Logika di Balik Penganiayaan Romawi Terhadap Umat Kristen Awal

Logika di Balik Penganiayaan Romawi Terhadap Umat Kristen Awal

Masroor Library – Yesus dari Nazaret sendiri bukanlah warga negara Romawi. Namun, wilayah di mana dia memulai pelayanan berada di bawah kendali Romawi. Sepanjang hidupnya, Yesus dihadapkan dengan pengaruh Romawi. Setelah kematian Yesus, orang-orang Kristen (tak dapat disangkal adalah anakronisme/tidak sesuai dengan sejarah) melihat diri mereka sendiri berada di wilayah yang asing/belum dipetakan; wilayah yang juga berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Di tengah perdebatan antara orang-orang Kristen awal dengan orang-orang Yahudi tentang perbedaan teologis dan sosial antara Yudaisme dan ajaran Kristus, orang-orang Kristen awal juga mendapat penyiksaan dari Kekaisaran Romawi selama tiga abad pertama sejak keberadaan mereka.

Studi ini menyelidiki perbedaan antara orang-orang Kristen dan masyarakat Romawi. Tujuannya adalah penyebab akurat sikap Romawi terhadap Kristus dan para pengikut pertamanya. Pertama, saya prihatin dan memperhatikan perlakuan Romawi terhadap Yesus sebelum dan selama persidangannya, serta pandangan Romawi terhadap agama secara umum. Selanjutnya saya memperhatikan praktik pengorbanan agama Romawi, tuduhan inses dan kanibalisme terhadap orang-orang Kristen dan unsur eksklusivitas Kristen.

Analisa saya tentang para martir Kristen awal termasuk Paulus dan kedua belas rasul dan lini masa saya akan mengarah pada kebakaran Neronian di tahun 64 M. Saya akan mencoba untuk membatasi penggunaan saya atas undang-undang Romawi yang secara langsung berkaitan dengan perlakuan terhadap orang Kristen. Dasar informasi saya terutama adalah karya para sarjana dan pejabat Romawi yang hidup selama periode ini. Ada daftar catatan yang bisa digunakan. Beberapa dari catatan-catatan ini termasuk korespondensi antara Kaisar Trajan dan Pliny the Young, seorang hakim, tulisan-tulisan Tacitus seorang sejarawan Romawi dan Tertullian seorang penulis Kristen awal (meskipun agak lebih lambat dari sumber-sumber saya yang lain). Saya juga melihat karya Wilken (1980), Sherwin-White[1] (1964) dan Ste.Croix (1963), di antara para sejarawan Kristen modern lainnya.

Kematian Yesus menimbulkan banyak persoalan untuk hal-hal berikut yang menumpuk selama hidupnya. Di atas banyak pertanyaan teologis yang ditinggalkan bagi para pengikut Yesus (banyak di antaranya tidak akan terjawab untuk beberapa waktu), orang-orang Kristen awal berurusan dengan permusuhan dari komunitas Yahudi dan juga rintangan yang lebih besar untuk bertahan hidup di Roma. Meskipun eksekusi (penghukuman mati) terhadap Yesus berada di tangan Romawi, (tapi) orang Romawi pada awalnya tidak terlihat menghukum (secara hukum) para pengikutnya semata-mata atas dasar keyakinan mereka. Namun, keyakinan orang Kristen awal-lah yang menyebabkan mereka bertindak bertentangan dengan tradisi Romawi (tulisan Rasul Petrus dibahas kemudian), dan hal itu menyebabkan kebencian yang lebih besar antara mereka dengan rakyat Romawi. Belakangan keputusan-keputusan Romawi terhadap orang Kristen mulai mencerminkan permusuhan dari para penyembah berhala (orang-orang pagan).

Agenda pertama adalah pengaruh Romawi atas Yesus sendiri. Yesus lahir lolos dari persekusi seorang penguasa Romawi. Herodes Agung, meskipun Yahudi adalah seorang penguasa Romawi yang terkenal karena usahanya yang gagal untuk membunuh Yesus saat lahir. Cerita itu dijelaskan dalam Matius dan Lukas. Yesus lahir pada masa pergolakan dan kekejaman. Setelah Herodes meninggal, Kekaisaran Romawi membagi kerajaan antara tiga penguasa dan Yudea berada di bawah kendali Roma pada saat itu.

Faktanya, dengan hampir 800 tahun penaklukan sebelum kelahiran Yesus, Romawi pada dasarnya menguasai tanah ke segala arah yang bisa dilalui Yesus. Pada zaman Yesus, ada sejumlah orang yang berpura-pura mengaku mengetahui beberapa macam kebenaran teologis atau menyatakan diri mereka sebagai nabi. Orang-orang seperti Honi ha-M’agel pada abad sebelum Yesus dan Hanina Ben Dosa dari generasi setelahnya menunjukkan sebuah aliran mistikus dan aliran nabi yang kuat berdekatan masa dengan Yesus[2]. Kekaisaran Romawi tampaknya membiarkan ini terjadi.

Eksekusi Yohanes Pembaptis tidak mencapnya sebagai martir seperti yang terjadi pada banyak orang lainnya. Yohanes menghakimi Herodes Antipas putra Herodes Agung karena menculik istri saudara laki-lakinya sendiri, yang merupakan sebuah tindakan ilegal menurut Hukum Yahudi. Injil juga menggambarkan ketakutan Herodes bila membunuh Yohanes maka akan memulai terjadinya reaksi pemberontakan. Josephus seorang sejarawan Yahudi memverifikasi ayat Injil tentang ketakutan Herodes terhadap orang-orang (Hillar n.d.).

Peranan penting dan kunci dari para Pendeta Yahudi sebagai aktor utama yang menyebabkan hukuman Penyaliban Yesus oleh Pemerintah Romawi

Setelah eksekusi Yohanes, orang-orang Romawi terus mengizinkan Yesus untuk melanjutkan pelayanannya. Yesus menikmati perjalanan yang hampir sepenuhnya tidak dibatasi. Pada akhirnya bukanlah otoritas Romawi yang berusaha untuk membungkam Yesus, tetapi para pendeta Yahudi. Dewan tinggi Yahudi Sanhedrin, memandang Yesus sebagai ancaman bagi cengkeraman mereka atas masyarakat Yahudi.

Roma tidak menjatuhkan hukuman kepada para reformis agama yang pada dasarnya adalah apa yang diyakini oleh negara tentang Yesus. Hanya ketika Sanhedrin mengklaim bahwa dia adalah seorang penghasut barulah Roma menetapkan.

Kejeniusan dalam kasus Sanhedrin mungkin adalah terminologi mereka, Yesus dituduh mendirikan kerajaannya sendiri. Yesus menggambarkan visinya tentang kerajaan yang jauh di atas pemahaman orang Romawi (Sammut n.d.). Namun orang Romawi juga percaya bahwa kerajaan mereka mengandung unsur surgawi. Ini mungkin membuat Pilatus bersimpati pada ketidaksukaan orang Yahudi terhadap Yesus.

Segera Yesus dituduh melakukan kejahatan politik, orang-orang bisa menuntut kematian. Jadi Yesus dijatuhi hukuman eksekusi yang sangat brutal oleh orang Romawi.

Kesulitan yang serta merta dalam laporan pengadilan Yesus adalah keputusan Pilatus yang tidak beralasan, mengingat bukti Sanhedrin yang tidak meyakinkan. Catatan pengadilan dalam Injil menunjukkan bahwa Pilatus juga sampai pada kebingungan itu. Jika pada satu segi Pilatus sangat mengabaikan Yesus sehingga ia dengan rela mengabaikan bukti, kedua usahanya untuk menyelamatkan Yesus menjadi ambigu [bias atau membingungkan]. Syukurlah, Injil menjelaskan bahwa kerumunan yang marah itu menuntut eksekusi. Yesus dipaksa untuk dieksekusi atas permintaan masyarakat yang tampaknya mengalahkan otoritas Pilatus.

Seperti yang akan dibahas nanti, kaisar memang dianggap samawi (bersifat ketuhanan), tetapi kerajaan Roma adalah manusia, dilindungi dengan berkedok sebagai kuil para dewa. Sebagai kerajaan manusia, kecenderungan kekeliruan manusia secara alami terjadi. Orang sakit, miskin, dan orang asing ditempatkan di pinggiran masyarakat, tidak dapat meningkatkan status sosial mereka. Roma (dan Yahudi) menggunakan rumor kepemilikan untuk menahan individu dari memasuki kembali masyarakat juga. Yang kaya dan berkuasa mempertahankan keadaan tetap mereka dengan memungut pajak yang tinggi pada rakyat.

Yesus membandingkan pemahaman Romawi tentang kerajaan dengan menggambarkan satu (kerajaan) yang hukum-hukumnya bertentangan sama sekali dengan hukum Roma. Yesus berbicara tentang kerajaan untuk orang buangan, dan saat dia mengkristenkan orang yang lemah dan sakit, Yesus tidak menggambarkan kerajaannya berdasarkan sisi ekonomi atau sosial. Sebaliknya, Kerajaan yang Yesus rujuk jauh lebih hebat dan kuat dibanding kerajaan Caesar- sebuah penghinaan yang besar bagi para pejabat yang percaya bahwa Caesar adalah anak Tuhan yang sebenarnya (Sammut n.d.). Setelah pendirian Yesus ini, dia dianggap penjahat negara.

Ste. Croix mengutip pernyataan-pernyataan Tertullian tentang “Orang-orang Kristen dituduh atas kejahatan itu (penghianatan) (1963)”, semata-mata atas dasar status Yesus sebagai penghasut yang dieksekusi. Ada sebuah kecurigaan bahwa orang Kristen secara diam-diam anti-Roma. Para politisi memahami identitas Romawi (mereka) sebagai ‘rencana yang dikemas’, di mana agama adalah bagian utamanya. Dalam skema ini, para pejabat mampu mengendalikan massa. Selain memiliki kepercayaan pada seorang yang dianggap penjahat oleh orang-orang Romawi, orang-orang Kristen menyangkal bagian dari budaya Romawi. Golongan pengadilan menjadi sangat tidak simpatik terhadap orang-orang Kristen.

Wilkins (1980) melakukan pekerjaan yang baik dalam menjelaskan perspektif pagan mengenai orang-orang yang disebut ‘Kristen’. Dia menyajikan literatur Yunani dan Romawi seperti The Passing of Peregrinus yang didalamnya, penulisnya Lucian mengejek Yesus, menyebutnya seorang yang tersesat dalam pandangan-pandangannya dan menyebut para pengikutnya mudah tertipu.

Filsuf Yunani Celsus mengkritik penyembahan orang-orang Kristen terhadap dewa yang lebih rendah daripada ayahnya, yaitu bernama Yesus. Celsus juga mencatat kemunafikan Kristen dalam menyembah seorang Yahudi sambil mencela Yudaisme.

Clement dari Aleksandria menulis tentang orang-orang Yahudi dan Yunani dengan menggunakan beberapa sekte agama Kristen sebagai bukti tentang filosofi mereka yang salah (1980). Jelaslah bahwa orang-orang pagan[3] dan orang-orang Yahudi yang tinggal di antara orang-orang Kristen pada abad pertama melihat mereka dengan kebingungan dan permusuhan.

Tidak ada yang ingin tradisinya ditolak. Jadi apa pelanggaran-pelanggaran orang Kristen terhadap masyarakat? Mungkin pelanggaran yang paling dipertentangkan adalah penolakan mereka untuk ambil bagian dalam praktik-praktik keagamaan Romawi yang diharuskan. Warga Romawi percaya pada pax deorum, atau perdamaian dengan para dewa. Perdamaian ini hanya dijunjung dengan ibadah dan pengorbanan kepada para dewa ini. Oleh karena itu, penolakan ambil bagian dalam pengorbanan ini dilihat sebagai ancaman bagi pax[4]. Para warga bukanlah satu-satunya yang mendesak umat Kristiani untuk melakukan persembahan korban; perdebatan Kristen dan Yahudi tentang ketaatan pada Hukum, di mana pengorbanan ini merupakan bagian yang penting termasuk yang paling terkenal dalam sejarah agama. Menurut orang Yahudi dan pagan pada abad pertama khususnya adalah dianggap bidah bagi orang Kristen untuk menyebut Yesus sebagai korban terakhir. Mayoritas orang yang dekat dengan orang Kristen memandang Yesus dari Nazaret sebagai orang gila, semacam hantu jahat atau paling baik pun hanya sebagai seorang guru.

Berbagai Tuduhan dan Rumor yang beredar di kalangan Warga Romawi Pagan dan Pemerintah Romawi terhadap kaum Kristen awal yang mendorong Persekusi

Pernyataan Tertullian [tokoh Kristen abad ke-2 dari kalangan gentiles atau non Yahudi yang masuk Kristen] dalam Apologeticus menjelaskan bahwa orang Kristen dieksekusi atas setiap jenis bencana yang melanda Roma (Ste. Croix 1963). Eusebius menjelaskan dalam Ecclesiastical History bahwa orang-orang (dan kadang pemerintah lokal) akan menghindari metode penuntutan resmi dengan membuat rencana melawan orang-orang Kristen. Akibatnya, banyak orang Kristen meninggal tanpa melalui pengadilan (Futrell 2006). Seorang dapat menyederhanakan bahwa penolakan orang Kristen untuk berkorban kepada para dewa sebagai penolakan orang Kristen terhadap para dewa secara umum. Jika orang Yunani dianggap toleran karena memasukkan dewa-dewa baru ke dalam Kuil Yunani, maka orang Kristen mendapat permusuhan yang sebanding karena tidak memasukkan semua dewa kecuali Yesus[5].

Disamping para dewa, warga kekaisaran diharapkan menyembah kaisar. Julius Caesar dibunuh tetapi kesimpulan yang diberikan semacam status keilahian yang mana warga dan penggantinya yaitu Augustus memujanya. Augustus juga adalah anak Julius Caesar dan jika Julius dianggap Tuhan, maka itu menjadikan Agustus sebagai “anak Allah”.

Para pengikut Yesus memiliki persoalan yang jelas yang menahan mereka menyebut Augustus seperti itu. Yesus adalah satu-satunya anak Tuhan, Augustus hanyalah seorang pemimpin (“Cult” 2016). Kekristenan menjadi ilegal di Asia Kecil ketika orang Kristen menolak untuk menyembah siapa pun kecuali Yesus (Ste. Crois 1963). Penolakan orang-orang Kristen untuk menyembah dewa-dewa dan tunduk pada otoritas Romawi yang berlagak bersifat ketuhanan menyebabkan banyak gubernur mengeksekusi orang Kristen di abad kedua. Plinius sang hakim menulis tentang eksekusinya terhadap orang-orang Kristen karena penolakan mereka untuk mengakui otoritasnya (Sherwin-White 1964) atau hanya karena mengakui bahwa mereka adalah orang Kristen. Pliny dan yang lainnya hanya akan mengizinkan seseorang yang dituduh sebagai seorang Kristen untuk hidup jika mereka memberikan persembahan kepada para dewa (Ste. Croix 1963). Yang menarik, orang Kristen dan orang pagan menganggap satu sama lain sebagai tidak bertuhan (atheist).

Umat Kristen menunjukkan sejenis eksklusivitas yang mana kaum Pagan (para penyembah patung berhala) menganggapnya sebuah gangguan. Untuk menghindari permusuhan kaum Pagan, banyak orang Kristen terpaksa mengadakan perhimpunan secara diam-diam pada malam hari. Orang-orang Pagan kemudian marah pada orang Kristen karena sifat rahasianya itu. Akibatnya umat Kristen semakin dikucilkan.

Futrell (2006) mengutip sebuah kutipan dari tulisan Tacitus yang menjelaskan tentang orang-orang Kristen odium humani generis atau kebencian mereka terhadap manusia. Keyakinan bahwa orang Kristen membenci kemanusiaan berasal dari kombinasi ajaran dan praktik yang disalahpahami. Umat Kristen mencela ritual keagamaan dan mengadakan pertemuan rahasia. Beragam desas-desus tentang kanibalisme, inses, dan kemartiran kemudian membawa penduduk Romawi percaya bahwa orang Kristen hanya peduli pada Yesus bukan kemanusiaan. Orang Pagan menganggap Ekaristi, yaitu persembahan darah dan tubuhnya Yesus kepada para muridnya yang mana mendorong pada kanibalisme.

Namun, McGowan (n.d.), melakukan penelusuran arti dan praktik kanibalisme selama periode ini tidak hanya di antara orang-orang Kristen, tetapi juga di antara kelompok-kelompok pagan lainnya. Temuannya membasmi tuduhan pagan terhadap orang Kristen dalam tindakan ritual nyata. Minucius Felix, seorang pembela Kristen Latin awal, menjelaskan satu ritual orang Kristen awal yang dituduh, menurut Minucius orang pagan percaya, “… Orang Kristen dituduh mengkristenkan orang dengan menipu mereka untuk menikam sampai mati seorang bayi yang disembunyikan dalam makanan korban atau tepung (McGowan nd). ” Bayi itu kemudian dimakan.

Wagemakers (2010) juga menggunakan catatan-catatan Minucius untuk menjelaskan desas-desus tentang inses orang Kristen. Minucius secara rinci menyebut pesta Kristen yang khusus waktu yang menyenangkan ditemani dengan banyak minuman anggur, menghasilkan nafsu birahi yang tak tertahankan antara anggota keluarga. Umat Kristen dikatakan telah memadamkan lampu saat pertemuan untuk berpesta pora. Dengan cara ini, yaitu keluarga akan mengikat kaki seekor anjing setelah pesta. Anjing itu karena tidak bisa berlari dengan baik, lalu terus menabrak-nabrak di sekitar ruangan, sehingga mematikan semua lampu di jalannya. Di saat kegelapan, keluarga akan mencari anggota keluarga kandungnya untuk bersetubuh (2010). Orang-orang mengira bahwa orang Kristen memanggil satu sama lain dengan ‘saudara laki-laki’ dan ‘saudara perempuan’ untuk merayakan kebiasaan inses mereka.

Kekuatan sentimen mayoritas atau kaum mainstream warga Romawi terhadap minoritas sebagai bahan bakar Persekusi

Kita sekarang dapat memahami sentimen dari orang-orang sebagai kekuatan utama di balik penganiayaan kekaisaran Romawi terhadap orang-orang Kristen awal. Dari semua pelanggaran yang orang Romawi pagan tuduhkan kepada orang-orang Kristen, tidak ada bukti orang Kristen mengganggu kehidupan beragama atau sosial seseorang (sampai pengakuan Nero bahwa bid’ah Kristen membuat marah para dewa).

Memang, Rasul Petrus menulis bahwa orang Kristen seharusnya menerima apa pun yang otoritas katakan kepada mereka. Mereka harus menerima perlakuan tidak adil. Suatu yg sangat mendasar dari kitab pertama Petrus adalah untuk menawarkan kesabaran kepada orang-orang Kristen yang menderita karena iman mereka. Buku Petrus ditulis sekitar tahun 60 M, pada saat-saat yang sangat sulit bagi bangsanya – begitu sulit sehingga Petrus merasa perlu untuk menulis buku yang membenarkan tawaran kesabarannya itu.

Pihak berwenang kejam, tetapi tepat untuk menyatakan orang-orang biasa memegang pendapat yang lebih tajam tentang orang-orang Kristen daripada pemerintah Romawi. Ste. Croix menguatkan pernyataan saya dalam penjelasannya tentang prosedur Romawi tentang orang Kristen. Penting untuk diingat bahwa prosedur standar dalam menghukum orang Kristen adalah “menuduh” dan bukan “investigasi” (penyelidikan): seorang gubernur biasanya tidak akan mengambil tindakan sampai ada pengaduan resmi (delatio nominis) yang dikeluarkan oleh seorang delator (pelapor), seorang pria yang siap tidak hanya untuk memberi informasi tetapi betul-betul untuk melakukan penuntutan secara langsung dan untuk mengambil risiko bagi dirinya sendiri didakwa atas tuduhan calumnia (fitnah), penganiayaan yang keji, jika dia gagal untuk membuktikan perkara yang cukup.

Kebencian memuncak dari orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Kristen dan sebab-sebabnya

Suetonian, seorang sejarawan Romawi, menulis dalam karyanya The Lives of Twelve Caesars (Kehidupan 12 orang Kaisar Romawi), “…orang-orang Kristen dianggap oleh orang-orang Yahudi yang telah menyebabkan kerusuhan politik di kekaisaran dan karena alasan itu diusir dari Roma oleh Claudius (Hillar n.d.).” Seseorang bisa menelusuri kembali ke penyaliban sejarah penentraman Romawi terhadap orang-orang.

Setelah kematian Yesus, hubungan antara orang Yahudi dan para pengikut Yesus juga tegang. Kedua kelompok tersebut berusaha untuk berbagi tempat ibadah, tetapi terdapat perbedaan yang jelas tidak hanya dalam kepercayaan tetapi juga dalam praktik-praktik dan budaya-budaya. Keluhan terberat orang Yahudi saat itu adalah ketidaktahuan orang non-Yahudi [yang menyatakan mengikut Yesus] terhadap Hukum Yahudi. Orang Yahudi mendesak orang non-Yahudi untuk menerapkan identitas Yahudi, disunat, dan mematuhi Hukum Musa. Kebingungan ini diperburuk oleh Rasul Paulus, yang akan mengubah arah Kekristenan selamanya. Rincian dari surat-surat Paulus bukan fokus pada studi ini, tidak juga konsili Yerusalem yang diadakan sekitar 50 M. Yang penting untuk dicatat adalah orang-orang Kristen menolak tawaran satu-satunya kelompok yang menawari mereka beberapa ukuran aliansi (persekutuan), menambah aura eksklusivitas Kristen. Komunitas Yahudi mungkin sangat terhina oleh deklarasi kemerdekaan Kristen ini[6].

Tak berapa lama kemudian, pernyataan orang-orang Kristen tentang pemberontakan kaum Yahudi yang pertama terhadap Romawi melahirkan kembali kebencian orang Yahudi kepada mereka. Ketika kuil (Bait Suci) Yahudi dibakar habis setelah pertempuran sengit dengan tentara Romawi, orang Kristen beranggapan bahwa itu adalah hukuman Tuhan. Mereka percaya orang-orang Yahudi dikalahkan karena mereka tidak percaya kepada Yesus, Juru Selamat Yahudi. Pendeta-pendeta Yahudi mulai mengungkapkan kebencian terhadap orang Kristen (Smitha 2015).

Sebelum dan sesudah dua pemberontakan Yahudi, tidak ada pemberontakan Kristen yang terjadi. Tidak ada pemberontakan yang terjadi setelah kematian Yohanes, Yesus, kedua belas Rasul, atau Paulus.

Awal Kemartiran Orang-orang Kristen

Orang-orang Kristen mulai siap sedia sebagai sukarelawan untuk menjadi martir (relawan untuk mati dalam membela atau mempertahankan identitas keagamaan mereka dan menolak tunduk kepada pihak penentang). Beberapa cendekiawan percaya bahwa para martir Kristen adalah keturunan para martir Yahudi, seperti dalam Makabe 1 dan 2 (Frend 2008). Yang lain mengklaim bahwa kemartiran pagan di dunia Yunani-Romawi muncul bersamaan dengan orang Kristen. Kemartiran Kristen dimulai saat penganiayaan Neronian dan berlangsung hingga abad ketiga bahkan mungkin lebih lama lagi[7].

Mengapa orang-orang Kristen tertentu ini secara sukarela menjadi martir yang tidak jelas. Seseorang bisa saja beranggapan mereka mungkin ingin meniru eksekusi terhadap Yesus untuk membuktikan pengabdian. Mungkin mereka kehilangan orang yang mereka cintai dan ingin mati atau kemungkinan mereka hanya ingin dihormati sebagai seorang martir selama bertahun-tahun yang akan datang.

Tidak semua martir Kristen adalah sukarelawan. Paul, seorang Yahudi yang kejam yang menerima wahyu dalam perjalanan ke Damaskus, menghabiskan lebih dari lima tahun di penjara selama kekaisaran sebelum dieksekusi oleh kaisar. Paulus tidak terlalu populer di kalangan orang Yahudi setelah kepindahan agamanya. Cerita dari Kisah Para Rasul 21 menceritakan orang-orang Yahudi menyeret Paulus keluar dari sebuah kuil dan memukuli dia sampai orang Romawi datang untuk menyelamatkannya[8]. Gubernur kemudian memenjarakan Paulus, meskipun dia percaya bahwa Paulus tidak bersalah. Paulus ditangkap berulang kali setelah kejadian ini, penangkapan terakhir berujung pada pemenggalan kepalanya. Beberapa orang beranggapan bahwa Nero yang telah mengeksekusi Paulus, sementara sumber lain menyebutkan kematiannya sekitar 68 M, beberapa tahun setelah penganiayaan Neronian.

Kedua belas rasul yang asli (yang mula-mula dan minus Paulus) mati karena kepercayaan mereka pada kebangkitan kembali Kristus. Kisah Para Rasul 12 menceritakan Rasul Yakobus yang dibunuh dengan pedang, hanya untuk membuat algojo mengagumi keimanannya yang teguh dan meminta eksekusi juga. Kesalahan Yakobus adalah percaya kepada Yesus. Petrus disalibkan dengan posisi terbalik karena imannya kepada Kristus. Yohanes 21 menjelaskan bahwa Petrus tidak dapat lagi menyangkal tuannya, tetapi ia tidak ingin penyaliban dihubungkan dengan siapa pun kecuali Yesus. Andrew (Andreas) digantung di dahan pohon zaitun. Kesalahan Andrew hanyalah beriman kepada Yesus. Thomas yang “meragukan”, yang menolak untuk memercayai para Rasul lainnya ketika mereka memberi tahunya tentang kebangkitan Yesus, ia dibakar hidup-hidup karena imannya kepada Yesus. Dikatakan bahwa Filip telah disalibkan oleh orang Yahudi karena menginjil. Filip hanya dituduh menyebarkan pesan Yesus. Matius adalah seorang pengumpul pajak yang menyerahkan segalanya untuk mengikuti Yesus. Dia dipenggal karena memberitakan kebangkitan Yesus. Bartholomew disalib karena menyatakan bahwa Yesus adalah anak Allah. Sebelum disalib dia dikuliti. James (Yakobus) ‘yang lebih muda atau kecil’ menjadi kepala gereja Yerusalem, mungkin itu adalah wilayah Yahudi yang paling tidak bersahabat yang seorang Kristen bisa temukan pada saat itu. Yakobus dilempar dari atap bait suci dan dipukuli sampai mati karena menolak menyangkal kebangkitan Yesus. Simon orang Zelot menyaksikan kebangkitan Yesus dan berhenti melawan orang Romawi untuk memberitakan Injil. Dia disalib di Suriah karena melakukan hal itu[9]. Yudas dipukuli sampai mati oleh para pendeta pagan di Mesopotamia karena memberitakan kebangkitan di hadapan mereka. Matthias, pengganti Yudas Iskariot, dikabarkan bahwa ia dilempari batu saat disalib. Yohanes adalah satu-satunya Rasul yang tidak mati sebagai martir, tetapi dia diasingkan karena memberitakan kebangkitan (Patton 2009).

Mengapa orang-orang ini diburu dengan sangat kejam? Jawaban yang paling jelas adalah karena ‘kesalahan’ mereka bergabung (dengan Yesus), sudah cukup sebagai keputusan umum. Kisah Para Rasul 2: 11-14, bagaimanapun juga, laporan tentang para Rasul telah mengejutkan orang-orang Galilea melalui pembicaraan sekaligus satu sama lain dari mereka dalam bahasa daerah mereka. Matius 28: 12-15 menceritakan tentang para imam besar Yahudi yang membayar orang Romawi yang ditugaskan untuk menjaga makam Yesus. Para penjaga diinstruksikan apa saja yang harus dilaporkan murid-murid Yesus telah mencuri mayat itu di tengah malam. Gabungan asosiasi [pimpinan kaum Yahudi dan Romawi], kejadian ajaib dan perhubungan orang Yahudi yang curang hampir cukup untuk menjamin eksekusi penyaliban. Iman para Rasul yang tak tergoyahkan kepada Yesuslah yang menjadi faktor penentu pada setiap kasus.

Pada 64 M, kebakaran meletus di seluruh Roma dan Kaisar Nero telah dicurigai memulai itu. Seperti dalam ceritanya: Kaisar Nero ingin memperluas istananya. Dia tidak bisa memulai pembangunan karena orang-orang Romawi tinggal tepat di daerah yang mana ingin dia bangun. Nero melihat bahwa pengalihan tuduhan atas kebakaran kepada orang-orang Kristen yang tidak popular (berjumlah belum banyak secara signifikan dan tidak berpengaruh) sebagai keputusan yang rasional. Dengan demikian menandakan ini adalah serangan pertama terhadap orang Kristen yang tidak berdasar atas keimanan atau praktik ibadah mereka. Orang bisa saja berasumsi seandainya orang Kristen sudah menjadi kelompok yang populer di Roma, Nero akan memilih kambing hitam yang lain. Penganiayaan Nero tidak terkenal hanya karena membunuh orang Kristen saja, tetapi juga menyiksa mereka dengan cara yang paling kejam hingga saat ini. Nero senang mempermalukan orang Kristen di tamannya sebelum mengirim mereka ke kematian mereka, beberapa disalibkan dan yang lainnya dimakan oleh binatang buas (anjing, singa dll.). Nero diyakini oleh beberapa orang bahwa ia telah menyalibkan Santo Petrus serta memenggal kepala Santo Paulus.

Tidak ada penjelasan atas kebencian Nero terhadap orang Kristen yang tercatat, meskipun tidak banyak penjelasan yang diperlukan dari seorang pria yang membunuh ibunya. Sepertinya dia memiliki permusuhan yang sama dengan orang pagan. Namun, permusuhan pagan berkurang setelah menyaksikan kebrutalan Nero. Beberapa kali masyarakat Roma merasa bahwa pemerintah telah melakukan kampanye anti-Kristen yang terlalu jauh. Pemerintah berulang kali bereaksi terhadap suara rakyat hanya untuk bertindak berlebihan dan membuat rakyat tenang untuk sementara.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, Yesus tumbuh, berkhotbah dan akhirnya mati di bawah pemerintahan Romawi. Dia dihukum dan disiksa karena penghasutan, tuduhan yang tidak dapat dibuktikan oleh Sanhedrin (dewan pangadilan agama Yahudi). Kematian Yesus adalah cerita pertama orang Romawi yang dapat menenangkan rakyat melalui penganiayaan terhadap kaum Kristen. Roma kemudian berusaha melindungi masyarakatnya dari agama Kristen selama tiga abad, dimulai pada minggu terakhir kehidupan Yesus[10]. Roma berpandangan bahwa pengikut Yesus adalah gerakan yang berdasar pada kejahatan menghasut, yang diselimuti bid’ah dan misteri.

Masyarakat umum para cendekiawan dan para pejabat meneliti keduanya baik teologi maupun tujuan sosial dari orang-orang Kristen masa awal. Meskipun sulit untuk dibayangkan pada saat ini cara hidup yang diupayakan oleh orang Kristen adalah radikal dengan cara yang paling berbahaya bagi orang pagan dan Yahudi.

Kekristenan benar-benar membawa tradisi dan kepercayaan yang sama sekali baru ke dunia kuno[11]. Paulus memperkuat perbedaan antara orang Yahudi dan Kristen pada saat yang paling rentan terakhir kalinya. Para politisi lambat menerima peningkatan secara tiba-tiba orang yang percaya kepada Yesus, terutama karena persentase dari populasi mereka kecil.

Setelah Kaisar Nero, akan ada sembilan penganiayaan lainnya yang ditujukan kepada orang-orang Kristen sebelum Konstantinus menyatakan bahwa agama Kristen sebagai agama yang sah di dalam Kekaisaran Romawi. Mungkin penjelasan yang paling mengesankan yang diberikan analisis ini adalah realisasi yang banyak digunakan oleh orang Kristen sebagai bukti dari kekuatan Kristus: satu-satunya faktor yang menopang atas ketekunan orang-orang Kristen selama periode ini adalah iman kepada Yesus Kristus. Agar adil, seseorang bisa saja beranggapan sebaliknya: satu-satunya alasan untuk sepuluh penganiayaan yang terjadi di Roma, kemartiran, penyaliban dan penindasan terhadap orang Kristen adalah fakta bahwa mereka memiliki iman kepada Yesus sejak awal.

Catatan:
1. Esai Sherwin-White adalah sebuah tanggapan untuk Ste. Croix, yang mengusulkan gagasan bahwa para pemimpin Romawi memandang orang Kristen sebagai ‘tidak bertuhan’ di akhir abad ke-2 dan ke-3.
2. Ada juga trio hegemoni (tiga sekte yang mendominasi) yang terdiri dari orang Farisi, Saduki, dan Essen. [menurut penulis artikel ini] Tak satu pun dari mereka yang secara khusus tertarik pada ajaran Yesus.
3. ‘Orang-orang pagan’ dan ‘masyarakat’ bisa digunakan bergantian (bisa ditukar).
4. Orang Yahudi memiliki agama historis yang status mereka sebagai ‘kuno’ pada dasarnya mengesahkan mereka ke dalam bentuk agama yang diterima di Roma (1963).
5. sebanding karena tidak memasukkan semua dewa kecuali Yesus
6. Kaum Yahudi menawarkan tawaran kerjasama melawan Romawi demi kemerdekaan kaum Yahudi yang di kalangan mereka termasuk orang Yahudi yang menjadi pengikut Yesus Kristus. Para pengikut Kristus saat itu – baik yang keturunan bangsa Yahudi atau bukan – di kalangan penduduk disebut Kristen. [editor]
7. Saya mendefinisikan kemartiran Kristen sebagai periode di Kekaisaran Romawi. Saya tidak memasukkan tindakan pengorbanan diri secara acak setelah periode ini
8. Paulus mungkin menghadapi tantangan yang lebih sulit daripada orang Kristen lainnya karena diyakini banyak orang Kristen menolak untuk mempercayainya, karena mengetahui tindakan brutal terhadap orang Kristen sebelum kepindahan agamanya.
9. Kaum Zealot ialah kaum Yahudi yang keras menentang penjajahan Romawi di wilayah mereka.
10. Umat Kristen dan umat Yahudi umumnya percaya bahwa Yesus Kristus (Nabi Isa al-Masih ‘alaihis salam) disalib selama beberapa jam lalu wafat. Umat Kristen percaya Yesus bangkit lagi setelah kematiannya itu. Kebanyakan umat Islam percaya bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam tidak mengalami penyaliban, melainkan yang disalib ialah orang yang serupa wajahnya dengannya. Warga Muslim Ahmadiyah berpandangan memang Nabi Isa ‘alaihis salam diadili pihak Romawi atas desakan para dewan agama Yahudi lalu dihukum salib. Beliau (as) disalib namun tidak sampai meninggal {hanya pingsan berat atau mati suri]. Beliau dibawa ke sebuah gua dan dibawakan ramuan rempah-rempah hingga siuman kembali dan secara diam-diam pindah dari Palestina ke wilayah lain (Syria, Iraq dan ke timur). Beliau wafat di Kashmir, India secara biasa. (Editor)
11. Yesus telah dibandingkan dengan berbagai dewa kuno seperti Mithra dan Perseus. Pada akhirnya, pesan dan tindakannya terbukti terlalu asli untuk mengalah pada klaim semacam itu.

Bibliografi

Sumber Pertama (buku yang ditulis sezaman atau satu abad dengan Yesus)

Brians, Paul. 1998. “Tacitus: Nero’s Persecution of the Christians.” Reading about the World, Vol. 1. Harcourt Brace Custom Books.

Futrell, Alison. 2006. “Rome and the Christians: the Official Relationship.” The Roman Games. Wiley- Blackwell Press.

The Bible. 2004. Book of Acts. New Living Translation. Tyndale House Publishers, Inc.

The Bible. 2004. Book of Matthew. New living Translation. Tyndale House Publishers, Inc.

Sumber Kedua

“Behind Luke’s Gospel: The Roman Empire during the Time of Jesus.” 2016. Patheos.

Cohen, Shaye. 2014. “The Path to Victory.” The McGraw-Hill Companies, Inc.

de Ste. Croix, G.E.M. 1963. “Why Were the Early Christians Persecuted?” The Past and Present Society. Oxford University Press.

Ekeke, Emeka. 2014. “Persecution and Martyrdom of Christians in the Roman Empire from AD 54 to 100: A Lesson for the 21st Century Church.” European Scientific Journal. Department of religious and Cultural Studies University of Calabar, Nigeria, Vol. 8, No. 16.

Foxe, John. 2015. “The Ten Primitive Persecutions.” Fox’s Book of Martyrs. CreateSpace Independent Publishing Platform.

Frend, William. 2008. Martyrdom and Persecution in the Early Church. James Clarke and Co.

Hillar, Marian. n.d. “Flavius Josephus and His Testimony Concerning the Historical Jesus.” Center for Philosphy and Socinian Studies.

“Incest, Infancticide, and Cannibalism: Anti-Christian Imputations in the Roman Empire.” 2010. Greece and Rome, Vol. 57, No. 2. The Classical Association.

“Jewish Rebellion and Christian Identity, to Masada (73 CE).” 2015. Macrohistory and World Timeline. Frank E. Smitha Copyright.

McGowan, Andrew. n.d. “Eating People: Accusations of Cannibalism against Christians in the Second Century.” Journal of Early Christian Studies. The Johns Hopkins University Press.

Patton, Michael. 2009. “The Death of the Twelve Apostles: How Their Martyrdom Evidences Easter.” Reclaiming the Mind Ministries.

Sammut, Andrew. n.d. “Jesus as a Threat to the Socio-Political Structure During the Roman Empire.” Boston University.

Sherwin-White, A.N. 1964. Why Were the Early Christians persecuted? An Amendment. Past and Present, No. 27. Oxford University Press.

Wilken, Robert L. 1980. “The Christians as the Romans (and Greeks) Saw them.” Jewish and Christian Self-Definition. Fortress Press.

Penulis: John Cibotti
Esai ini tadinya tugas penulisan kelulusan akhir untuk Dr. Erik Larson di Universitas Internasional Florida Miami-Amerika Serikat, FL 33199*)

*) Esai yang ditulis oleh kalangan akademisi non Ahmadi ini tentu saja tidak mewakili pemikiran Muslim Ahmadiyah, namun sebagai hasil penelitian akademis, cukup berharga meluaskan wawasan kita. Hal ini dikarenakan [1] studi ini berakar pada kajian berdasarkan para ilmuwan sejarah yang mengedepankan data-data historis. [2] Pendiri Jemaat Ahmadiyah mendapatkan gelar Imam Mahdi dan al-Masih yang dijanjikan dalam ilham-ilham yang beliau terima. Sebagaimana Nabi Muhammad (saw) mempunyai segi-segi persamaan dengan Nabi Musa (as), pendiri Jemaat Ahmadiyah juga mempunyai segi-segi persamaan dengan Isa al-Masih. Tercakup dalam sebagian segi persamaan [tentu tidak sama dalam segala hal] tersebut ialah perjalanan hidup dan perkembangan para pengikut mereka. Yesus (atau Nabi Isa al-Masih as) dalam tulisan ini adalah sudut pandang penulisnya dari kalangan akademis Kristiani dan diberi. Kaum Kristen yang dibicarakan di artikel ini bukan terbatas mereka yang mengikuti Paulus, tetapi juga para pengikut James di Yerussalem, Petrus di Roma dan lain-lain dari berbagai kalangan gereja dan tempat di wilayah Romawi. [editor]

Penerjemah: Ghalib, Murbayudin Qayyum dkk, JAMAI darjah tsalitsah studi Muwazanah Madzahib (Perbandingan Agama) 2020-2021
Editor : Dildaar Ahmad Dartono

Download PDF : LINK

No Responses

Tinggalkan Balasan