Hamparan padi yang sudah mulai menguning terasa asri dipandang mata. Kemanapun mata memandang, terlihat beberapa gerombol orang sedang menuai padi. Jalan berlapis batu split itu membelah pesawahan, mulai dari Blok Rong hingga Desa Rancahan. Di sisi kiri jalan inilah terletak pemakaman.
Unjungan Pemakaman “Ki Buyut Rong” memiliki luas sekitar 1200 meter persegi. Di tepi sisi-sisinya dikelilingi oleh hamparan pesawahan. Hanya sisi sebelah timur yang berbatasan dengan saluran irigasi. Di atasnya ada jalan setapak yang bisa dilewati oleh sepeda onthel atau motor.
Setelah memasuki gerbang pemakaman, tampak sebuah aula yang dimanfaatkan kalau ada acara ngunjung. Di depannya berdiri sebatang pohon yang lumayan besar dikelilingi oleh selembar seng pada tembok semen. Pada tembok itulah terpasang spanduk digital printing bertuliskan “Selamat Datang di Unjungan Pemakaman Buyut Rong”. Ada juga ajakan untuk melestarikan adat-budaya kuno.
Penataan makam disini disesuaikan dengan trah atau keluarga. Misalnya, pemakaman keluarga besar Sadir alias Sartiman terletak persis di sebelah timur pohon besar itu. Ini menunjukkan, bahwa keluarga tersebut memiliki posisi yang tidak sembarangan. Begitu juga keluarga Sambran asal Banten. Pemakaman keluarga besar ini berjejer di lokasi yang khusus pula.
Terkait keluarga besar Sambran, ini adalah trah berasal dari pihak ibu. Beberapa makam yang terdapat di enclave ini adalah makam almarhumah Ibunda Rastem (Ris), lalu Darya (kakak) dan Kirsam (adik). Ada juga nama almarhum Waskid, yang merupakan adik kandung dari Ibu. Beliau wafat setahun sebelum Ibu wafat. Lalu, ada nama-nama lain lagi yang tidak begitu dikenal.
Ibunda Rastem atau biasa dipanggil Ris, memang berasal dari Banten. Pada masa sebelum huru-hara tahun 1965, keluarga besar ini hijrah dari Banten ke Indramayu dan awalnya menetap di Blok Rancakitiran, Desa Kroya, Kec. Kroya. Mereka adalah 12 orang bersaudara, tiga di antaranya adalah laki-laki. Setelah menikah dengan penduduk setempat akhirnya keluarga besar ini menjadi terpencar.
Kunjungan penulis ke Pemakaman Ki Buyut Rong ini adalah yang pertama kalinya sejak 1993. Saat itu, nenek wafat dan dikebumikan disana. Kini, 21 tahun telah berlalu. Dengan tujuan ziarah ke pusara Ayahanda Wisna Sadir, penulis berangkat dari Bogor ke Kota Mangga.
Kamis (3/4/2014) dinihari tadi, suara dering BlackBerry (BB) 3G 9105 aka Pearl milik istri berbunyi. Di layarnya terpampang sebuah nama yang tidak asing lagi. Yah, yang menelpon adalah salah seorang bibi. Bi Ela panggilannya. Istri dari anak paman ini pernah bekerja di Arab Saudi. Mengapa sepagi buta ini? Tentunya ini penting sekali.
“Kak, Wa Wina sudah tiada ….,” kalimat itu berhenti seolah memberi jeda.
Langsung terbayang apa maksud dari kalimat singkat tersebut. Sehari sebelumnya, Bi Ela juga sudah mengabari, bahwa Ayahanda seharian tak sadarkan diri.
“Wa Wina” yang dimaksud adalah Ayahanda. Suara di seberang sana pun melanjutkan,
“Kalau bisa Kakak segera kesini.”
Setelah menempuh perjalanan selama delapan jam, akhirnya tibalah kami di tempat ketika Ayahanda menghembuskan nafas terakhirnya. Tempat pemandian jenazah masih belum dipindah, tergeletak di halaman rumah. Sementara itu tikar pandan masih terhampar. Suasana berkabung masih nampak merundung beberapa rumah disini.
Keluarga besar Sadir akhirnya mulai berkumpul. Setelah ramah-tamah, acara dilanjutkan dengan ziarah ke pusara Ayahanda. Dengan menggunakan sepeda motor, jalan berbatu split itu diterobos. Tidak sampai lima belas menit, tibalah di Pemakaman Umum Ki Buyut Rong. Suasana sore menjelang petang, menjadikan pekuburan terasa lengang. Hanya sesekali terdengar bunyi dari jerami yang sedang dipukulkan ke gebotan. Beberapa petani di sekitar pemakaman memang sedang memanen padi.
Menurut penuturan saudara, jenazah Ayahanda dibawa ke pemakaman dengan menggunakan sebuah ambulan. Jalanan berbatu split agak menyulitkan perjalanan. Di beberapa tempat malah batu kali sebesar bola futsal masil belum diratakan. Sirene mobil ambulan milik Puskesmas Kecamatan terdengar meraung-raung. Prosesi pemakaman pun segera rampung.
Ayahanda merupakan sosok yang sangat bersahaja. Meski pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakjat (SR), namun beliau tidak berambisi menjadi pejabat. Padahal, saat itu, SR merupakan pendidikan yang cukup tinggi. Tidak sembarang orang bisa bersekolah saat negeri kita masih dijajah.
Meski Ayahanda berhati lembut dan mudah trenyuh, beliau memiliki prinsip yang tegas. Ingatan masa kecil pun hingga kini masih membekas. Adalah kebiasaan anak-anak kecil di kampung kami yang menggembala kambing, tidak terkecuali penulis. Walaupun tidak memiliki kambing sendiri, penulis ikut ngangon kambing milik orang. Biasanya usai pulang sekolah hingga menjelang petang.
Rupanya Ayahanda tidak berkenan dengan kegiatan ini. Bukan karena menggembalakan kambingnya, tidaklah demikian. Yang tidak disetujui beliau adalah ekses lainnya. Tidak dipungkiri, kebiasaan cah angon adalah suka mengambil dan masuk kebun orang. Tidak saja pisang atau pepaya, ayam pun bisa hilang. Ini yang membuat Ayahanda berang.
Memori lainnya adalah bagaimana dengan tekun Ayahanda mengajarkan tulis-baca. Dengan basic pendidikan SR, kemampuan menulis huruf Latin sambung dan Matematika beliau tidak diragukan lagi. Sayangnya, penulis hanya mampu menyerap sebisanya. Mencontoh tulisan sambung beliau yang mirip tulisan cetak Londo sangatlah sulit. Namun, itupun belum ada yang menandingi …
Related Posts
Pengalaman Bertabligh di Kalangan Sastrawan
Mutasi : Antara Kebutuhan, Penyegaran dan Pengkhidmatan
Mutasi: Momen Mengukur Kuantitas dan Kualitas Rabtah Serta Merekatkan Silaturahmi
Kembali ke Papua Barat Dengan Segudang Pengalaman Berat
Dua Agenda Berdekatan di Bulan Mei Sebagaimana Dikabarkan Dalam Mimpi
No Responses