bisa mengarahkan massa pada saat untuk menabur benih tanaman dan kapan harus panen.

Di Mesir kuno meskipun ada kemungkinan bahwa telah muncul tradisi monoteisme dalam dinasti awal penguasa, seiring berjalannya waktu, matahari mengambil makna besar dalam agama Mesir dan status Firaun. Beberapa hieroglif menggambarkan Firaun dengan matahari di kepalanya, Amon Ra yang Agung. Amon atau Amun dianggap sebagai pencipta tertinggi, sememtara Ra adalah jauh lebih tua dari dewa matahari, sehingga keduanya digabungkan menjadi Amon-Ra.

Kompleks Candi besar di Karnak Nil tampaknya berorientasi ke arah titik balik matahari musim panas melalui ruang hypostyle dan berdekatan dengan ruang perayaan. Gerald Hawkins mengklaim dalam karyanya bahwa ada bukti kuat candi telah disesuaikan dengan matahari musim panas dan kompleks candi yang berisi ‘Himne pujian kepada dewa yang muncul saat fajar’ (Devereux halaman 164). Memang salah satu kuil di situs Karnak (dekat kota modern Luxor, sebelah selatan Mesir) dinamai Ra-Hor-Akhty, nama Mesir kuno yang dapat diterjemahkan sebagai ‘ matahari cemerlang di Cakrawala’.

Dalam ibadah Mesir, Horus adalah matahari terbit Ra adalah matahari siang dan kemudian Osiris (dewa kematian) adalah sekarat atau matahari terbenam. Beberapa penafsir bahkan menghubungkan Horus, Ra dan Osiris dengan konsep Trinitas Kristen (Gordon halaman 657). Salah satu yang paling terkenal dari Pharoash Mesir adalah Amenhotep IV yang menghilangkan banyak dewa kerajaan dan mengatakan kepada bangsanya untuk menyembah Hanya Satu Tuhan, ditandai dengan piringan matahari yang dikenal sebagai Aten dan bahkan mengubah namanya menjadi Akhenaten. Setelah dia meninggal, Tutankhaten yang menikahi salah satu Putri Amenhotep IV menggantikannya, dan ia menghidupkan kembali tradisi lama dan mengubah namanya menjadi Tutankhamun. (Hagen, hal.47)

Amenhotep IV | Raja Mesir yang menyembah Tuhan Yang Esa

Orang Romawi dan Yunani juga telah menciptakan dewa sesembuhan mereka sendiri dan menggantikan dewanya dengan budaya lain. Jadi mungkin sebagai sikap politik dari kolaborasi, Alexander Agung mendirikan Ammon-Zeus, menciptakan campuran untuk melindungi Yunani dan budaya Mesir dan obsesi mereka dengan matahari. (Gordon, hal. 32)

Di Amerika Tengah dan selatan budoyo kuno Aztec dan Maya juga sangat bergantung pada pemujaan benda langit, dan mengembangkan kalender cukup kompleks. Kuil mereka seperti situs Machu Picchu yang terkenal di Peru juga dikaitkan dengan kultur agama Inca yang didedikasikan untuk menyembah matahari. Situs ini memiliki beberapa batu yang digunakan sebagai pos panduan dikenal sebagai intihuatana yang digunakan oleh orang-orang Inca untuk menandai titik balik matahari musim dingin, festival suku Inca Inti Raymi. Beberapa penafsir menggambarkan festival kuno ini sebagai salah satu kegiatan pengamatan untuk mengikat matahari agar tercegah mengayun lebih ke utara sendiri sehingga hari lebih pendek.

(bersambung)

No Responses

Tinggalkan Balasan