Prasasti Ciaruteun dan Pasiran Muara | Jejak Tinggalan Leluhur Sunda Abad Kelima

Prasasti Ciaruteun dan Pasiran Muara | Jejak Tinggalan Leluhur Sunda Abad Kelima

Ook deze steen wordt jaarlijks, gelijk die van Pasiran-moeara, gedurig overstroomd en heeft dus voortdurend even zeer te lijden van den sterken aandrang en de schuring des waters, dat dan met het geweld en de kracht van een bergstroom komt aanstorten. Zeer opmerkelijk daarom is het, dat de letters en voetindrukken nog zoo diep eu duidelijk zijn, als hadden ze nog niets geleden, terwijl de karakters van den anderen steen zich zoo flaauw en als uitgesleten voordoen.”

Menurut Brumund lagi, terdapat dua cetakan kaki berukuran besar yang diletakkan berdampingan. Sangat jelas dan mendalam dibandingkan Batutulis di Buitenzorg. Sungguh luar biasa bahwa untuk kesan nada setiap kaki, yang ditandai dengan lima lubang, telah dipahat seekor laba-laba, yang direpresentasikan sebagai tergantung pada seutas benang.

Pada bagian samping cetakan kedua kaki, telah dipahat tulisan empat baris yang masing-masing berjumlah delapan huruf (metum anustubh), dengan tulisan yang sangat jelas dan juga cukup dalam. Tulisan itu menurutnya mirip dengan tulisan satu baris pada batu di ketinggian dan sama sekali berbeda dengan tulisan pada batu Pasiran-moeara. Bentuknya lebih persegi daripada huruf miring. Untuk hurufnya ada baris karakter yang sangat keriting. Brumund mengira bahwa itu hanya tanda-tanda kabalistik dan bukan huruf.

Brumund juga telah membandingkan Prasasti Ciaruteun dengan Prasasti Pasir Muara. Meskipun terus-menerus terkena banjir setiap tahun dan oleh karena itu terus-menerus mengalami tekanan dan abrasi air yang sama besarnya, yang kemudian runtuh karena kekuatan dan kekuatan aliran air pegunungan. Oleh karena itu sungguh luar biasa bahwa huruf-huruf dan jejak kaki pada Prasasti Ciaruteun masih terlihat begitu dalam dan jelas, seolah-olah tidak mengalami kerusakan apa pun, sedangkan karakter pada Prasasti Pasir Muara tampak begitu samar dan seolah-olah usang.

Mengutip tulisan R. Friederich, Brumund ingin meyakinkan, bahwa tulisan pada Prasasti Ciaruteun bukanlah Jawa Kuno (Kawi) melainkan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Bahkan, menurut Friederich, ini adalah prasasti indah dan tertua dalam bahasa Sansekerta yang pernah ditemukan di Jawa. Sayangnya, Friederich sendiri belum dapat membaca tulisan pada prasasti tersebut secara langsung.

“Mijne voorloopige gissing dat ik oude Sanscrit karakters zoude vinden, werd al dadelijk bevestigd, en ik was na een paar uren in staat om het eerste gedeelde der in scriptie van den steen af te lezen. Dit vertoonde dan niets dan Sanscrit-woorden, en ik vond eenige inflexiën volgens de Sanscritiscïie spraakkunst, die vooral mij de overtuiging gaven dat dit geene Kawi maar eene zuivere Sanscritsche inscriptie moest zijn.”

Beberapa pakar epigrafi – yang mencoba membaca tulisan pada Prasasti Ciaruteun – muncul satu abad kemudian setelah penemuannya. Dua nama yang perlu disebutkan disini adalah J.Ph. Vogel (1925) dalam The Earliest Sanskrit Inscription of Java, yang juga dikutip oleh R.M. Ng. Poerbacaraka (1952). Bunyi transliterasinya adalah sebagai berikut:

“vikkrantasy avanip ateh/crimatah purnnavarmmanah/tarumanagarendrasya/vishnoriva  padadvayam.”

विक्रान्तस्य अवनीप आतेः/क्रिमतः पूर्णवर्म्मनः/तरुमानगरेन्द्रस्य/विष्णोरिव पदद्वायम्

“Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak yang mulia sang Purnawarman, raja di negri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.

K.P. Jayaswal, M.A., Barrister-at-Law, Patna dalam makalahnya Shell Character Inscription at Ci-Aruton (Java) yang dimuat dalam Epigraphia Indica 1933-1934 menyebutkan bahwa huruf Pallawa yang dipakai dalam Prasasti Ciaruteun adalah tipe Vakataka (Vengi). Jenis huruf ini banyak ditemukan di daerah Patna. Jayaswal sendiri telah melihatnya langsung dan menyebutkan juga dalam makalahnya tersebut.

Yang menarik lagi adalah, apa yang selama ini dianggap sebagai sulur (pilin) buah atau sayuran dalam Prasasti Ciaruteun, ternyata oleh Jayaswal itu dibaca sebagai sebuah nama dan merupakan bentuk dari kaligrafi Pallawa untuk nama Raja Tarumanegara, yaitu Sri Purnnavarmah alias Sri Purnawarman. Sedangkan bentuk laba-laba menurutnya adalah samudhrika lakshana alias tanda kewenangan atau kekuasaan.

Menurutnya juga, Prasasti Ciaruteun ini merupakan tanda sraddha (after-death memorial) alias upacara mengenang kewafatan Raja Purnawarman yang biasanya dilakukan 12 tahun setelah masa kewafatannya. Ini diperkuat oleh bunyi Prasasti Jambu yang menyebutkan kata-kata “yah pura Tarumayam namna Sri Purnnavarmma”.

Ini mirip dengan sraddha untuk Ratu Sri Tribuwana Tunggadewi yang dilakukan oleh Hayam Wuruk setelah 12 tahun kewafatannya. Begitu juga Prabu Siliwangi yang juga dibuat upacara sraddha setelah 12 tahun kewafatannya oleh putranya, Prabu Surawisesa Jayengrana yaitu pada 1533. Prasasti Batutulis di Bogor menjadi bukti tinggalan sejarah peristiwa sraddha tersebut.

PRASASTI DAN SEJARAH MASA KINI

Tidak selamanya prasasti yang ditemukan terkait dengan tanda kebesaran atau batas wilayah. Namun, ada juga prasasti yang ternyata hanya merupakan bukti bahwa di tempat tersebut pernah dilakukan upacara sraddha. Meski demikian, tempat itu kemudian menjadi daerah yang ditinggali. Bahkan, berkembang menjadi suatu pemukiman yang cukup padat.

Meskipun dalam prasasti tidak secara lengkap menyebutkan sesuatu peristiwa sejarah tertentu. Namun dengan menyebut nama seseorang atau nama suatu tempat atau kerajaan, itu cukup sebagai penanda, bahwa lokasi dimana prasasti itu berada pernah menjadi tempat upacara sraddha. Konsekuensinya, pastilah tempat itu memiliki kedudukan tersendiri bagi pihak yang melaksanakannya.

Bahkan, untuk di beberapa upacara sraddha tertentu, lokasi yang dipilih adalah ibukota kerajaan sendiri. Atau, suatu lokasi lain yang kedudukannya dianggap sakral oleh penguasa kerajaan setelahnya. Ini terjadi dengan upacara sraddha yang biasanya dilaksanakan oleh raja-raja Majapahit.

Terkait hal ini, Brumund lagi-lagi berspekulasi, bahwa dulunya kawasan Pasirmuhara itu ditempati oleh penduduk. Namun karena faktor tertentu – seperti gempa bumi, gunung meletus atau peperangan – merek kemudian meninggalkan lokasi itu. Lokasi yang lama ditinggalkan kemudian berubah menjadi hutan lebat.

“Op den landtong, tusschen twee rivieren daarvoor zeer goed gelegen, moet in vroegeren tijd eene belangrijke dorpsbevolking hebben zamen gewoond, later verdwenen, verhuisd of verjaagd, toen de omtrek weêr woest en verlaten werd, en zich allengkens ‘met een diet bosch overdekte’.”

Dari upacara sraddha tersebut di atas, dipastikan bahwa yang membuat Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi dan Prasasti Pasirmuhara adalah penerus dari Raja Purnawarman. Bila Purnawarman meninggal pada 434 Masehi, maka upacara sraddha dilakukan 12 tahun setelahnya dan pembuatan prasasti itu diperkirakan pada 446 Masehi.

Raja Tarumanegara pengganti Purnawarman itu tidak lain adalah Sri Maharaja Wisnuwarman Iswaradigwijaya Tunggal Jagatpati alias Sang Puramdarasitah yang memerintah selama 21 tahun (434-455). Hingga tahun 669 Masehi, Kerajaan Tarumanegara masih berdiri. Silih berganti raja-raja Tarumanegara memerintah selama 306 tahun lamanya (363-669). Bisa dipastikan, suatu kerajaan yang berdiri cukup lama itu melambangkan bahwa kondisinya terbilang relatif sejahtera. []

—o0o—

Disusun oleh:
Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan

Catatan:
*) Tulisan ini berasal dari Catatan Perjalanan yang dilakukan pada Minggu, 31 Maret 2024 ke kawasan yang dulunya masuk ke dalam Land Koeripan dan kemudian masuk ke dalam Land Panyawungan (Leuwiliang).
**) Penulis merupakan Direktur dan Pengulik pada Pusat Kajian Manuskrip Islam dan Filologi (The Centre for the Study of the Islamic Manuscripts and Philology) Ambon, Maluku.

No Responses

Tinggalkan Balasan