Masroor Library – Menurut Xavier Leon – Dufour, kata nabi dalam bahasa Yunani (prophetes) dan Ibrani (נביא, naavi) memiliki makna yang sama, yaitu “orang yang diutus dan diilhami oleh ALLAH untuk menyatakan sesuatu yang tersembunyi, mengungkapkan suatu nubuat, menyatakan pikiran dan kehendak Ilahi, dan juga untuk meramalkan masa depan.” (Ensiklopedi Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, Cet. IV, 1995, hal. 412).
Kata Yunani prophetes berasal dari pro: “sebelum(nya)” dan phemi: “bicara”, yang arti harfiahnya adalah “sebagai ganti sesuatu”, “di muka umum”, dan “secara umum”. Dari kata prophetes inilah orang Inggris kemudian menyebut nabi dengan prophet. Dikarenakan menurut Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, al-Masih al-Mau’ud AS, semua bahasa di dunia ini induknya adalah bahasa Arab (Rohani Khazaa-in, Jld. 9; Minan al-Rahman, hal. 166), maka tidak mengherankan apabila akar kata prophemi juga dapat ditelusuri dalam bahasa Arab, yaitu dari wara-a ( وراء ): “di dalam/luar” dan famm ( فـم ): “bibir/mulut”, artinya “menyatakan sesuatu yang tersembunyi”.
Sedangkan Perjanjian Baru (Y. he kaine diatheke) adalah keseluruhan 27 kitab yang diterima Gereja sebagai kitab-kitab kanonika (Y. kanon: “patokan”). Yaitu kitab-kitab yang diberi nama Alkitab atau Kitab Suci dan secara resmi diakui oleh bangsa Yahudi dan Gereja-gereja sebagai tulisan-tulisan yang diilhami ALLAH. Ia disebut “baru” bukan untuk menggantikan yang lama (Perjanjian Lama), melainkan untuk menggenapkan yang lama itu, sebab hubungan antara keduanya tetap vital dan lestari (2Kor. 3:6).
Dari pengertian di atas, dapat dibuat suatu pedoman bahwa apabila seseorang diutus atau memperoleh wahyu dari Tuhan, kemudian ia juga bernubuat –baik meramalkan peristiwa yang akan terjadi maupun memberitakan peristiwa yang telah terjadi– dan melakukan banyak mukjizat, maka ia bisa disebut sebagai seorang nabi. Oleh sebab itu, melalui tolok ukur ini kita dapat menguji keabsahan kenabian Yesus berdasarkan nats-nats Perjanjian Baru.
Yesus Menerima Wahyu Tuhan
Dalam bahasa Latin, wahyu disebut dengan kata revelare (dari re: “kembali/berulang” dan velum: “selubung”), artinya: “membuat dikenal kembali, menyingkapkan selubung”. Dari kata inilah berasal kata revelation dalam bahasa Inggris. Sedangkan padanannya yang tepat dalam bahasa Yunani adalah apo-kalypto. Artinya, ALLAH menyatakan diri melalui ciptaan-Nya, bukan untuk memperkenalkan diri (untuk yang pertama kalinya), melainkan untuk dikenal kembali; dengan demikian ALLAH melibatkan diri secara berulang-ulang dalam suatu dialog dengan berbagai ciptaan-Nya (Rm 1:19-21). ALLAH menyatakan diri-Nya pula melalui teofani atau perantara: malaikat, ucapan tertentu, penglihatan dan tanda-tanda.
Apabila diperhatikan dengan seksama, dalam berbagai situasi dan kesempatan, Yesus selalu menyampaikan kepada orang-orang sezamannya bahwa ia adalah seorang yang telah menerima wahyu dari Tuhan; bahwa Tuhan telah mengutusnya untuk memberitakan Injil Kerajaan Sorga atau Kerajaan ALLAH (Mat. 4:17, 23-25), melakukan berbagai mukjizat (Mat. 9:27-31; 32-34; Mrk. 9:14-29) dan menggenapi nubuat. Sebelum memulai misinya, Yesus berpuasa selama 40 hari dan 40 malam di padang gurun; setelah hari terakhir ia dicobai oleh Iblis dalam bentuk mukhathaah ilhamiyah. Namun si pencoba tidak mampu melunturkan keimanan Yesus (Mat. 4:1-10; Mrk. 1:12-13; Luk. 4:1-13).
Nats-nats Perjanjian Baru di bawah ini membuktikan hal itu
Pertama, dalam perikopa “Percakapan Dengan Perempuan Samaria” (Yoh. 4:1-42) diceritakan tentang percakapan antara Yesus dengan seorang perempuan Samaria yang hendak menimba air di sumur. Dalam kesempatan itu Yesus berbicara mengenai karunia yang akan diberikan ALLAH kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Ketika perempuan tersebut terheran-heran karena disangkanya karunia itu hanya berupa air sumur, maka Yesus menjawab: “Barang siapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barang siapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (Yoh. 4:13-14).
Dari ucapan ini kita maklum, bahwa “air” yang dimaksud Yesus bukanlah air sebagaimana yang akan ditimba oleh perempuan Samaria itu. Karena berkenaan dengan air dari sumur Ya’kub itu, Yesus sendiri telah mengatakan bahwa “barang siapa minum air ini, ia akan haus lagi”. Oleh sebab itu, pastilah air yang dimaksud Yesus bukanlah air dalam arti harfiah, melainkan wahyu-wahyu yang telah Yesus terima dari Tuhan. Alasannya, ketika berbicara tentang “makanan” pun Yesus menjawab dengan redaksi yang sama: “Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal.” Ketika murid-murid salah memahami, Yesus meluruskan mereka: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yoh. 4:32-34).
Kedua, dalam perikopa “Roti Hidup” diceritakan mengenai percakapan Yesus dengan orang-orang Yahudi. Yesus berkata, “Akulah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang telah turun dari sorga: Barang siapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh. 6:48-51).
Perkataan Yesus ini juga tidak dapat dipahami oleh orang-orang Yahudi, termasuk oleh para murid sendiri. Itulah sebabnya mereka saling bertengkar sesama mereka mengenai hakikat “roti hidup’ yang berupa “darah dan daging Yesus” itu. Apakah itu darah dan daging dalam arti sesungguhnya, ataukah hanya sekedar kiasan? Sayang, mereka lebih memilih arti yang pertama. Oleh sebab itu Yesus menegaskan, “Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barang siapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh. 6:58).
Dikarenakan mereka tetap tidak dapat memahaminya, akhirnya banyak yang goyah keimanannya. Mereka mengatakan, “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yoh. 6:60). Akhirnya, “mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia lagi.” (Yoh. 6:66). Tepatlah apa kata Yesus, “Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.” (Yoh. 6:65). Padahal, jauh-jauh hari sebelumnya Yesus telah berkata, “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut ALLAH.” (Mat. 4:4). Artinya, “air hidup”, “roti hidup”, “darah dan daging-Ku” yang dimaksudkan Yesus bukanlah secara letterlijk, melainkan figuurlijk dalam arti firman-firman/wahyu-wahyu Tuhan.
Yesus Mengadakan Banyak Mukjizat
Kata mukjizat yang dalam bahasa Inggris disebut miracle berasal dari kata Latin, mirari, artinya: “menjadi heran”. Dalam bahasa Yunani, dipergunakan empat kata untuk menyebut kata mukjizat: dynamis: “kuasa-kuasa”; teras: “hal-hal ajaib”; semeion: “suatu tanda”; thaumazo: “membuat terheran-heran”. Jadi, yang dimaksud dengan mukjizat menurut Alkitab adalah tindakan penuh kuasa yang dilakukan oleh seorang nabi, dengannya ALLAH memberikan suatu tanda kepada manusia sehingga membuat mereka terheran-heran dan akhirnya memuliakan nama Tuhan. Melalui mukjizat inilah manusia mampu melihat tanda-tanda Tuhan (semeia kai terata) yang hidup.
Menurut Perjanjian Baru ada 25 cerita tentang mukjizat penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus. Di antaranya penyembuhan dari: demam (Mat. 18:14-15; Mrk. 1:29-31; Luk. 4:38-39), kusta (Mat. 8:1-4; Mrk. 1:40-44; Luk. 5:12-16), kelumpuhan (Mat. 8:5-13; Luk. 7:1-10), ketuli-bisuan (Mat. 9:32-34; Mrk. 7:31-37), kebutaan (Mat. 9:27-31; Mrk. 8:22-26; Yoh. 9), penyakit ayan/ epilepsi (Mat. 17:14-21; Mrk. 9:14-29; Luk. 9:37-43), rematik (Luk. 13:10-17), dan lain-lain. Kesemua mukjizat tersebut terjadi untuk menunjukkan kuasa ALLAH yang sedang berkarya di dalam/melalui Yesus sehingga orang-orang Yahudi kembali memuliakan ALLAH. Sayangnya, meskipun banyak terjadi mukjizat, tetap saja banyak orang yang tidak melakukan pertobatan (Mat. 11:20). Seolah-olah mukjizat yang dilakukan Yesus itu hanya hiburan belaka.
Menurut penuturan penulis Injil Yohanes, ketika orang-orang Yahudi menyaksikan mukjizat Yesus memberi makan lima ribu orang, banyak yang mengatakan bahwa “Dia ini adalah benar-benar Nabi yang akan datang.” (Yoh. 6:14). Bahkan anak-anak kecil pun, setelah menyaksikan mukjizat Yesus ketika menyembuhkan orang-orang buta dan timpang, berseru: “Hosana bagi Anak Daud!” (Mat. 21:15). Seruan inilah yang membuat imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat sangat jengkel. Mereka yang siang malam berusaha membuktikan kepalsuan kenabian Yesus dengan berbagai cara, ternyata tidak banyak membuahkan hasil. Orang-orang tetap saja menganggap Yesus sebagai seorang nabi, bahkan lebih dari sekedar nabi, yaitu Mesias.
Yesus Mengetahui Berbagai Peristiwa Melalui Nubuatan
Menurut orang-orang Farisi, salah satu syarat menjadi seorang nabi ialah, mengetahui segala sesuatu. Artinya, menurut mereka, seorang nabi haruslah juga seperti seorang pelihat (2Taw. 9:29; 12:15). Ia mengetahui setiap peristiwa yang lampau dan juga yang akan datang. Bukankah Tuhan selalu memberitakan kabar-kabar gaib kepadanya?
Berkaitan dengan Yesus, orang-orang Farisi juga menerapkan tolok ukur yang sama. Dalam perikopa “Yesus Diurapi Oleh Perempuan Berdosa” (Luk. 7:36-50) diceritakan bahwa ketika seorang Farisi mengundang Yesus untuk datang makan di rumahnya, seorang perempuan sundal juga ikut datang ke sana setelah mendengar Yesus ada di sana. Ia membawa sebuah buli-buli pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis ia pergi berdiri di belakang Yesus dekat kakinya, lalu membasuh kaki Yesus dengan air matanya dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki Yesus dan meminyakinya dengan minyak wangi itu. Ketika orang Farisi yang mengundang Yesus melihat hal itu, ia berkata dalam hatinya: “Jika Ia nabi, tentu Ia tahu, siapakah dan orang apakah perempuan yang menjamah-Nya ini; tentu Ia tahu, bahwa perempuan itu adalah seorang berdosa.” (Luk. 7:39).
Dalam perikopa “Percakapan Dengan Perempuan Samaria” (Yoh. 4:1-42), disebutkan pula tolok ukur yang sama untuk menunjukkan keabsahan seorang nabi. Ketika perempuan Samaria sudah mulai tertarik dengan ajaran-ajaran yang Yesus sampaikan melalui perumpamaan, ia diperintahkan: “Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini!” Kata perempuan itu: “Aku tidak mempunyai suami.” Kata Yesus kepadanya: “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar.”
Ucapan Yesus ini membuat perempuan itu kaget, dari mana ia mengetahui hal-hal yang bersifat pribadi seperti itu? Apakah ada orang lain yang pernah menceritakan kepadanya? Mustahil! pikirnya. Kalau begitu, pastilah orang itu adalah seorang nabi atau Mesias; sebab hanya nabi saja yang akan memberitakan segala sesuatu kepada mereka. Akhirnya perempuan Samaria itu menyatakan, “Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi.” (Yoh. 4:19). Alasan perempuan itu mengatakan demikian, karena ia memiliki kepercayaan bahwa Mesias atau Kristus akan datang.
Yesus sendiri berkali-kali menubuatkan tentang dirinya yang akan mengalami nasib yang sama sebagaimana para nabi sebelumnya: ditolak, dihina, dicerca, dianiaya bahkan dibunuh. Ketika orang-orang sekampungnya menolak misinya, ia mengatakan bahwa “seorang nabi dihormati di mana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya” (Mat. 13:57; Mrk. 6:4; Luk. 4:24; Yoh. 4:44). Ia juga menubuatkan, “tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem” (Luk. 13:33; Mat. 23:37-39).
Penutup
Sebagai penutup, penulis kutipkan ucapan Kleopas, seorang murid Yesus berkenaan dengan gurunya: “Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan ALLAH dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel.” (Luk. 24:19-21).
Disusun oleh:
Rakeeman R.A.M. Jumaan
Dosen Ilmu Perbandingan Agama & Bahasa Ibrani
Jamiah Ahmadiyah Indonesia, Bogor
No Responses