Prasasti Ciaruteun dan Pasiran Muara | Jejak Tinggalan Leluhur Sunda Abad Kelima

Prasasti Ciaruteun dan Pasiran Muara | Jejak Tinggalan Leluhur Sunda Abad Kelima

Masroor Library – “Vikkrantasyavanipateh, Crimatah purnnavarmmanah, Tarumanagarendrasya, Vishnoriva padadvayam.” (Inilah [tanda] sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu [Pemelihara] ialah telapak Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di Negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia)

PERJALANAN MENELUSURI JEJAK KUNA

Pustaka Rajakawasa i Bhumi Nusantara (yang merupakan parwa 4 dari Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara) sarga 1 halaman 118-149, menyebutkan sebanyak 53 kerajaan bawahan (vasal), pelabuhan atau daerah yang mengakui Kerajaan Tarumanegara dan Raja Purnawarman (395-434). Di antara nama-nama itu adalah Bhumisagandu dan Pasirmuhara.

Secara Toponimi, kedua nama tersebut masih dipakai sebagai nama lokasi atau daerah. Nama pertama terletak di Kabupaten Indramayu, tepatnya di Kecamatan Losarang. Sedangkan nama terakhir, terdapat di Kabupaten Bogor, tepatnya kini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Cibungbulang. Dari keletakannya, sudah dapat dipastikan, bahwa Kerajaan Tarumanegara memiliki wilayah kekuasaan yang terbentang luas.

Sebagai seorang yang dilahirkan di Kabupaten Indramayu, Penulis mengenal dengan baik kawasan Bhumisegandu yang kini menjadi lokasi komunitas Dhayak. Suku Dayak Bhumisegandu menempati kawasan di Kecamatan Losarang, tepatnya di dekat jalan antara Desa Jangga dengan Desa Cikedung. Penulis pun memiliki hubungan dengan pemimpin Suku Dayak Bhumisegandu tersebut.

Selama hampir 30 tahun tinggal di Kabupaten Bogor, Penulis juga telah beberapa kali melintasi kawasan Pasirmuhara (kini, Pasir Muara alias Kampung Muara). Pasirmuhara terletak di Desa Ciaruteun Ilir, antara jalan lintas dari Ciampea menuju Desa Rumpin, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Kata “Pasir” atau “Pasiran” merujuk kepada lokasi dataran tinggi berpasir alias bukit.

Pasirmuhara atau Pasir Muara atau Kampung Muara adalah salah satu nama kampung di sepanjang jalan Ciaruteun Ilir. Beberapa nama kampung lainnya adalah Kampung Tutul 1 dan Kampung Tutul 2. Sebuah SMP Islam Terpadu bernama Albakriatul Mudassirin terletak hanya beberapa ratus meter dari Pasirmuhara. Pada masa lalu, kawasan ini juga dikenal sebagai Kebon Kopi. Oleh sebab itu, penamaan prasasti yang ditemukan disini juga kadang disebut sebagai Prasasti Kebon Kopi alias Tapak Gajah.

Berdasarkan catatan kuna dalam kitab yang disusun oleh Tim Panitia Pangeran Wangsakerta dari Kesultanan Cirebon itulah, Penulis kemudian menelusuri lokasi Prasasti Ciaruteun, Prasasti Tapak Gajah, Prasasti Pasirmuhara dan Batu Dakon di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Jarak sejauh 16 kilometer itu ditempuh dengan kendaraan roda dua hanya sekitar 37 menitan. Dulunya, kawasan ini masuk dalam Land Cibungbulang.

MENELUSURI LAND CIBUNGBULANG

Nama Land Cibungbulang pertama kali diketahui muncul pada 1790. Land Cibungbulang merupakan Land terbaik dari tiga perkebunan (onderneming) yang ada di Distrik Parung: Land Cibungbulang, Land Ciampea dan Land Panyawungan. Land Cibungbulang dibeli oleh W.HV. van Riemsdijk pada 1816. Setelah selama beberapa abad kepemilikan perkebunan berada di tangan bangsa Inggris, Land Cibungbulang pun diambil alih oleh orang Belanda pada 1816.

Land Cibungbulang dan Land Ciampea awalnya masuk ke Distrik Parung, hingga 1826. Namun, setelah Jasinga ditetapkan menjadi distrik pada 1826 maka Land Cibungbulang, Land Ciampea, Land Panyawungan atau Leuwiliang masuk ke dalam Distrik Parung. Namun, pada 1879 ketika Land Curuk Bitung atau Nanggung dan Land Sadeng Jambu dipisahkan dari Distrik Jasinga dan digabung dengan Land Ciampea, Land Cibungbulang dan Land Dramaga maka dibentuk Distrik Leuwiliang.

Land Cibungbulang pernah dimiliki oleh Jonathan Rigg (1809-1871). Rigg adalah seorang pemilik kapal barang di Surabaya yang diberi nama “Jane Serena”, peminat Etnografi, Antropolog, Arkeolog dan Filolog. Kamus Bahasa Sunda-Inggris pertama “A Dictionary of the Sunda Language of Java” disusun oleh Rigg dan diterbitkan pada 5 Agustus 1862. Disana tertulis, oleh Penerbit Lange & Co Batavia disebutkan bahwa Rigg adalah “Member of the Batavian Society of Arts and Sciences”.

Rigg menulis sedikitnya 10 tulisan ilmiah di jurnal nasional dan internasional pada masanya. Tulisan Rigg mencakup Etnografi, Antropologi, Filologi, Arkeologi dan Catatan Perjalanan. Rigg adalah seorang yang memiliki multi-disiplin ilmu berbeda-beda. Sebagai pemilik perkebunan (landheer), Rigg juga memahami metode penanaman kopi dan tanaman lainnya, termasuk mineral tanah. Tulisannya mengenai granit di Distrik Jasinga menarik minat ilmuwan lainnya.

Pada masanya, kawasan Pasirmuhara (Pasir Muara) pernah dijadikan sebagai perkebunan kopi. Oleh sebab itu, kawasan ini kemudian dikenal sebagai Kebon Kopi. Saat prasasti batu tulis Tapak Gajah ditemukan di kawasan ini pada 1863, maka namanya pun awalnya disebut sebagai Prasasti Kebon Kopi. Ada beberapa peninggalan Kerajaan Tarumanegara dan khususnya vasal Pasirmuhara yang masih terpelihara hingga kini.

PASIR MUARA (PASIR MUHARA) DAN PRASASTI CIARUTEUN

Nama Pasirmuhara yang tercantum dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara susunan Tim Pangeran Wangsakerta dari Kesultanan Cirebon hingga kini masih bisa ditelusuri jejaknya di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Di kawasan ini ditemukan empat tinggalan Kerajaan Tarumanegara: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Batu Dakon (Congklak) dan Prasasti Pasir Muara.

Melihat keletakannya, lokasi keempat tinggalan Kerajaan Tarumanegara ini berada di satu kawasan yang berdekatan. Prasasti Batu tulis Kebon Kopi atau Prasasti Tapak Gajah persis berada di tepi Jalan Ciaruteun Ilir. Prasasti Batu tulis Ciaruteun berada di dekat Sungai Cisadane, Prasasti Batu Dakon juga terletak di tepi Jalan Ciaruteun Ilir dan Prasasti Batu tulis Pasir Muara berada di pertemuan dua sungai, Sungai Cianten dan Sungai Cisadane.

Dalam istilah Arkeologi, ketiga Prasasti itu biasa disebut “in site”, yaitu sejak awal ditemukan lokasinya tetap tidak berubah alias masih berada di tempatnya bahkan selama hampir 15 abad. Ketiga prasasti tersebut adalah Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Batu Dakon dan Prasasti Pasir Muara. Sedangkan satu buah prasasti telah berpindah tempat, yaitu Prasasti Ciaruteun. Lokasi awalnya di dalam Sungai Cisadane dipindahkan ke darat sekitar 50 meter.

MENGENAL ISI PRASASTI

Terkait Prasasti Ciaruteun, Jan Frederik Gerrit Brumund, seorang pendeta (pertikent) di Batavia yang juga seorang arkeolog, menulis dalam bukunya Bijdragen tot de Kennis van het Hindoeism of Java (1868), sebagai berikut:

“Op die hoogte, den weg regts verlatende, daalt men naar de rivier Tjaroenten af. Spoedig heeft men zijn hoogen oever bereikt. Van daar in de rivier afgedaald, en die, van steen tot steen springende, tot omtrent drie vierden van hare breedte doorgegaan, kwam ik aan den derden beschreven steen, voorzeker verre weg de belangrijkste van het drietal. Ook die steen behoort, gelijk de beide anderen, tot de meest digte trachietsoort, en is, evenals die te Pasiran-moeara, daar door den stroom gebragt, ook nog gelijk de natuur hem gaf.”

Pada masa itu, penyebutan untuk lokasi yang kini menjadi Kampung Muara atau Desa Ciaruteun Ilir adalah Pasiran-moeara. Ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Pustaka Rajakawasa i Bhumi Nusantara (yang merupakan parwa 4 dari Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara) sarga 1 halaman 118-149, yang menyebutkan nama Pasirmuhara. Ini artinya, sejak era Tarumanegara hingga 11 abad kemudian nama itu tetap melekat kuat.

Menurut penuturan Brumund sendiri, dia mengunjungi Prasasti Ciaruteun dan prasasti lainnya di Pasiran-moeara itu serta membuat beberapa catatan penting mengenainya. Proses kedatangannya kesana pun digambarkan dengan sangat jelas. Bahkan, Brumund juga ikut turun ke sungai sampai berloncatan di atas batu-batu besar. Prasasti Ciaruteun sangat menarik hatinya, sebab tulisannya sangat jelas.

“Daarin zijn twee nevens elkander geplaatste groote voetindrukken gebeiteld. Zeer duidelijk en dieper dan die van Batoe-toelis te Buitenzorg. Opmerkelijk, voorzeker, dat men voor de indrukken der toonen van iedere voet, die door vijf gaten worden aangeduid, eene spin heeft gebeiteld, die wordt voorgesteld aan eene draad te hangen. Ter zijde van beide voetindrukken is in zeer duidelijk en ook tamelijk diep schrift eene inscriptie gebeiteld-van vier regels onder elkander, ieder acht letters tellende.

Die letters kwamen mij voor die der eenregelige inscriptie van den steen op de hoogte nabij te komen en zijn geheel verschillend van die op: den steen van Pasiran-moeara. Zij zijn meer kwadraat, dan cursief-letters. Voor de toonen is nog een regel van zeer krulvormige karakters. Zeer mogelijk, dat ze slechts kabalistische teekenen en geen letters zijn.

No Responses

Tinggalkan Balasan